Kamis, 11 Desember 2014

Ketika Hendak Menyerah


Ketika Hendak Menyerah


Terdengar sayup-sayup dari luar ruangan suara percakapan antara dua orang yang pembicaraannya sangat serius. Ya, itu adalah sauara percakapan aku dengan dosen pembimbingku. Aku yang berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir memang sedang dituntut untuk disiplin karena sudah dikejar target. Namun aku yang masih suka menunda terjebak dalam satu kata yaitu “malas” yang akhirnya mengantarkanku pada penundaan selanjutnya. Tentu ini adalah salahku, namun haruskah berakhir dengan sebuah peringatan yang menyakitkan?. Ya, itulah hak dosen kepada mahasiswa yang tidak kompeten sepertiku. 

“Selama itu dapat kamu lakukan sekarang, mengapa harus ditunda nanti?. Silahkan pulang dan segera kerjakan”.

Percakapan aku dan dosen pembimbing berakhir disitu. Percakapan yang terjadi di dalam suatu ruangan kecil namun tertata dengan rapi sehingga memberikan suasana nyaman. Aku keluar dari ruangan tersebut dengan muka tertunduk seperti anak kecil yang kehilangan uang jajannya. Kecewa dan tak bersemangat itulah yang aku rasakan pada saat itu. 

Aku berjalan dengan tatapan mengarah pada lantai lesu tak bersemangat, seperti itulah gambaran keadaanku pada saat itu. Sekejap aku menghentikan langkahku disebuah lorong di fakultasku. Kulihat susana sepi tak ada seorangpun yang biasa lewat di lorong ini. Aku duduk dengan tangan menutupi mulutku menahan tangis. Iya, aku ingin menangis bahkan rasanya aku ingin mengangis dipelukan mamah. Mungkinkah? 

Aku merogoh saku dan kuambil HP, aku menulusuri riwayat panggilan dan mataku tertuju pada tulisan “My Mom” kusentuh dengan tangan sesaat kemudian terdengar suara lembut di seberang sana tanpa menunggu lama. “Hallo, assalamualaikum, neng*.” Sapa mamah penuh kelembutan. Aku hanya mengigit bibirku dan menahan tangisku sekuat yang aku bisa. Karena sejujurnya aku tidak ingin mamah tahu apa yang sekarang tengah aku hadapi. Penelitian yang tertunda, peringatan dari dosen yang menyayat hati. Ah, itu hal biasa yang seharusnya bisa aku atasi sendiri. Setelah berpikir panjang dan rumit aku kembali teringat mamah yang mengunggu jawabanku.

Dengan suara serak aku memberanikan diri bicara pada mamah. “Waalaikumsalam mah.” Jawabku pelan. “Kenapa, ada apa, sudah pulang kuliahnya, sudah makan?” serentetan pertanyaan yang biasa mamah lontarkan ketika aku menelpon beliau. Aku menimpalinya dengan nada rendah tanpa semangat. “Sudah mah, cuma kalau makan belum.” “Loh kenapa belum?” bal bla bla ibu nyerocos seperti biasa. Aku hanya mengiyakannya agar beliau menghentikan omelannya yang sebetulnya untuk kebaikanku juga. Aku mulai bicara serius “Mah neng capek, lelah mah.” Aku sudah tak tahan lagi membendung buliran bening itu dan aku membiarkannya jatuh, tumpah serta merta dengan kesedihan yang dari tadi kutahan.
Di seberang sana mamah kebingungan dan untuk mencegah mamah menanyakan lebih lanjut aku buru-buru pamit dan menutup telpon. “Udah dulu ya mah, neng mau makan dulu.” Ucapku dengan suara yang sedikit ditahan dan mamah menutup percakapan kita ditelpon dengan untaian doa terbaiknya untuk aku anak tercintanya. 

Jujur tidak perlu waktu lama untuk aku meluapkan rasa kecewa dan sedihku. Cukup dengan menangis ketika aku menginginkannya. Aku masih terkesan kanak-kanak bukan? Itulah aku pemilik nama lengkap Firda Ayu Fathiya (bukan nama sebenarnya) 21 tahun. Mungkin beberapa teman sebayaku diusia segitu sudah ada yang bisa membahagiakan orang tuanya, menjadi isteri yang baik bagi suaminya, menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya dan menjadi kebanggaan seluruh pihak kampus dengan segudang prestasi yang diraihnya. Sedangkan aku, diusia yang harusnya sudah menjadi orang yang cukup dewasa, berwawasan luas dan mampu mengendalikan diri. Itu semua tidak ada pada diriku, aku yang masih menengadahkan tangan pada mamah dan papah, aku yang masih nangis ketika mendapat sedikit tekanan, aku yang manja dan haus perhatian dan tidak jarang ceplas-ceplos ketika bicara sehingga membuat beberapa teman merasa tersakiti karenanya. Mengapa?

Aku tidak mengerti mengapa demikian, mungkin karena lingkungan keluarga, sahabat dan teman-teman yang mendukung karakterku? Mamah yang sayang sama aku tidak mengizinkan aku untuk sekedar mengajar les privat yang menurutku tidak begitu capek dan bisa membantu pemasukanku. Dengan alasan takut aku kecapean dan keteteran mamah tetap tidak mengizinkanku terlebih waktu mengajarnya malam hari. Akhirnya aku harus berhadapan dengan kaka kelas dan memasang muka meyakinkan kalau aku disuruh fokus sama mamah. Huft. 

Papah yang ketika memberikan uang saku tidak pernah menuntut apa-apa hanya satu pintanya, yaitu aku makan sehat dan tetap sehat. Ketika aku melontarkan kalimat seperti ini apa tanggapan papah. “Pah, jatah bulan ini neng bagi dua sama mamah yah, mau belajar hemat.” Kataku manja. Seperti biasa papah menolak. “Jangan itu buat neng aja kan lagi banyak keperluan.” Yang pada akhirnya membuatku merasa aman. 

Begitu pun sahabat-sahabat yang selalu mensuport, mereka setuju ketika aku menceritakan bahwa aku berhenti dari organisasi. Karena mereka tahu seperti apa kemampuan fisikku. “Jangan terlalu memaksakan Fir, percuma kamu berorganisasi tapi sakit-sakitan, kuliah terbengkalai.” “Kalau kamu belum bisa memanaje diri kamu sendiri jangan deh coba-coba itu cuma akan menambah dosa karena tidak amanah.” Dan serentetan komentar lainnya yang silih berganti melintas ditelingaku.

Mungkin, bisa jadi itu juga salah satu faktor pembentuk karakterku. Tapi aku tetap bangga jadi diri sendiri bagaimanapun aku sangat menghargai diriku yang sekarang. Berharap suatu saat bisa lebih dewasa.
***
Malam itu aku kembali menangis memecah kesunyian kamar yang berukuran 3 x 2.5 m itu. Aku menangis dengan pikiran penuh kebingungan. Apa yang harus aku lakukan untuk menunjukan kepada dosen bahwa aku tidak main-main, namun aku sangat bersungguh-sungguh. Metode penelitian sudah jelas namun bahan-bahannya aku gak tahu harus mencari kemana dalam waktu yang singkat. Selain itu aku juga masih punya kewajiban yang harus aku tuntaskan sebelum demisioner (lengser) dari sebuah organisasi yang cukup memberikan perubahan positif padaku walaupun tidak banyak. 

Disela-sela tangisanku, aku memutar otak dan berharap menemukan jalan keluarnya. Akhirnya hujan yang dari tadi mengiringi tangisanku berhenti seakan pertanda agar aku menghentikan tangisanku. Aku meraih HP dan kembali menelpon malaikat penolongku. Mamah.

Di dalam sebuah percakapan melalui telpon, aku menjelaskan pada mamah apa yang harus mamah lakukan untuk anaknya. Yuph! mencarikan dan mempersiapkan semua bahan penelitian yang sekiranya ada disekitar rumah atau kampung. Sikap pengecut itu muncul lagi. Namun hanya ini yang membuat aku lega dan segera bangkit dan mengusap air mataku setelah ibu di seberang sana mengiyakan permintaanku.

Aku yang tidak bisa pulang karena ada kegiatan organisasi yang mungkin akan menjadi kegiatan terkhirku di organisasi yang cukup banyak mengajarkanku apa itu kebersamaan dan ukhuah. Aku terpaksa meminta mamah yang mengantarkan bahan itu ke tempat yang sudah 3.5 tahun ini menjadi perantauanku. Hal ini terjadi karena bis yang biasa menjadi media penghubung kami tidak beroperasi lagi. Padahal seandainya saja bis itu masih ada, mamah tidak akan repot-repot melewati perjalanan yang cukup melelahkan. Karena perjalanan dari rumah kesini memerlukan waktu seharian. 

Namun aku cepat-cepat menepis kata-kata “seandainya” tersebut dengan kata antusias. “Semoga Allah membalaskan surga untuk mamah.” Ucap ku pelan kemudian beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka yang sembab dengan air wudhu. Aku kemudian menunaikan shalat isya dan tidur cepat dengan maksud bisa bangun malam dan bermunajat padaNya. Aku ingin mencurahkan kegundahan dan ketidakberdayaanku ini. Iya, hanya padaNya.
***
Sore itu hampir menjelang maghrib, ditemani rintik air hujan yang makin lama kian lebat mamah menyusuri jalan kampung di bagian selatan Kota Banten. Dengan tangan kiri memegang payung dan tangan kanan memegang bahu pertanda mamah kedinginan, mamah terus berjalan. Ketika sampai di sebuah pemakaman di pinggir jalan yang menghubungkan dengan kampung sebelah, ekspresi mamah berubah. Tiba-tiba mamah tersenyum lebar seakan beliau menemukan apa yang beliau cari. Yuph! Mamah menemukan satu pohon buah berenuk ( buah maja) yang akan menjadi salah satu bahan penelitianku. Pohon ini sekarang sudah mulai langka padahal untuk ukuran daerah kampung seperti rumahku seharusnya masih banyak tanaman ini. 

Mamah masih belum bisa mengambil buah tersebut yang merupakan milik umum bukan tanaman berpemilik. Walauppun begitu mamah tetap meminta izin pada pemilik rumah yang dekat dengan lokasi. Mamah sedang berpikir bagaimana cara mengambilnya, namun belum lama mamah berpikir tetangga lewat dengan mengendarai sepeda motor dan berhenti tepat di depan mamah yang sedang berdiri kebingungan. Pertolongan itu datangnya dari Allah, tetangga itu membantu mamah untuk mengambil buah berenuk tersebut dan mengantar mamah pulang. Alhamdulillah. 

Sungguh kasih sayang mamah tak terbatas, tak lekang oleh waktu dan tak terhalang jarak yang memisahkan. Itu nyata. Perjuangannya tak mungkin sanggup kuhitung dan tak mungkin terbalasakan. Betul, bagai sang surya menyinari dunia. Itulah mamah.

Mungkin banyak orang yang bertanya mengapa harus mamah yang melakukan itu. Kemana sosok papah yang seharusnya menjaga dan melakukan itu untuk anaknya. Yuph! Itu tidak salah, sah-sah saja jika ingin menanyakan hal tersebut. Namun aku juga tahu disana (dibaca luar negeri) papah tengah merasakan kerinduan yang tak terkira. Telebih jika mendengar bahwa isteri dan anak-anaknya melalui berbagai macam ujian dan hari-hari yang sulit. Namun bukankah papah berada disana juga untuk kebaikan aku, mamah dan adik-adik. Untuk kelangsungan studi aku dan kesejahteraan hidup kami. Syukur dan sabar selalu menjadi pengobat hati kami. 

Ketika aku teringat akan hal itu, akan apa yang terjadi pada keluargaku terlebih kepahitan hidup yang harus ditanggung mamah dan papah. Maka aku tidak pantas menangis karena digertak dosen [itu kesalahanku] dan tak pantas untuk mengeluh dan mengeluarkan kata-kata capek, lelah, bosan, sedih, dan kecewa. Bukankah mamah dan papah jauh lebih merasakan capek, lelah dan bosan hidup selama beberapa tahun berpisah dan memendam rasa rindu yang menggebu. Mereka rela mengorbankan segalanya hanya untuk aku dan cita-citaku. Lantas mengapa aku tidak bisa lebih sabar untuk terus berjuang demi cita-cita itu. Haruskah aku mengeluh? Tidak!
***
Jumat sore, Bogor masih hujan. Aku sedang sibuk merapihkan kamarku karena mamah akan datang menjengukku dengan membawa semua yang beberapa hari lalu aku minta lewat telpon. Masih dalam keadaan memikirkan mamah tiba-tiba...

“Assalamualaikum” suara khas mamah mengucapkan salam dibalik pintu kamar kostku. Aku langsung membuka pindu dengan cepat dan menjawab salam mamah “waalaikumsalam” sosok tegar itu sudah menjelma di hadapanku. Tak memperdulikan apapun aku langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangisku pun tumpah di sore itu. 

Iya, aku merindukannya. Aku sangat rindu mamah dan sangat merasa menyesal sudah segede ini tapi masih suka merepotkan mamah. 

Sore itu ditutup dengan obrolan hangat ibu dan anak.
***
Ketika kita merasa capek dan lelah sehingga ingin rasanya menyerah, maka ingatlah mamah dan papah yang dengan penuh harap menanti kesuksesan kita. Lawan rasa malas itu dengan bersungguh-sungguh berniat karena Allah. Dan untuk senyuman mereka. Mamah dan papah.
Benar apa yang dikatakan dosenku bahwa jangan pernah menunda sesuatu yang dapat dikerjakan sekarang. Aku merasa menyesal sudah menyia-nyiakan waktu yang telah berlalu dengan mudahnya. Sudahlah. 

Mungkin betul juga seperti apa yang diucapkan teman-teman, bahwa menunda satu hari skripsi sama dengan menunda pernikahan. Semangat. 

Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah melewatkan seharipun tanpa menanyakan kabar mamah dan memohon doa restu darinya. Karena mungkin kerja keras kita hanya bernilai 1% sedangkan 99% adalah doa dan ridho mamah. “Sesungguhnya ridho Allah adalah ridho ibu.”
Aku lebih bersemangat menjalankan tugas akhir dan ingin segera bertemu papah. Karena beliau sudah berjanji akan pulang ketika aku diwisuda. Semoga ya Rabb. Aku selalu menanti hari itu akan tiba. Melepas rindu yang kian menggebu. Papah.
***
Sesungguhnya manusia tidak akan merasa cukup dengan apa yang diperolehnya pada saat ini. Hanya syukur yang mencukupkan segalanya. Dan Allah yang memberi segalanya. Kunci dari semua kehidupan ini adalah sabar dan syukur.
***

Bersama sejuknya senja yang tak kunjung menjingga di Bogor, 10 Desember 2014_TSA_