Dermaga
Biru di Senjaku
Namaku
Zahra Syifa Maulidina, aku sedang disibukan dengan studiku di salah satu
universitas di Indonesia. Dan sekarang aku sedang menikmati masa
liburanku yang cukup singkat ini, namun walau begitu aku tetap bersyukur. Aku
biasa dipanggil Zaza atau Zahra, hanya Adit yang memberikan panggilan beda
padaku, “Ra” biasa dia memanggilku.
***
Sore
yang indah senantiasa kunanti, entah apa yang ku tunggu hanya saja aku selalu
terkagum-kagum akan eloknya jingga yang dipersembahkan sang senja. Aku suka
suasana senja, begitu sejuk dan menenangkan, terlebih jika hembusan angin yang
lembut turut memanjakanku. Heemm sungguh nikmat Tuhan yang sangat aku syukuri.
****
Aku
yang sedang asyik duduk di teras belakang rumah sambil menikmati suasana senja,
sontak terkagetkan oleh nada handphone yang terletak tepat di sampingku. Nada
yang singkat namun mampu membuatku kaget. Oh ternyata ada sms, tanpa berpikir
panjang aku pun langsung meraih Hpku dan membuka pesan tersebut. Deg.. jantung
ini seakan berhenti berdetak, namun sesaat kemudian dilanjutkan dengan detak
jantung yang lebih kencang, perasaanku mulai tak karuan. Tangan menjadi dingin
dan mataku yang sipit berubah menjadi belo karena terpaksa melotot menatap isi
pesan itu.
“Benarkah, diakah?” gumam ku seraya
menggerak-gerakan HP yang sedang ku genggam dengan erat. Entah apa yang membuat
ku kaget melihat pesan singkat tersebut. Padahal isi dari pesan tersebut biasa
saja. “Assalamualaikum, hay Ra kamu apa
kabar?” kalimat itulah yang aku baca, tidak ada yang aneh apalagi membuat
kaget. Iya memang biasa tapi siapakah yang mengirim SMS itu sampai mampu
mengagetkan ku? Ternyata SMS itu dari Radit Pradana Ramadhan, “Adit” biasa ku
panggil dia. Dia adalah sahabat terbaik aku. Dia yang paling mengerti akan aku
dan sangat mengerti segalanya yang ada pada diriku. Bagaikan satu kesatuan yang
berpadu dengan indah, tak ingin terpisahkan apapun yang menjadi penghalang, begitulah
kisah persahabatan kami. Entah apa yang membuatnya pergi meninggalkanku tanpa sepatah
kata pun. Begitu juga dengan perpisahan yang biasa orang-orang lakukan pada
umumnya ketika hendak berpisah. Namun hal itu tidak aku dapatkan ketika Adit
hendak pergi meninggalkanku.
Tepatnya
lima tahun yang lalu dia menghilang dari kehidupanku. Tanpa kabar atau apapun
yang membuatku lega ketika aku menerimanya. Selama lima tahun aku menjalani
hari-hariku tanpanya, walau begitu aku selalu berharap suatu saat nanti dia
akan menghubungiku. Maka tak heran selama lima tahun aku tidak mengganti nomor
handphoneku, walaupun sering mendapat sms yang tidak penting dari orang-orang
yang pura-pura salah sambung. Aku yang cuek tidak pernah menaggapinya.
Aku tahu perasaan ini sangat berbeda dengan
perasaanku terhadap sahabat-sahabatku yang lainnya. Ada rasa yang selama ini
aku pendam untuknya. Iya untuk dia, Adit yang selama ini aku tunggu. Dan hari ini
aku mendapatkan SMS darinya dengan nomor yang sama karena selama ini aku masih
menyimpan nomor HP dia. Aku tidak mengerti seberapa kuat perasaan ini dan
mengapa aku begitu yakin bahwa dia akan datang padaku. Padahal selama lima
tahun ini aku bisa saja menghubunginya namun perasaan gengsi dan marah yang
terkadang muncul selalu berhasil mengurungkan niatku.
Lima
tahun bukan waktu yang sebentar maka tak heran jika aku merasa kaget ketika
mendapat pesan darinya. Aku masih tertegun, dan hanya menatap layar HP yang
sudah mulai terlihat usang. Yah aku masih menggunakan HP sewaktu kita
bersama-sama, HP yang sama dan kita membelinya pun bersama-sama. Aku tidak tahu
perasaan apa yang selama ini aku pendam. “Mungkin karena seringnya kita bersama membuatku jatuh
cinta padanya?” gumamku dalam hati.
Tidak dapat ku pungkiri bahwa selama kita
bersama aku selalu jatuh cinta padanya. Setiap hari berganti, setiap kali
bertemu dan setiap kali ku mengingatnya aku jatuh cinta padanya. Namun atas
nama persahabatan aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku
yang jelas akan merusak persahabatan kita. Benar adanya yang sering orang
katakan bahawa tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki, antara
wanita dan pria. Pasti akan tersirat perasaan yang setiap insan berhak
memilikinya yaitu perasaan cinta dan mencintai.
****
Ketika
itu dengan tangan yang gemeteran jari-jemariku mulai mengetik pesan yang akan
aku kirim pada Adit. “Bismillahirahmanirohim, heemm” ucapku sambil menghela
nafas. Dengan perasaan masih tidak percaya aku membalas SMS dari Adit.
Zahra: “waalaikumsalam,
Adit kamukah ini”
Adit: “Iya Ra, kenapa kamu kaget
ya? Wah aku gak nyangka loh Ra, kamu masih menyimpan nomor aku.. heee”
Zahra: “Hemmm sempet kaget sih, ya
mungkin kebetulan aja aku juga tidak mengganti nomor sekaligus HP, oh iya kabar
aku alhamdulillah baik, kamu gimana Adit?”
Adit: “wah keren kamu Ra bisa ya jaman sekarang
masih bisa bertahan dengan HP model lama? Aku kurang baik nih heee”
Zahra: “ enggak ah biasa aja semua orang juga bisa
kok kalau mau, kok kurang baik kamu sakit Dit?”
Adit:
“enggak Ra, hanya saja aku lagi kangen
kamu Ra, besok kamu ada di rumah kan?”
Begitulah rangkaian percakapan yang
berhasil ku abadikan di Hpku.
Deg...
jantung ini kembali berdetak tak menentu, yang tadinya sudah kembali normal
kini mulai tak karuan lagi. Aku menghentikan obrolan lewat sms tersebut. Aku
bingung mau membalas apa, yah aku tahu bahwa dia pasti merindukanku hanya
sebatas rindu pada seorang sahabat yang sudah lama berpisah, tidak lebih. Namun
mengapa aku merasa salah tingkah dan grogi pada saat membaca pesan terakhir
yang dikirim Adit via Sms. Dengan perasaan gugup aku menengok pada jam tanganku
dan sudah menunjukan pukul 18.00 yang ditandai dengan jarum jam tepat membentuk
garis vertikal. Aku pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu
dan menunaikan shalat maghrib.
***
Lega
rasanya setelah menunaikan kewajiban dan sedikit bercengkrama dengan-Nya.
Seperti biasa setelah merapihkan mukena aku duduk di tempat tidurku dan kembali
kuraih HP kesayanganku. Kubuka menu dan ku klik pesan di Hpku, dengan mantap
aku membalas pesan dari Adit. “Insya
Allah aku ada di rumah ba’da ashar, silahkan datang ke rumah” jawabku
singkat dengan bahasa yang sedikit formal tanpa membalas kalimat dia yang
sebelumnya. Jujur aku masih terlalu naif untuk mengatakan bahwa aku pun sangat
merindukannya dan selalu menantinya kembali. Namun itulah aku selalu bertahan
dengan memendam dan bersembunyi dari perasaan yang selama ini menghantui.
Malam
itu entah mengapa aku merasa gelisah dan tidak dapat memejamkan mata sipitku.
Lantunan istigfar senantiasa terlontar dari bibir tipis nan merah itu. Aku berusaha
keras untuk dapat tidur lebih awal karena besok ada agenda yang cukup menyita
waktu. Namun aku masih belum bisa memejamkan mata untuk tertidur pulas, padahal
sebentar lagi tengah malam dan rumah sudah mulai sepi. Akhirnya aku beranjak
dari tempat tidurku, kubuka laci meja belajar terdapat sebuah dompet lucu
dengan warna pink yang menambah kesan indah dompet tersebut. Entah apa yang mau
aku ambil dalam dompet tersebut mungkinkah uang, untuk apa?
Heemm
aku memang pantas disebut sebagai pengagum rahasia. Karena diam-diam aku pernah
mengambil fotonya lalu ku cetak dan kutaro di dompet kesayanganku, yang sudah
menemaniku selama lima tahun. Karena aku tahu aku pasti akan merindukannya. Terlihat
sosok pemuda tampan dengan mata sipitnya menyatu dengan hidung mancung serta
bibir tipis yang dengan sengaja dibuat sensual menjadi ciri khas dia ketika
berfose. Rambut hitamnya serta kulitnya yang tak lagi putih namun mendekati
coklat kian terlihat manis dibalut
dengan kemeja merah hati yang membuat aku tak henti memandanginya.
Sreetttt...
Aku menyentuh foto tersebut dengan tanganku seraya berkata dengan suara lirih “seperti
apakah wajahmu sekarang? Masihkah sama atau sudah berubah seperti perasaanmu
yang berubah dan meninggalkanku dalam kesepian, ah sudahlah”. Aku menepis
perasaanku yang mulai merindukannya. Setelah selesai memandangi fotonya dan
sedikit mengenang masa lalu akupun merebahkan badanku di tempat tidur
kesayanganku. Dan tanpa sadar akupun tertidur dengan posisi tengah memeluk
dompet lucuku. Yah dompet tersebut adalah hadiah ulang tahunku yang ke-17 tahun
dari Adit. Aku masih menggunakannya walaupun terkadang ledekan dari teman-teman
harus ku terima dengan senyuman. Mungkin karena bentuk dan warnanya yang unyu-unyu,
entahlah akupun tidak tahu.
****
“Klik”
bunyi stop kontak lampu kamarku, keadaan kamar langsung berubah dari yang gelap
menjadi terang. Aku yang masih mengantuk hanya membuka mata sebentar dan lanjut
menarik selimut. Tapi dengan lembutnya mamah duduk tepat di sampingku, bibir
merah mamah menyentuh keningku tak lupa dengan penuh kasih sayang mamah
membelai-belai rambutku. “Bangun sayang sudah shubuh, yuk shalat dulu nanti
kesiangan loh, kan hari ini kamu ada acara degan teman-teman kan sayang?” begitulah
cara mamah membangunkanku yang sedikit manja ini. “ehhmmm” begitulah jawabanku
atas perhatian mamah yang luar biasa seraya membalikan posisi tidurku menjadi
membelakangi mamah. Mamah hanya merapihkan selimutku kemudian mamah pun
meninggalkanku bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku yang masih
ingin menikmati indahnya bunga tidur tak dapat melanjutkannya. Suara kokokan
ayam saling bersahutan, kicauan burung turut meramaikan menyambut indahnya
fajar di pagi hari. Aku yang mulai malu dibuatnya akhirnya beranjak dari tempat
tidur dan pergi mandi bersiap untuk shalat lalu pergi menemui teman-temanku
setelah selesai sarapan. Apapun bisa terjadi ketika sudah bertemu dengan
teman-teman baikku, termasuk bermain seharian di rumah teman yang selalu
menjadi tempat istimewa buat kami. Maklum kita hanya dapat bercengkrama jika
ada waktu libur yang tepat karena masing-masing memiliki kesibukan yang
berbeda.
***
Hari
semakin sore, aku yang tengah gelisah terlihat dari berkali-kali melihat jam
tangan yang kupakai di lengan kiriku. Entah apa yang membuat aku gelisah, aku
yang sudah siap dengan dandanan sederhana. Yah, aku hanya mengenakan kaos polos
berwarna putih kesukaanku yang kupadukan dengan rok bunga-bunga berwarna krem
serta kerudung yang kian mempercantik penampilanku.
Aku
yang percaya bahwa Adit akan menepati janjinya sudah duduk di ruang tamu sejak
30 menit yang lalu. Seakan seseorang yang penting yang akan aku temui, yah
betul aku menunggu Adit yang akan datang ke rumah beberapa saat lagi. Adit yang
selama lima tahun menghilang dari kehidupanku tapi masih menempati ruang di
hatiku. Adit yang selalu kurindu dan kunanti kehadirannya, kini akan datang
menemui aku. Jelas rasa grogi dan gelisah senantiasa menemaniku. Perasaan tak
menentu, tangan tiba-tiba dingin dan tanpa sadar aku menggerak-gerakkan kakiku
di atas lantai yang sengaja kusilangkan.
****
“Teeeeettttt”
bunyi klakson motor berhasil membuyarkan perasaan tak menentu yang dari tadi
tengah kurasakan. “Yah itu pasti suara motor Adit” gumamku pelan. Tak lama
kemudian terdengar suara pintu yang diketuk olehnya dilanjutkan dengan ucapan
salam “Assalamualaikum” ucap Adit dengan penuh semangat. “Waalaikumsalam” aku
menjawab salam Adit sambil bergegas membukakan pintu untuknya.
“Waalaikum
sa.. salam” ucapku pelan sambil menggigit bibir tipisku, ketika aku membuka
pintu dan tepat dihadapanku berdiri seorang pemuda gagah nan tampan
sampai-sampai aku tidak mengenalinya. Lima tahun tak bertemu membuat dia
menjelma menjadi pribadi yang lebih elegan jauh sebelum dia pergi. Namun satu
yang tak berubah sikap baik dan ramah itu masih tetap melekat indah pada
dirinya. Terlihat dari cara dia menyambutku dan masih mengakui aku sebagai
sahabat yang sangat dirindukannya.
Masih
belum sadar dari rasa kaget aku sudah dikejutkan dengan nada bercanda Adit yang
dari dulu tidak berubah. “Dor, kok bengong sih kayak melihat hantu aja. Masa
sih ada hantu seganteng ini?” ucapnya sambil mengerak-gerakan tangannya
dihadapan mukaku. Aku hanya terdiam dan sedikit merubah posisi berdiriku yang
tadinya berada dibalik pintu menjadi tegak berhadapan dengannya. “hemm jadi
gini cara memperlakukan tamunya, jadi aku gak disuruh masuk nih?” Adit kembali
berkata dan berjalan menuju pintu rumahku. “emmm eh maaf, iya silahkan masuk
Dit, maaf ya rumahnya berantakan. Ayo silahkan duduk”. Kalimat tersebut adalah
basa-basi yang sangat klasik untuk seorang sahabat yang dulu sempat dekat
seperti aku dan Adit. Namun entah mengapa aku seperti bertemu dengan orang yang
baru aku kenal. Dan satu hal yang tak pernah berubah pada diriku hingga saat
ini, yaitu aku selalu jatuh cinta padanya ketika kita bertemu. Aku jatuh cinta
padanya sama seperti pertama kali bertemu, jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dengan bersikap layaknya baru kenal kami pun duduk
dan mengobrol seperti biasa.
***
“Ra
berangkat sekarang yuk” ajak Adit padaku yang tengah asik memainkan HP entah
apa yang aku otak-atik, hanya saja itu sering aku lakukan ketika merasa grogi
dan bingung mau ngapain. Aku terkaget dan hanya menjawab “ooh iya, maksudnya
Dit, kita mau pergi kemana?” “hemm kemana ya? Udah ayoo ikut aja”. Adit kembali
mengajak ku dengan penuh semangat. Akhirnya aku menuruti ajakan Adit, kita
bersiap untuk pergi entah kemana, yang pasti aku merasa semakin grogi dan
pikiranku mulai tak karuan. Tapi aku paling bisa mengatasinya, aku dengan sikap
cuek dan seakan tidak ada perasaan apapun berhasil tampil dengan wajah ceriaku.
Dengan sedikit buru-buru aku bergegas ke dapur memanggil mamah, seperti biasa
kemanapun aku pergi dengan siapapun itu aku harus tetap izin sama mamah.
Setelah meminta izin dan pamitan aku dan Adit bergegas pergi ke depan rumah.
****
Adit
mulai menghidupkan sepeda motornya, aku hanya berdiri sambil sesekali
memperhatikan Adit. “Ayo Ra naik” ajak Adit sambil menganggukan kepalanya
memberikan isyarat bahwa dia benar-benar ingin mengajakku pergi. Tanpa pikir
panjang aku langsung menghampiri Adit dan duduk tepat dibelakang Adit. Yah kita
pergi menggunakan sepeda motor Adit yang kelihatannya masih baru. Dengan perlahan
akhirnya sepeda motor pun melaju, aku hanya terdiam dan fokus dengan posisi
dudukku yang yang sangat tidak nyaman. Walaupun kita sahabatan sudah lebih dari
lima tahun namun perpisahaan itu mampu membuat susana menjadi canggung.
Terlebih sebenarnya aku grogi dengan perasaan yang selama ini aku pendam. Aku
tidak berani meletakkan tanganku dipinggangnya Adit terlebih melingkarkannya
walaupun sebenarnya aku takut jika tiba-tiba Adit tancap gas aku akan sedikit
terdorong ke depan. “Ah sudahlah Ra kamu harus tetap dengan posisi seperti ini”
gumamku dalam hati. Semakin lama sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi.
Dengan kepala yang tertutup helm Adit hanya fokus mengendarai sepeda motornya
tanpa berbicara sepatah katapun padaku. Kondisi seperti ini semakin membuatku
merasa tidak karuan. Namun aku menikmati perjalanannya, dan aku tidak menyangka
bahwa Adit benar-benar membawa aku ke tempat favorit kita sewaktu masih dekat
dulu. Sebuah pantai yang menjadi saksi kedekatan persahabatan kami, namun ada yang
beda sepertinya. Pantai yang masih terlihat indah kini kian bertambah
keindahannya dengan adanya sebuah dermaga yang terbentang menahan birunya laut.
Mataku langsung tertuju pada keindahan alam ciptaan-Nya itu walau masih berada
di atas sepeda motor.
***
“sreetttttttt”
bunyi ban sepeda motor bersentuhan dengan rerumputan yang melapisi tanah di
pinggir dermaga. Adit menghentikan motornya, sambil membuka helm yang semenjak
tadi melindungi wajah tampannya dia menengok ke arahku seraya berkata “Taraaa..
sudah sampai, ayo turun Ra” Adit kembali meletakkan helmnya di atas jok motor,
sedangkan aku dengan pelan-pelan turun dari motor Adit. Dengan wajah sumringah
seakan mendapatkan kejutan yang selama ini aku idam-idamkan. Yah jujur aku
terkejut, aku tidak menyangka Adit masih tetap mengingat tempat kesukaan kita
dan mengajakku untuk mengunjunginya setelah sekian lama kita tidak bertemu. Aku
yang terkagum-kagum hanya bisa tersenyum dan sesekali menutupi mulutku dengan
kedua telapak tangan seakan tidak ingin Adit tahu kalau aku tengah
berbunga-bunga.
“Wah
indah banget, dermaga dengan laut yang biru, subhanallah” kalimat itulah yang
berhasil aku ucapkan sebagai bukti kekagumanku dan rasa senang yang tiada tara.
Aku yang sedang menikmati keindahan pemandangan berhasil memanjakan pandanganku
semakin lepas kontrol. Aku sibuk memotret tempat-tempat yang indah yang sangat
aku rindukan, maklum selama ini aku jarang main karena kesibukan kuliah di luar
kota dan alasan klasik lainnya. Aku tidak sadar bahwa Adit tengah memperhatikan
tingkah konyolku yang bagaikan anak ayam lepas dari kandangnya. Tanpa aku
sadari Adit sudah berada tepat di belakang ku.
“ehmm,
kayaknya lagi seru nih, sampe lupa ada orang disini hee” Adit berusaha
menggodaku dengan nada bercandanya. Aku yang terkadang bertingkah panik
akhirnya terlihat juga sikap yang sebenarnya. “oh, sorry sorry.. biasa terbawa
suasana” jawabku sambil menghentikan aktivitas memotret pemandangan senja yang
sangat indah. “oh iya Ra, duduk yuk”. Ajak Adit saraya mengambil posisi duduk di
atas rumput yang hijau tepat menghadap ke arah dermaga dan pantai. Tempat ini
adalah tempat favorit kami untuk menunggu sunset tiba. Dia masih ingat dan
tidak ada yang berubah, namun yang membuat perasaanku semakin aneh adalah sikap
Adit yang lebih dewasa dan cara memperlakukan aku sangat berbeda dengan semasa
kita bersahabat dulu. Jika dulu kalau kita mau melihat sunset di tempat ini yah
langsung duduk saja tanpa ada basa-basi. Namun di senja ini Adit
memperlakukanku lebih istimewa dari biasanya. Adit yang sudah duduk kembali
mengajakku dengan suara yang lembutnya. “Ra, kok masih berdiri aja, sini duduk”
Adit dengan pandangan penuh harap mengajakku dan tangannya menepuk-nepuk rumput
yang melapisi tanah. Seakan pertanda bahwa dia menginginkan aku duduk disampingnya.
Melihat cara Adit memperlakukan aku yang sedemikian beda dari jaman kita masih
bersahabat dulu. Aku hanya mengangguk dan berjalan ke arah Adit dan duduk tepat
disampingnya.
****
Bagaikan
badan yang lesu bertemu dengan multivitamin begitulah yang dapat menggambarkan
keadaanku saat itu. Luar biasa bahagia sambil menikmati senja dan menanti
sunset tiba kami saling bercerita satu sama lain. Mulai dari kuliah sampai
perjalanan asmara kami, tanpa rasa malu kami juga saling bercerita tentang
keluarga, teman-teman dan sahabat. Tidak lupa juga kami bernostalgia selama
perjalanan persahabatan kami sampai dengan saat ini. Adit yang sudah lulus dari
kuliahnya memamerkan kesuksesannya dihadapanku. Sedangkan aku yang masih dalam
proses mengejar apa yang biasa orang katakan sukses turut merasakan kebagiaan
yang tengah Adit rasakan. Tidak terasa senja sudah mulai pergi dengan perlahan
dan sebentar lagi akan digantikan dengan datangnya sang rembulan yang sedikit
menerangi gelapnya malam.
“Eh
Dit uda mau mghrib nih, pulang yuk” ajakku sontak menggetkan Adit yang tengah
melamun, entah apa yang dipikirkan Adit. Aku langsung beranjak dari tempat
duduk kemudian berdiri sedangkan Adit masih setia dengan posisi duduknya. “Ayo
lah Dit” aku mulai resah dan sedikit merengek. Tiba-tiba Adit meraih tanganku
dan memandangku dengan sedikit senyuman. Jelas aku sangat kaget, jantung ini
berdetak tak karuan kaki seakan mau bergetar namun aku tahan, jika tidak maka
rasa malu ini akan membuatku semakin salah tingkah. Saat itu aku semakin tidak
kontrol hanya bengong tanpa sepatah katapun. Tiba-tiba lidah ini menjadi kelu
padahal barusan aku dengan lantangnya memintanya untuk cepat-cepat pulang. “Hey,
kok bengong sih?” tanya Adit sambil menggerakkan tangannya yang memegang
tanganku. “Ayo tarik aku tadi katanya mau cepat-cepat pulang” sambung Adit seraya
menengadahkan kepalanya sambil menatapku dengan penuh harap. Tanpa pikir
panjang aku langsung menarik Adit dengan sepenuh tenagaku. “Hup” teriak Adit
yang berhasil terangkat dari posisi duduknya. Dengan spontan Adit sudah berada
dihadapanku tangannya masih memegang tanganku. Jarak kita hanya dipisahkan
sejauh 20 cm dan kita saling menatap satu sama lain seakan ada sesuatu yang
berdesir di hatiku saat ku tatap wajah Adit. Kedua mata sipit Adit kian dekat
dengan tatapannya yang membuatku semakin tak dapat mengendalikan detak jantung
yang kiat tak teratur, dengan perlahan ku alihkan tatapanku dan hanya menunduk
melihat ke arah sepatuku. Aku tidak tahu harus berkata apa dan harus bertindak
seperti apa, mungkin perasaan itu yang mempengaruhi aku sehingga bertindak
bodoh seperti ini. Perasaanku kembali tak menentu, hembusan angin, deburan
ombak dan suasana senja yang dihiasi dengan jingganya menjadi saksi bahwa
kembali lagi aku jatuh cinta padanya. Dermaga biru disenjaku pun turut menjadi
saksi, aku jatuh cinta padanya lagi, lagi dan lagi. Namun beberapa saat
kemudian aku kembali menepis perasaanku ini. Aku sadar bahwa dia tidak memiliki
perasaan seperti yang tengah aku rasakan, apalagi menyimpan perasaan yang sudah
lama dipendam. Itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada Adit yang di
kampusnya menjadi idola. Aku terus berpikir sebaliknya dari apa yang sebenarnya
aku harapkan darinya.
Angin pantai kian menusuk tubuhku yang hanya
dibalut dengan kaos kesayangnanku tanpa mengenakan jaket. Terihat dari wajahku
yang mulai memerah karena kedinginan, maklum dari kecil aku tidak bisa
kedinginan. Yah kebanyakan orang menyebutnya dengan sebutan alergi dingin.
Entahlah akupun tidak mengerti mengapa bisa seperti itu, tapi ya itulah aku.
“Hey Ra” bisik Adit seraya mengangkat tanganku kemudian melepaskannya. Aku yang
sempat kaget secara spontan melepaskan genggaman tangannya Adit dan hanya
menjawab “o...ooh iya ayo dit” aku langsung bergegas menghampiri ke arah motor
Adit sambil mengelus-eluskan tangan pada lengan dan bahuku tanpa menatap Adit
yang masih berdiri dan terus memperhatikan aku.
Tiba-tiba
Adit menghampiriku, berdiri tepat dibelakangku kemudian membuka jaket yang dia
kenakan dan memakaikannya padaku yang tengah kedinginan. Dengan pelan-pelan
Adit membantu aku memakai jaket dan berkata dengan suara lembutnya yang selalu
aku rindukan. “Pakai jaket yah Ra, kasian kamu kedinginan” aku yang tidak ingin
ketahuan telah memiliki perasaan yang berbeda padanya tidak membalas perlakuan
romantisnya dengan kata-kata yang dapat masuk kedalam suasana. Dengan nada
biasa aku ketawa lucu dan berkata “ heee, maksih ya Dit iya nih aku kedinginan,
oh iya terus kamu gimana?” layaknya teman yang mengkhawatirkan keadaannya juga.
“Ah gampang aku mah, yang penting kamu dulu aja Ra gak kedinginan” sambung Adit
sambil menghidupkan motornya dan siap untuk pulang. Akupun bergegas naik dan
sudah dalam keadaan siap pergi.
Ditengah
perjalanan aku memberanikan diri untuk mengajaknya ngobrol namun kembali lagi
aku mengurungkan niat itu dan hanya mampu mengucapkan terima kasih. “Makasih ya
Dit” ucapku singkat. Adit hanya mengangguk dan kembali lagi fokus untuk mengendarai
sepeda motornya. Aku masih seperti perjalanan berangkat dari rumah, masih belum
berani meletakkan tanganku dipinggangnya Adit. Namun tiba-tiba adit meraih
tanganku yang dingin kemudian melingkarkannya dipinggangnya, bukan hanya itu
Adit juga dengan lembut memegang tanganku seperti seseorang yang sedang
berusaha menghangatkan tangan yang dingin. Pertamanya aku menolak pertolongan
yang menurutku sedikit berlebihan ini. Karena kita adalah hanya sepasang
sahabat tidak lebih. Namun karena Adit yang mengulanginya lagi dan lagi,
akhirnya aku menerimanaya atas nama persahabatan dan keselamatan.
Kembali
lagi, rasa nyaman semakin kurasakan ketika kusandarkan kepalaku dipunggungnya.
Entah apa yang membuatku merasa senyaman ini, desiran yang berasal dari hatiku
kini semakin kuat dan menghadirkan perasaan bahagia yang sebelumnya tidak
pernah kurasakan. Perasaan apakah ini?
***
Setiba
di rumah, senja sudah pergi dan menyisakan gelapnya malam yang ditemani sang
rembulan. Tidak terasa kita sudah sampai di rumah, Adit memberhentikan sepeda
motornya tepat di halaman rumahku. Terlihat mamah dengan wajah gelisahnya telah
menunggu kami. Akupun menyalami mamah dan menjelaskan mengapa kami pulang
terlambat, mamah selalu mengerti dan mempertilahkan Adit untuk masuk ke dalam
rumah. Tanpa basa-basi seperti biasa Adit langsung masuk ke dalam rumahku untuk
menumpang shalat dan beristirahat sejenak.
****
Dalam
heningnya malam terlihat sepasang sahabat yang saling diam satu sama lain,
tepatnya di sebuah ruang tamu aku dan Adit hanya duduk dan sibuk memainkan
Hpnya masing-masing. Berbeda halnya dengan suasana di ruang keluarga yang
sedang asyik menonton tv. Adit mengawali pembicaran yang dari tadi hanya diam
saja satu sama lain. “Oh ya Ra, untuk yang tadi aku minta maaf ya”. “oh iya
tidak apa-apa kok Dit” jawabku malu.
“ini jaketnya maksih ya” sambungku seraya memberikan jaket Adit.
Senyuman manis itu terlihat dari wajah tampannya seraya mengambil jaketnya Adit
berkata “iya sama-sama Ra”. “diminum Dit tehnya, udah dibuatin mamah tuh” aku
menyuruh Adit untuk meminum teh manis anget yang sudah dibuatkan mamah. Adit
langsung mengambil cangkir yang berisi teh manis kemudian meminumnya. “hemm
manis banget, semanis kamu Ra” goda Adit sambil meletakkan cangkir ke tempat
semula. Entah apa yang membuatku menjadi tersipu ketika Adit berusaha
menggodaku. Namun semuanya dapat ku atasi sehingga suasana menjadi hangat dan
penuh rasa humor kembali.
***
Jam
dinding yang terletak di ruang tamu menunjukkan pukul 19.10 suasana tiba-tiba
menjadi serius ketika Adit menatapku dengan pandangan serius dan berkata “Ra,
sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sama kamu, aku juga ingin
menyampaikan sesuatu yang selama ini aku nanti-nantikan. Namun entah mengapa
aku selalu ragu dan merasa ketakutan ketika akan mengatakannya. Aku takut kamu
marah sama aku, tapi sepertinya sekarang sudah waktunya aku mengatakannya”.
Dengan nada lembut Adit seakan sedang membuat pengakuan yang selama ini dia
pendam. Aku hanya terdiam dan sedikit ketakutan namun aku sendiripun tidak tahu
apa yang membuatku merasa takut. Jantungku seperti mau meloncat dari sistem
peredaran darahku, aku takut dia akan mengatakan sesuatu yang selama ini aku
harapkan. “ya Allah apa mungkin dia akan menyatakan cintanya padaku?” tanyaku
dalam hati. Adit kembali mendekati aku dan melanjutkan kata-katanya. “Ra jujur,
sebenarnya aku.. a..a..aku” Adit kembali menunda pembicaraannya dan membuang
tatapannya ke arah lain. Aku sudah tidak bisa menggambarkan seperti apa
perasaanku saat itu. Aku memberanikan diri untuk menyentuh lengan Adit dan
berusaha membalikan badannya agar melihat ke arahku. “Ada apa Dit, kamu
kenapa?” tanyaku polos seakan-akan tidak mengetahui apa-apa. Adit yang mulai
terlihat grogi mukanya memerah dan tatapannya semakin tajam. Terpaksa aku
membalas tatapannya, pada saat itu kita saling menatap satu sama lain. Dengan
perasaan tidak karuan aku mencoba sebiasa mungkin, namun Adit kembali
mengucapkan sesuatu yang sudah tidak mampu ia bendung. “Ra, a..a..ku.. aku
ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi jangan marah ya.. Ra, sebenarnya aku, a..a..ku..”
“Hemm” jawabku pelan. “Ra sebelumnya aku mohon kamu jangan marah dan ilfil
mendengar pengakuanku ini ya”. “Iya adit kenpa aku harus marah emangnya kamu
salah apa?” aku mencoba menjawab kata-kata Adit yang semakin membuatku
penasaran. “Jujur ya Ra aku sudah lama memendam perasaan ini. Aku sudah jatuh
cinta jauh sebelum kamu menyadarinya, aku jatuh cinta sama kamu dari pertama
kita bertemu menjadi sahabat dan sampai saat ini. Aku memang bodoh Ra aku
sangat bodoh dan sudah jahat sama kamu” dengan suara yang lirih adit membuat
pengakuan padaku atss perasaannya selama ini, namun tiba-tiba aku meletakkan
jari telunjukku yang lentik itu dibibir tipisnya Adit, spontan Adit
menghentikan pembicaraannya dan menatapku dengan penuh harap. Aku yang memiliki
perasaan yang sama ini berusaha meyakinkannya “ssuuuttttt Kamu ga bodoh kok”
hanya kalimat singkat itu yang mampu kuucapkan. Adit meraih tanganku dan
mengenggamnya dengan erat seraya berkata dengan suara lirih “iya Ra, aku bodoh
karena aku pergi meninggalkan kamu tanpa sepatah kata apaun dan tidak
memberikan kamu kabar selama lima tahun. Aku mohon maafkan aku Ra, maafin aku
yang sudah meninggalkan kamu dalam kesepian yang tidak sebentar ini. Maafkan
aku yang selalu menahan rindu padamu. Dulu aku masih terlalu muda dan aku hanya
ingin membahagiakan orang tuaku dengan studiku. Maka dari itu aku tidak dapat
menolak ketika ayah menyuruhku untuk kuliah di luar negeri. Maafin aku Ra
maafin aku ya, aku sayang kamu Ra sayang bangeettt.” Tidak terasa ada buliran
lembut yang menetes dipojok mataku, aku yang mudah tersentuh jelas merasakan
apa yang selama ini Adit rasakan, aku tidak menyangka ternyata Adit memiliki
perasaan yang sama dengan aku. Cinta ini tidak hanya bertepuk sebelah tangan
tapi dengan kesabaran kami mampu membingkainya dengan indah. Saat itu suasana
menjadi hening, aku tidak dapat menahan air mata yang kian deras mengalir
dipipiku. Adit kembali melanjutkan kata-katanyan “Dan aku berbicara seperti ini
bukan untuk mengajak berpacaran denganmu karena aku takut suatu saat nanti kamu
akan memutuskan aku, Ra. Aku berbicara seperti ini tulus dari hati dan sudah
mendapat izin serta restu dari mamah papah, aku ingin melamarmu untuk menjadi
kekasih halalku. Menjadi bidadari dalam hidupku, menjadi pelurus tulang rusukku
dan menyempurnakan kekuranganku. Karena Allah aku mencintaimu dan lahir bathin
aku menerima kamu Ra” Dengan suara yang lantang dan penuh ketegasan adit
berusaha meyakinkanku. Aku hanya bisa diam dan menangis dengan perasaan sudah
tak menentu. Aku tidak menyangka Adit akan melamarku seperti ini dan aku tidak
menyangka bahwa dia sudah lebih dulu mencintaiku. Aku belum sempat menjawab,
Adit kembali bertanya padaku. “Ra, kamu akan menerima aku dengan sejuta
kekuranganku kan, aku tahu kamu juga pasti melihat niat tulus ini dimataku kan?”
Dengan suara yang diringi isak tangis kecilku aku berusaha menjawab. “Insya
Allah Dit, aku mau menjadi kekasih halalmu, aku mau menjadi bidadari dalam
hidupmu, aku juga mau menjadi pelurus tulang rusukmu dan aku akan membuat kamu
sempurna dengan menerima kamu apa adanya. Tapi izinkan aku untuk memohon izin
terlebih dahulu sama ibu dan ayah”. Aku yang terlihat sangat bahagia dengan ini
semua tanpa ragu-ragu menerima permohonan dari Adit.
***
Hari
berganti hari dan tepat satu minggu setelah Adit mengutarakan isi hatinya
padaku. Akhirnya Adit datang kembali ke rumah bersama dengan keluarganya, berniat
untuk meminang aku. Aku dan keluarga yang telah mempersiapkan semuanya terlihat
bersemangat untuk menyambut kedatangan Adit. Dengan penuh khidmat dan
disaksikan keluarga besar acara tunangan berlangsung dengan lancar dan meriah.
Terlihat Adit yang semakin tampan dengan celana hitam dan kemeja putihnya yang
sangat elegan. Dan aku yang dari tadi tersipu-sipu semakin membuat pipiku merona
dengan balutan kerudung berwarna abu-abu yang dipadukan dengan gamis berwarna
senada. Lengkap sudah perasaan bahagiaku ketika Adit memasangkan cincin
tunangan kita dijari manis tangan kiriku. Begitupun dengan Adit, terlihat jelas
diwajah tampannya rasa bahagia itu tengah menyelimutinya. Dua insan yang saling
memendam rasa cinta satu sama lain dan dipisahkan oleh jarak dan waktu selama
lima tahun, kini mereka dapat merasakan kebahagian atas pengorbanan mereka, yah
aku dan Adit.
***
Tunangan
ini merupakan langkah awal kami untuk menuju jenjang yang lebih serius yaitu
pernikahan. Namun karena Aku yang masih menyelesaikan studiku niat itu ditunda
dulu sampai aku selesai studi. Dengan keputusan ini Adit sama sekali tidak
merasa keberatan dan akan siap menunggu sampai tiba waktunya. Aku bahagia dan
senantiasa bersyukur atas hadiah dan kejutan luar biasa di masa libur
singkatku. Walau hanya dalam hitungan hari namun aku sangat menikmati dan
memaknainya. Bagaimana tidak aku mendapatkan yang selama ini aku harapkan
dengan jalan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Memang rencana Allah
selalu menjadi yang terbaik dari apa yang kita rencanakan.
***
Sang
mentari sudah tidak malu lagi untuk menyambut hari yang cerah ini, aku, Adit
dan seluruh pengisi bumi ini akan segera mulai beraktivitas dengan kesibukannya
masing-masing. Liburan sudah usai dan saatnya aku kembali dengan rutinitas yang
akan menjadi teman baikku. Selamat tinggal liburan yang sangat mengesankan,
jangan pernah bosan untuk terus memberikan aku tinta kehidupan maka akan
senantiasa ku tulis semua kenangan.
TAMAT
Bekasi,
20 Agustus 2014_TSA_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar