Senin, 15 September 2014

Dermaga Biru di Senjaku (Cerpenku Fiktif)




Dermaga Biru di Senjaku
Namaku Zahra Syifa Maulidina, aku sedang disibukan dengan studiku di salah satu universitas di Indonesia. Dan sekarang aku sedang menikmati masa liburanku yang cukup singkat ini, namun walau begitu aku tetap bersyukur. Aku biasa dipanggil Zaza atau Zahra, hanya Adit yang memberikan panggilan beda padaku, “Ra” biasa dia memanggilku.
***
Sore yang indah senantiasa kunanti, entah apa yang ku tunggu hanya saja aku selalu terkagum-kagum akan eloknya jingga yang dipersembahkan sang senja. Aku suka suasana senja, begitu sejuk dan menenangkan, terlebih jika hembusan angin yang lembut turut memanjakanku. Heemm sungguh nikmat Tuhan yang sangat aku syukuri.
****
Aku yang sedang asyik duduk di teras belakang rumah sambil menikmati suasana senja, sontak terkagetkan oleh nada handphone yang terletak tepat di sampingku. Nada yang singkat namun mampu membuatku kaget. Oh ternyata ada sms, tanpa berpikir panjang aku pun langsung meraih Hpku dan membuka pesan tersebut. Deg.. jantung ini seakan berhenti berdetak, namun sesaat kemudian dilanjutkan dengan detak jantung yang lebih kencang, perasaanku mulai tak karuan. Tangan menjadi dingin dan mataku yang sipit berubah menjadi belo karena terpaksa melotot menatap isi pesan itu.

 “Benarkah, diakah?” gumam ku seraya menggerak-gerakan HP yang sedang ku genggam dengan erat. Entah apa yang membuat ku kaget melihat pesan singkat tersebut. Padahal isi dari pesan tersebut biasa saja. “Assalamualaikum, hay Ra kamu apa kabar?” kalimat itulah yang aku baca, tidak ada yang aneh apalagi membuat kaget. Iya memang biasa tapi siapakah yang mengirim SMS itu sampai mampu mengagetkan ku? Ternyata SMS itu dari Radit Pradana Ramadhan, “Adit” biasa ku panggil dia. Dia adalah sahabat terbaik aku. Dia yang paling mengerti akan aku dan sangat mengerti segalanya yang ada pada diriku. Bagaikan satu kesatuan yang berpadu dengan indah, tak ingin terpisahkan apapun yang menjadi penghalang, begitulah kisah persahabatan kami. Entah apa yang membuatnya pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Begitu juga dengan perpisahan yang biasa orang-orang lakukan pada umumnya ketika hendak berpisah. Namun hal itu tidak aku dapatkan ketika Adit hendak pergi meninggalkanku. 

Tepatnya lima tahun yang lalu dia menghilang dari kehidupanku. Tanpa kabar atau apapun yang membuatku lega ketika aku menerimanya. Selama lima tahun aku menjalani hari-hariku tanpanya, walau begitu aku selalu berharap suatu saat nanti dia akan menghubungiku. Maka tak heran selama lima tahun aku tidak mengganti nomor handphoneku, walaupun sering mendapat sms yang tidak penting dari orang-orang yang pura-pura salah sambung. Aku yang cuek tidak pernah menaggapinya.

 Aku tahu perasaan ini sangat berbeda dengan perasaanku terhadap sahabat-sahabatku yang lainnya. Ada rasa yang selama ini aku pendam untuknya. Iya untuk dia, Adit yang selama ini aku tunggu. Dan hari ini aku mendapatkan SMS darinya dengan nomor yang sama karena selama ini aku masih menyimpan nomor HP dia. Aku tidak mengerti seberapa kuat perasaan ini dan mengapa aku begitu yakin bahwa dia akan datang padaku. Padahal selama lima tahun ini aku bisa saja menghubunginya namun perasaan gengsi dan marah yang terkadang muncul selalu berhasil mengurungkan niatku. 

Lima tahun bukan waktu yang sebentar maka tak heran jika aku merasa kaget ketika mendapat pesan darinya. Aku masih tertegun, dan hanya menatap layar HP yang sudah mulai terlihat usang. Yah aku masih menggunakan HP sewaktu kita bersama-sama, HP yang sama dan kita membelinya pun bersama-sama. Aku tidak tahu perasaan apa yang selama ini aku pendam. “Mungkin  karena seringnya kita bersama membuatku jatuh cinta padanya?” gumamku dalam hati.

 Tidak dapat ku pungkiri bahwa selama kita bersama aku selalu jatuh cinta padanya. Setiap hari berganti, setiap kali bertemu dan setiap kali ku mengingatnya aku jatuh cinta padanya. Namun atas nama persahabatan aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku yang jelas akan merusak persahabatan kita. Benar adanya yang sering orang katakan bahawa tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki, antara wanita dan pria. Pasti akan tersirat perasaan yang setiap insan berhak memilikinya yaitu perasaan cinta dan mencintai.
****
Ketika itu dengan tangan yang gemeteran jari-jemariku mulai mengetik pesan yang akan aku kirim pada Adit. “Bismillahirahmanirohim, heemm” ucapku sambil menghela nafas. Dengan perasaan masih tidak percaya aku membalas SMS dari Adit.
 Zahra: “waalaikumsalam, Adit kamukah ini”
Adit: “Iya Ra, kenapa kamu kaget ya? Wah aku gak nyangka loh Ra, kamu masih menyimpan nomor aku.. heee”
Zahra: “Hemmm sempet kaget sih, ya mungkin kebetulan aja aku juga tidak mengganti nomor sekaligus HP, oh iya kabar aku alhamdulillah baik, kamu gimana Adit?”
Adit: “wah keren kamu Ra bisa ya jaman sekarang masih bisa bertahan dengan HP model lama? Aku kurang baik nih heee”
Zahra: “ enggak ah biasa aja semua orang juga bisa kok kalau mau, kok kurang baik kamu sakit Dit?”
Adit: “enggak Ra, hanya saja aku lagi kangen kamu Ra, besok kamu ada di rumah kan?” 
Begitulah rangkaian percakapan yang berhasil ku abadikan di Hpku.

Deg... jantung ini kembali berdetak tak menentu, yang tadinya sudah kembali normal kini mulai tak karuan lagi. Aku menghentikan obrolan lewat sms tersebut. Aku bingung mau membalas apa, yah aku tahu bahwa dia pasti merindukanku hanya sebatas rindu pada seorang sahabat yang sudah lama berpisah, tidak lebih. Namun mengapa aku merasa salah tingkah dan grogi pada saat membaca pesan terakhir yang dikirim Adit via Sms. Dengan perasaan gugup aku menengok pada jam tanganku dan sudah menunjukan pukul 18.00 yang ditandai dengan jarum jam tepat membentuk garis vertikal. Aku pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat maghrib.
***
Lega rasanya setelah menunaikan kewajiban dan sedikit bercengkrama dengan-Nya. Seperti biasa setelah merapihkan mukena aku duduk di tempat tidurku dan kembali kuraih HP kesayanganku. Kubuka menu dan ku klik pesan di Hpku, dengan mantap aku membalas pesan dari Adit. “Insya Allah aku ada di rumah ba’da ashar, silahkan datang ke rumah” jawabku singkat dengan bahasa yang sedikit formal tanpa membalas kalimat dia yang sebelumnya. Jujur aku masih terlalu naif untuk mengatakan bahwa aku pun sangat merindukannya dan selalu menantinya kembali. Namun itulah aku selalu bertahan dengan memendam dan bersembunyi dari perasaan yang selama ini menghantui. 

Malam itu entah mengapa aku merasa gelisah dan tidak dapat memejamkan mata sipitku. Lantunan istigfar senantiasa terlontar dari bibir tipis nan merah itu. Aku berusaha keras untuk dapat tidur lebih awal karena besok ada agenda yang cukup menyita waktu. Namun aku masih belum bisa memejamkan mata untuk tertidur pulas, padahal sebentar lagi tengah malam dan rumah sudah mulai sepi. Akhirnya aku beranjak dari tempat tidurku, kubuka laci meja belajar terdapat sebuah dompet lucu dengan warna pink yang menambah kesan indah dompet tersebut. Entah apa yang mau aku ambil dalam dompet tersebut mungkinkah uang, untuk apa? 

Heemm aku memang pantas disebut sebagai pengagum rahasia. Karena diam-diam aku pernah mengambil fotonya lalu ku cetak dan kutaro di dompet kesayanganku, yang sudah menemaniku selama lima tahun. Karena aku tahu aku pasti akan merindukannya. Terlihat sosok pemuda tampan dengan mata sipitnya menyatu dengan hidung mancung serta bibir tipis yang dengan sengaja dibuat sensual menjadi ciri khas dia ketika berfose. Rambut hitamnya serta kulitnya yang tak lagi putih namun mendekati coklat kian terlihat manis  dibalut dengan kemeja merah hati yang membuat aku tak henti memandanginya. 

Sreetttt... Aku menyentuh foto tersebut dengan tanganku seraya berkata dengan suara lirih “seperti apakah wajahmu sekarang? Masihkah sama atau sudah berubah seperti perasaanmu yang berubah dan meninggalkanku dalam kesepian, ah sudahlah”. Aku menepis perasaanku yang mulai merindukannya. Setelah selesai memandangi fotonya dan sedikit mengenang masa lalu akupun merebahkan badanku di tempat tidur kesayanganku. Dan tanpa sadar akupun tertidur dengan posisi tengah memeluk dompet lucuku. Yah dompet tersebut adalah hadiah ulang tahunku yang ke-17 tahun dari Adit. Aku masih menggunakannya walaupun terkadang ledekan dari teman-teman harus ku terima dengan senyuman. Mungkin karena bentuk dan warnanya yang unyu-unyu, entahlah akupun tidak tahu.
****
“Klik” bunyi stop kontak lampu kamarku, keadaan kamar langsung berubah dari yang gelap menjadi terang. Aku yang masih mengantuk hanya membuka mata sebentar dan lanjut menarik selimut. Tapi dengan lembutnya mamah duduk tepat di sampingku, bibir merah mamah menyentuh keningku tak lupa dengan penuh kasih sayang mamah membelai-belai rambutku. “Bangun sayang sudah shubuh, yuk shalat dulu nanti kesiangan loh, kan hari ini kamu ada acara degan teman-teman kan sayang?” begitulah cara mamah membangunkanku yang sedikit manja ini. “ehhmmm” begitulah jawabanku atas perhatian mamah yang luar biasa seraya membalikan posisi tidurku menjadi membelakangi mamah. Mamah hanya merapihkan selimutku kemudian mamah pun meninggalkanku bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku yang masih ingin menikmati indahnya bunga tidur tak dapat melanjutkannya. Suara kokokan ayam saling bersahutan, kicauan burung turut meramaikan menyambut indahnya fajar di pagi hari. Aku yang mulai malu dibuatnya akhirnya beranjak dari tempat tidur dan pergi mandi bersiap untuk shalat lalu pergi menemui teman-temanku setelah selesai sarapan. Apapun bisa terjadi ketika sudah bertemu dengan teman-teman baikku, termasuk bermain seharian di rumah teman yang selalu menjadi tempat istimewa buat kami. Maklum kita hanya dapat bercengkrama jika ada waktu libur yang tepat karena masing-masing memiliki kesibukan yang berbeda.
***
Hari semakin sore, aku yang tengah gelisah terlihat dari berkali-kali melihat jam tangan yang kupakai di lengan kiriku. Entah apa yang membuat aku gelisah, aku yang sudah siap dengan dandanan sederhana. Yah, aku hanya mengenakan kaos polos berwarna putih kesukaanku yang kupadukan dengan rok bunga-bunga berwarna krem serta kerudung yang kian mempercantik penampilanku. 

Aku yang percaya bahwa Adit akan menepati janjinya sudah duduk di ruang tamu sejak 30 menit yang lalu. Seakan seseorang yang penting yang akan aku temui, yah betul aku menunggu Adit yang akan datang ke rumah beberapa saat lagi. Adit yang selama lima tahun menghilang dari kehidupanku tapi masih menempati ruang di hatiku. Adit yang selalu kurindu dan kunanti kehadirannya, kini akan datang menemui aku. Jelas rasa grogi dan gelisah senantiasa menemaniku. Perasaan tak menentu, tangan tiba-tiba dingin dan tanpa sadar aku menggerak-gerakkan kakiku di atas lantai yang sengaja kusilangkan.
****
“Teeeeettttt” bunyi klakson motor berhasil membuyarkan perasaan tak menentu yang dari tadi tengah kurasakan. “Yah itu pasti suara motor Adit” gumamku pelan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu yang diketuk olehnya dilanjutkan dengan ucapan salam “Assalamualaikum” ucap Adit dengan penuh semangat. “Waalaikumsalam” aku menjawab salam Adit sambil bergegas membukakan pintu untuknya.
“Waalaikum sa.. salam” ucapku pelan sambil menggigit bibir tipisku, ketika aku membuka pintu dan tepat dihadapanku berdiri seorang pemuda gagah nan tampan sampai-sampai aku tidak mengenalinya. Lima tahun tak bertemu membuat dia menjelma menjadi pribadi yang lebih elegan jauh sebelum dia pergi. Namun satu yang tak berubah sikap baik dan ramah itu masih tetap melekat indah pada dirinya. Terlihat dari cara dia menyambutku dan masih mengakui aku sebagai sahabat yang sangat dirindukannya. 

Masih belum sadar dari rasa kaget aku sudah dikejutkan dengan nada bercanda Adit yang dari dulu tidak berubah. “Dor, kok bengong sih kayak melihat hantu aja. Masa sih ada hantu seganteng ini?” ucapnya sambil mengerak-gerakan tangannya dihadapan mukaku. Aku hanya terdiam dan sedikit merubah posisi berdiriku yang tadinya berada dibalik pintu menjadi tegak berhadapan dengannya. “hemm jadi gini cara memperlakukan tamunya, jadi aku gak disuruh masuk nih?” Adit kembali berkata dan berjalan menuju pintu rumahku. “emmm eh maaf, iya silahkan masuk Dit, maaf ya rumahnya berantakan. Ayo silahkan duduk”. Kalimat tersebut adalah basa-basi yang sangat klasik untuk seorang sahabat yang dulu sempat dekat seperti aku dan Adit. Namun entah mengapa aku seperti bertemu dengan orang yang baru aku kenal. Dan satu hal yang tak pernah berubah pada diriku hingga saat ini, yaitu aku selalu jatuh cinta padanya ketika kita bertemu. Aku jatuh cinta padanya sama seperti pertama kali bertemu, jatuh cinta pada pandangan pertama.
 Dengan bersikap layaknya baru kenal kami pun duduk dan mengobrol seperti biasa.
***
“Ra berangkat sekarang yuk” ajak Adit padaku yang tengah asik memainkan HP entah apa yang aku otak-atik, hanya saja itu sering aku lakukan ketika merasa grogi dan bingung mau ngapain. Aku terkaget dan hanya menjawab “ooh iya, maksudnya Dit, kita mau pergi kemana?” “hemm kemana ya? Udah ayoo ikut aja”. Adit kembali mengajak ku dengan penuh semangat. Akhirnya aku menuruti ajakan Adit, kita bersiap untuk pergi entah kemana, yang pasti aku merasa semakin grogi dan pikiranku mulai tak karuan. Tapi aku paling bisa mengatasinya, aku dengan sikap cuek dan seakan tidak ada perasaan apapun berhasil tampil dengan wajah ceriaku. Dengan sedikit buru-buru aku bergegas ke dapur memanggil mamah, seperti biasa kemanapun aku pergi dengan siapapun itu aku harus tetap izin sama mamah. Setelah meminta izin dan pamitan aku dan Adit bergegas pergi ke depan rumah.
****
Adit mulai menghidupkan sepeda motornya, aku hanya berdiri sambil sesekali memperhatikan Adit. “Ayo Ra naik” ajak Adit sambil menganggukan kepalanya memberikan isyarat bahwa dia benar-benar ingin mengajakku pergi. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampiri Adit dan duduk tepat dibelakang Adit. Yah kita pergi menggunakan sepeda motor Adit yang kelihatannya masih baru. Dengan perlahan akhirnya sepeda motor pun melaju, aku hanya terdiam dan fokus dengan posisi dudukku yang yang sangat tidak nyaman. Walaupun kita sahabatan sudah lebih dari lima tahun namun perpisahaan itu mampu membuat susana menjadi canggung. Terlebih sebenarnya aku grogi dengan perasaan yang selama ini aku pendam. Aku tidak berani meletakkan tanganku dipinggangnya Adit terlebih melingkarkannya walaupun sebenarnya aku takut jika tiba-tiba Adit tancap gas aku akan sedikit terdorong ke depan. “Ah sudahlah Ra kamu harus tetap dengan posisi seperti ini” gumamku dalam hati. Semakin lama sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Dengan kepala yang tertutup helm Adit hanya fokus mengendarai sepeda motornya tanpa berbicara sepatah katapun padaku. Kondisi seperti ini semakin membuatku merasa tidak karuan. Namun aku menikmati perjalanannya, dan aku tidak menyangka bahwa Adit benar-benar membawa aku ke tempat favorit kita sewaktu masih dekat dulu. Sebuah pantai yang menjadi saksi kedekatan persahabatan kami, namun ada yang beda sepertinya. Pantai yang masih terlihat indah kini kian bertambah keindahannya dengan adanya sebuah dermaga yang terbentang menahan birunya laut. Mataku langsung tertuju pada keindahan alam ciptaan-Nya itu walau masih berada di atas sepeda motor.
***
“sreetttttttt” bunyi ban sepeda motor bersentuhan dengan rerumputan yang melapisi tanah di pinggir dermaga. Adit menghentikan motornya, sambil membuka helm yang semenjak tadi melindungi wajah tampannya dia menengok ke arahku seraya berkata “Taraaa.. sudah sampai, ayo turun Ra” Adit kembali meletakkan helmnya di atas jok motor, sedangkan aku dengan pelan-pelan turun dari motor Adit. Dengan wajah sumringah seakan mendapatkan kejutan yang selama ini aku idam-idamkan. Yah jujur aku terkejut, aku tidak menyangka Adit masih tetap mengingat tempat kesukaan kita dan mengajakku untuk mengunjunginya setelah sekian lama kita tidak bertemu. Aku yang terkagum-kagum hanya bisa tersenyum dan sesekali menutupi mulutku dengan kedua telapak tangan seakan tidak ingin Adit tahu kalau aku tengah berbunga-bunga.
“Wah indah banget, dermaga dengan laut yang biru, subhanallah” kalimat itulah yang berhasil aku ucapkan sebagai bukti kekagumanku dan rasa senang yang tiada tara. Aku yang sedang menikmati keindahan pemandangan berhasil memanjakan pandanganku semakin lepas kontrol. Aku sibuk memotret tempat-tempat yang indah yang sangat aku rindukan, maklum selama ini aku jarang main karena kesibukan kuliah di luar kota dan alasan klasik lainnya. Aku tidak sadar bahwa Adit tengah memperhatikan tingkah konyolku yang bagaikan anak ayam lepas dari kandangnya. Tanpa aku sadari Adit sudah berada tepat di belakang ku.
“ehmm, kayaknya lagi seru nih, sampe lupa ada orang disini hee” Adit berusaha menggodaku dengan nada bercandanya. Aku yang terkadang bertingkah panik akhirnya terlihat juga sikap yang sebenarnya. “oh, sorry sorry.. biasa terbawa suasana” jawabku sambil menghentikan aktivitas memotret pemandangan senja yang sangat indah. “oh iya Ra, duduk yuk”. Ajak Adit saraya mengambil posisi duduk di atas rumput yang hijau tepat menghadap ke arah dermaga dan pantai. Tempat ini adalah tempat favorit kami untuk menunggu sunset tiba. Dia masih ingat dan tidak ada yang berubah, namun yang membuat perasaanku semakin aneh adalah sikap Adit yang lebih dewasa dan cara memperlakukan aku sangat berbeda dengan semasa kita bersahabat dulu. Jika dulu kalau kita mau melihat sunset di tempat ini yah langsung duduk saja tanpa ada basa-basi. Namun di senja ini Adit memperlakukanku lebih istimewa dari biasanya. Adit yang sudah duduk kembali mengajakku dengan suara yang lembutnya. “Ra, kok masih berdiri aja, sini duduk” Adit dengan pandangan penuh harap mengajakku dan tangannya menepuk-nepuk rumput yang melapisi tanah. Seakan pertanda bahwa dia menginginkan aku duduk disampingnya. Melihat cara Adit memperlakukan aku yang sedemikian beda dari jaman kita masih bersahabat dulu. Aku hanya mengangguk dan berjalan ke arah Adit dan duduk tepat disampingnya.
****
Bagaikan badan yang lesu bertemu dengan multivitamin begitulah yang dapat menggambarkan keadaanku saat itu. Luar biasa bahagia sambil menikmati senja dan menanti sunset tiba kami saling bercerita satu sama lain. Mulai dari kuliah sampai perjalanan asmara kami, tanpa rasa malu kami juga saling bercerita tentang keluarga, teman-teman dan sahabat. Tidak lupa juga kami bernostalgia selama perjalanan persahabatan kami sampai dengan saat ini. Adit yang sudah lulus dari kuliahnya memamerkan kesuksesannya dihadapanku. Sedangkan aku yang masih dalam proses mengejar apa yang biasa orang katakan sukses turut merasakan kebagiaan yang tengah Adit rasakan. Tidak terasa senja sudah mulai pergi dengan perlahan dan sebentar lagi akan digantikan dengan datangnya sang rembulan yang sedikit menerangi gelapnya malam. 

“Eh Dit uda mau mghrib nih, pulang yuk” ajakku sontak menggetkan Adit yang tengah melamun, entah apa yang dipikirkan Adit. Aku langsung beranjak dari tempat duduk kemudian berdiri sedangkan Adit masih setia dengan posisi duduknya. “Ayo lah Dit” aku mulai resah dan sedikit merengek. Tiba-tiba Adit meraih tanganku dan memandangku dengan sedikit senyuman. Jelas aku sangat kaget, jantung ini berdetak tak karuan kaki seakan mau bergetar namun aku tahan, jika tidak maka rasa malu ini akan membuatku semakin salah tingkah. Saat itu aku semakin tidak kontrol hanya bengong tanpa sepatah katapun. Tiba-tiba lidah ini menjadi kelu padahal barusan aku dengan lantangnya memintanya untuk cepat-cepat pulang. “Hey, kok bengong sih?” tanya Adit sambil menggerakkan tangannya yang memegang tanganku. “Ayo tarik aku tadi katanya mau cepat-cepat pulang” sambung Adit seraya menengadahkan kepalanya sambil menatapku dengan penuh harap. Tanpa pikir panjang aku langsung menarik Adit dengan sepenuh tenagaku. “Hup” teriak Adit yang berhasil terangkat dari posisi duduknya. Dengan spontan Adit sudah berada dihadapanku tangannya masih memegang tanganku. Jarak kita hanya dipisahkan sejauh 20 cm dan kita saling menatap satu sama lain seakan ada sesuatu yang berdesir di hatiku saat ku tatap wajah Adit. Kedua mata sipit Adit kian dekat dengan tatapannya yang membuatku semakin tak dapat mengendalikan detak jantung yang kiat tak teratur, dengan perlahan ku alihkan tatapanku dan hanya menunduk melihat ke arah sepatuku. Aku tidak tahu harus berkata apa dan harus bertindak seperti apa, mungkin perasaan itu yang mempengaruhi aku sehingga bertindak bodoh seperti ini. Perasaanku kembali tak menentu, hembusan angin, deburan ombak dan suasana senja yang dihiasi dengan jingganya menjadi saksi bahwa kembali lagi aku jatuh cinta padanya. Dermaga biru disenjaku pun turut menjadi saksi, aku jatuh cinta padanya lagi, lagi dan lagi. Namun beberapa saat kemudian aku kembali menepis perasaanku ini. Aku sadar bahwa dia tidak memiliki perasaan seperti yang tengah aku rasakan, apalagi menyimpan perasaan yang sudah lama dipendam. Itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada Adit yang di kampusnya menjadi idola. Aku terus berpikir sebaliknya dari apa yang sebenarnya aku harapkan darinya.

Angin pantai kian menusuk tubuhku yang hanya dibalut dengan kaos kesayangnanku tanpa mengenakan jaket. Terihat dari wajahku yang mulai memerah karena kedinginan, maklum dari kecil aku tidak bisa kedinginan. Yah kebanyakan orang menyebutnya dengan sebutan alergi dingin. Entahlah akupun tidak mengerti mengapa bisa seperti itu, tapi ya itulah aku. “Hey Ra” bisik Adit seraya mengangkat tanganku kemudian melepaskannya. Aku yang sempat kaget secara spontan melepaskan genggaman tangannya Adit dan hanya menjawab “o...ooh iya ayo dit” aku langsung bergegas menghampiri ke arah motor Adit sambil mengelus-eluskan tangan pada lengan dan bahuku tanpa menatap Adit yang masih berdiri dan terus memperhatikan aku. 

Tiba-tiba Adit menghampiriku, berdiri tepat dibelakangku kemudian membuka jaket yang dia kenakan dan memakaikannya padaku yang tengah kedinginan. Dengan pelan-pelan Adit membantu aku memakai jaket dan berkata dengan suara lembutnya yang selalu aku rindukan. “Pakai jaket yah Ra, kasian kamu kedinginan” aku yang tidak ingin ketahuan telah memiliki perasaan yang berbeda padanya tidak membalas perlakuan romantisnya dengan kata-kata yang dapat masuk kedalam suasana. Dengan nada biasa aku ketawa lucu dan berkata “ heee, maksih ya Dit iya nih aku kedinginan, oh iya terus kamu gimana?” layaknya teman yang mengkhawatirkan keadaannya juga. “Ah gampang aku mah, yang penting kamu dulu aja Ra gak kedinginan” sambung Adit sambil menghidupkan motornya dan siap untuk pulang. Akupun bergegas naik dan sudah dalam keadaan siap pergi. 

Ditengah perjalanan aku memberanikan diri untuk mengajaknya ngobrol namun kembali lagi aku mengurungkan niat itu dan hanya mampu mengucapkan terima kasih. “Makasih ya Dit” ucapku singkat. Adit hanya mengangguk dan kembali lagi fokus untuk mengendarai sepeda motornya. Aku masih seperti perjalanan berangkat dari rumah, masih belum berani meletakkan tanganku dipinggangnya Adit. Namun tiba-tiba adit meraih tanganku yang dingin kemudian melingkarkannya dipinggangnya, bukan hanya itu Adit juga dengan lembut memegang tanganku seperti seseorang yang sedang berusaha menghangatkan tangan yang dingin. Pertamanya aku menolak pertolongan yang menurutku sedikit berlebihan ini. Karena kita adalah hanya sepasang sahabat tidak lebih. Namun karena Adit yang mengulanginya lagi dan lagi, akhirnya aku menerimanaya atas nama persahabatan dan keselamatan. 

Kembali lagi, rasa nyaman semakin kurasakan ketika kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Entah apa yang membuatku merasa senyaman ini, desiran yang berasal dari hatiku kini semakin kuat dan menghadirkan perasaan bahagia yang sebelumnya tidak pernah kurasakan. Perasaan apakah ini?
***
Setiba di rumah, senja sudah pergi dan menyisakan gelapnya malam yang ditemani sang rembulan. Tidak terasa kita sudah sampai di rumah, Adit memberhentikan sepeda motornya tepat di halaman rumahku. Terlihat mamah dengan wajah gelisahnya telah menunggu kami. Akupun menyalami mamah dan menjelaskan mengapa kami pulang terlambat, mamah selalu mengerti dan mempertilahkan Adit untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi seperti biasa Adit langsung masuk ke dalam rumahku untuk menumpang shalat dan beristirahat sejenak.
****
Dalam heningnya malam terlihat sepasang sahabat yang saling diam satu sama lain, tepatnya di sebuah ruang tamu aku dan Adit hanya duduk dan sibuk memainkan Hpnya masing-masing. Berbeda halnya dengan suasana di ruang keluarga yang sedang asyik menonton tv. Adit mengawali pembicaran yang dari tadi hanya diam saja satu sama lain. “Oh ya Ra, untuk yang tadi aku minta maaf ya”. “oh iya tidak apa-apa kok Dit” jawabku malu.  “ini jaketnya maksih ya” sambungku seraya memberikan jaket Adit. Senyuman manis itu terlihat dari wajah tampannya seraya mengambil jaketnya Adit berkata “iya sama-sama Ra”. “diminum Dit tehnya, udah dibuatin mamah tuh” aku menyuruh Adit untuk meminum teh manis anget yang sudah dibuatkan mamah. Adit langsung mengambil cangkir yang berisi teh manis kemudian meminumnya. “hemm manis banget, semanis kamu Ra” goda Adit sambil meletakkan cangkir ke tempat semula. Entah apa yang membuatku menjadi tersipu ketika Adit berusaha menggodaku. Namun semuanya dapat ku atasi sehingga suasana menjadi hangat dan penuh rasa humor kembali.
***
Jam dinding yang terletak di ruang tamu menunjukkan pukul 19.10 suasana tiba-tiba menjadi serius ketika Adit menatapku dengan pandangan serius dan berkata “Ra, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sama kamu, aku juga ingin menyampaikan sesuatu yang selama ini aku nanti-nantikan. Namun entah mengapa aku selalu ragu dan merasa ketakutan ketika akan mengatakannya. Aku takut kamu marah sama aku, tapi sepertinya sekarang sudah waktunya aku mengatakannya”. Dengan nada lembut Adit seakan sedang membuat pengakuan yang selama ini dia pendam. Aku hanya terdiam dan sedikit ketakutan namun aku sendiripun tidak tahu apa yang membuatku merasa takut. Jantungku seperti mau meloncat dari sistem peredaran darahku, aku takut dia akan mengatakan sesuatu yang selama ini aku harapkan. “ya Allah apa mungkin dia akan menyatakan cintanya padaku?” tanyaku dalam hati. Adit kembali mendekati aku dan melanjutkan kata-katanya. “Ra jujur, sebenarnya aku.. a..a..aku” Adit kembali menunda pembicaraannya dan membuang tatapannya ke arah lain. Aku sudah tidak bisa menggambarkan seperti apa perasaanku saat itu. Aku memberanikan diri untuk menyentuh lengan Adit dan berusaha membalikan badannya agar melihat ke arahku. “Ada apa Dit, kamu kenapa?” tanyaku polos seakan-akan tidak mengetahui apa-apa. Adit yang mulai terlihat grogi mukanya memerah dan tatapannya semakin tajam. Terpaksa aku membalas tatapannya, pada saat itu kita saling menatap satu sama lain. Dengan perasaan tidak karuan aku mencoba sebiasa mungkin, namun Adit kembali mengucapkan sesuatu yang sudah tidak mampu ia bendung. “Ra, a..a..ku.. aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi jangan marah ya.. Ra, sebenarnya aku, a..a..ku..” “Hemm” jawabku pelan. “Ra sebelumnya aku mohon kamu jangan marah dan ilfil mendengar pengakuanku ini ya”. “Iya adit kenpa aku harus marah emangnya kamu salah apa?” aku mencoba menjawab kata-kata Adit yang semakin membuatku penasaran. “Jujur ya Ra aku sudah lama memendam perasaan ini. Aku sudah jatuh cinta jauh sebelum kamu menyadarinya, aku jatuh cinta sama kamu dari pertama kita bertemu menjadi sahabat dan sampai saat ini. Aku memang bodoh Ra aku sangat bodoh dan sudah jahat sama kamu” dengan suara yang lirih adit membuat pengakuan padaku atss perasaannya selama ini, namun tiba-tiba aku meletakkan jari telunjukku yang lentik itu dibibir tipisnya Adit, spontan Adit menghentikan pembicaraannya dan menatapku dengan penuh harap. Aku yang memiliki perasaan yang sama ini berusaha meyakinkannya “ssuuuttttt Kamu ga bodoh kok” hanya kalimat singkat itu yang mampu kuucapkan. Adit meraih tanganku dan mengenggamnya dengan erat seraya berkata dengan suara lirih “iya Ra, aku bodoh karena aku pergi meninggalkan kamu tanpa sepatah kata apaun dan tidak memberikan kamu kabar selama lima tahun. Aku mohon maafkan aku Ra, maafin aku yang sudah meninggalkan kamu dalam kesepian yang tidak sebentar ini. Maafkan aku yang selalu menahan rindu padamu. Dulu aku masih terlalu muda dan aku hanya ingin membahagiakan orang tuaku dengan studiku. Maka dari itu aku tidak dapat menolak ketika ayah menyuruhku untuk kuliah di luar negeri. Maafin aku Ra maafin aku ya, aku sayang kamu Ra sayang bangeettt.” Tidak terasa ada buliran lembut yang menetes dipojok mataku, aku yang mudah tersentuh jelas merasakan apa yang selama ini Adit rasakan, aku tidak menyangka ternyata Adit memiliki perasaan yang sama dengan aku. Cinta ini tidak hanya bertepuk sebelah tangan tapi dengan kesabaran kami mampu membingkainya dengan indah. Saat itu suasana menjadi hening, aku tidak dapat menahan air mata yang kian deras mengalir dipipiku. Adit kembali melanjutkan kata-katanyan “Dan aku berbicara seperti ini bukan untuk mengajak berpacaran denganmu karena aku takut suatu saat nanti kamu akan memutuskan aku, Ra. Aku berbicara seperti ini tulus dari hati dan sudah mendapat izin serta restu dari mamah papah, aku ingin melamarmu untuk menjadi kekasih halalku. Menjadi bidadari dalam hidupku, menjadi pelurus tulang rusukku dan menyempurnakan kekuranganku. Karena Allah aku mencintaimu dan lahir bathin aku menerima kamu Ra” Dengan suara yang lantang dan penuh ketegasan adit berusaha meyakinkanku. Aku hanya bisa diam dan menangis dengan perasaan sudah tak menentu. Aku tidak menyangka Adit akan melamarku seperti ini dan aku tidak menyangka bahwa dia sudah lebih dulu mencintaiku. Aku belum sempat menjawab, Adit kembali bertanya padaku. “Ra, kamu akan menerima aku dengan sejuta kekuranganku kan, aku tahu kamu juga pasti melihat niat tulus ini dimataku kan?” Dengan suara yang diringi isak tangis kecilku aku berusaha menjawab. “Insya Allah Dit, aku mau menjadi kekasih halalmu, aku mau menjadi bidadari dalam hidupmu, aku juga mau menjadi pelurus tulang rusukmu dan aku akan membuat kamu sempurna dengan menerima kamu apa adanya. Tapi izinkan aku untuk memohon izin terlebih dahulu sama ibu dan ayah”. Aku yang terlihat sangat bahagia dengan ini semua tanpa ragu-ragu menerima permohonan dari Adit.
***
Hari berganti hari dan tepat satu minggu setelah Adit mengutarakan isi hatinya padaku. Akhirnya Adit datang kembali ke rumah bersama dengan keluarganya, berniat untuk meminang aku. Aku dan keluarga yang telah mempersiapkan semuanya terlihat bersemangat untuk menyambut kedatangan Adit. Dengan penuh khidmat dan disaksikan keluarga besar acara tunangan berlangsung dengan lancar dan meriah. Terlihat Adit yang semakin tampan dengan celana hitam dan kemeja putihnya yang sangat elegan. Dan aku yang dari tadi tersipu-sipu semakin membuat pipiku merona dengan balutan kerudung berwarna abu-abu yang dipadukan dengan gamis berwarna senada. Lengkap sudah perasaan bahagiaku ketika Adit memasangkan cincin tunangan kita dijari manis tangan kiriku. Begitupun dengan Adit, terlihat jelas diwajah tampannya rasa bahagia itu tengah menyelimutinya. Dua insan yang saling memendam rasa cinta satu sama lain dan dipisahkan oleh jarak dan waktu selama lima tahun, kini mereka dapat merasakan kebahagian atas pengorbanan mereka, yah aku dan Adit.
***
Tunangan ini merupakan langkah awal kami untuk menuju jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Namun karena Aku yang masih menyelesaikan studiku niat itu ditunda dulu sampai aku selesai studi. Dengan keputusan ini Adit sama sekali tidak merasa keberatan dan akan siap menunggu sampai tiba waktunya. Aku bahagia dan senantiasa bersyukur atas hadiah dan kejutan luar biasa di masa libur singkatku. Walau hanya dalam hitungan hari namun aku sangat menikmati dan memaknainya. Bagaimana tidak aku mendapatkan yang selama ini aku harapkan dengan jalan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Memang rencana Allah selalu menjadi yang terbaik dari apa yang kita rencanakan.

***
Sang mentari sudah tidak malu lagi untuk menyambut hari yang cerah ini, aku, Adit dan seluruh pengisi bumi ini akan segera mulai beraktivitas dengan kesibukannya masing-masing. Liburan sudah usai dan saatnya aku kembali dengan rutinitas yang akan menjadi teman baikku. Selamat tinggal liburan yang sangat mengesankan, jangan pernah bosan untuk terus memberikan aku tinta kehidupan maka akan senantiasa ku tulis semua kenangan.

TAMAT
Bekasi, 20 Agustus 2014_TSA_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar