Selasa, 30 September 2014

Introduce My Self and My Motivation




 Introduce My Self and My Motivation 

“Jangan pernah bosan untuk terus memberikan aku tinta kehidupan maka akan senantiasa ku tulis semua kenangan” (TSA).

Menulis adalah jiwaku, dengan menulis aku bisa merasakan hembusan angin, beningnya embun pagi dan sang jingga di pelupuk senja menjadi semakin nyata. saya menyukai dunia kepenulisan karena dengan menulis saya bisa mengekspresikan berbagai suasana hanya dalam satu atau dua baris kalimat. Awalnya hanya sekedar hobby dan menyalurkannya melalui sebuah tulisan harian pribadi (Diary), lama kelamaan semakin tertarik dengan dunia kepenulisan dan mencoba memberanikan diri menulis di kronologi facebook. Namun saya berpikir bahwa menulis di kronologi facebook semakin lama akan semakin terkubur dan hanya menjadi tumpukan status yang sulit ditemukan jika hendak membacanya kembali.
Akhirnya saya mencoba membuat blog atas saran dari seorang sahabat, pelan-pelan ku isi blog pribadiku dengan karya-karyaku. Mulai dari puisi, cerpen fiksi atau non-fiksi dan beberapa tulisan dari sumber lain. saya ingin berbagi dengan tulisan, saya ingin menghibur sahabat yang dedang bersedih dengan sebuah tulisan dan saya ingin memberikan manfaat positif bagi setiap yang membacanya. Terlebih dapat berbagi tentang kehidupan saya yang mungkin memiliki kesamaan dengan para pembaca, intinya menjadi motivator kecil-kecilan melalui sebuah tulisan. Karena bagi saya memberikan banyak kebermanfaatan bagi sesama its my life.
Sekarang saya sudah memiliki alamat blog dan lebih mudah berbagi dengan mengshare alamat blog di facebook, twitter dan lain-lain. Aku juga sudah beberapa kali mengikuti lomba menulis yang diadakan di media online namun belum berhasil menjadi juara. Terakhir saya hanya menjadi 10 besar penulis terbaik tingkat kampus pada tahun 2013 yaitu “Surat kecil untuk rektor” yang mengangkat tentang biodiversitas kampus. Saya mengusulkan perbaikan dan penataan danau LSI dan sekitarnya dan wujud nyatanya adalah Taman Pasca Sarjana yang sekarang terlihat indah dan semua civitas akademika IPB dapat menikmatinya.
Atas saran dari sahabat juga saya mulai mengirimkan tulisan-tulisan saya ke majalah online yang sudah sangat terkenal di kawasan pembacanya yaitu Dawatuna. Alhamdulillah dalam periode bulan september 2014 sudah 2 tulisan saya yang dimuat dirubrik cerpen dakwatuna.com. Semoga ini adalah awal yang baik bagi saya dalam dunia kepenulisan. Jujur dalam dunia kepenulisan saya masih banyak kekurangan dan masih terkesan awam. Dengan demikian diharapkan dengan mengikuti acara Komunitas Penulis Mahasiswa IPB ini saya dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas menulis saya, bertemu dengan orang-orang hebat dan menginspirasi. Motivasi saya mengikuti komunitas ini mendapatkan banyak ilmu, teman dan pengalaman baik dalam hal kepenulisan dan yang lainnya.

Bersama damainya suasana sepertiga malam-Nya, 1 Oktober 2014_TSA_

Minggu, 21 September 2014

Segores Luka dalam Sepotong Senja




Segores Luka dalam Sepotong Senja

“Pranggggg” bunyi yang berasal dari ponselku jatuh mengenai lantai kamarku. Aku mengacuhkannya dan sesaat kupandangi seluruh isian kamar tak seperti biasanya. Kuarahkan pandanganku ke meja belajar biasanya terlihat cantik nan anggun. Tatanan buku-buku yang dengan sengaja kutata, kini tak ada lagi hanya lembaran kertas dan benda-benda lain yang berserakan tak beraturan. Lalu ku tengok tempat tidur yang tak pernah kubiarkan terdapat sehelai rambutpun terlihat berada di atas kasurku. Kini tak lagi seperti itu, bantal dan guling tanpa sarung tergeletak di atas dan bawah tempat tidurku. Terakhir ku tatap cermin yang terletak di hadapanku.  Seharusnya sosok yang yang berada dibalik cermin itu adalah sosok gadis dengan paras cantik, anggun, penuh semangat dan tegar. Namun saat ini aku seperti melihat sosok lain, wajah yang pucat pasi tak berekspresi menghiasi cermin yang telah kutatap dari tadi. Pelan-pelan kudekati sosok itu, kuraba wajah pucat itu dengan tangan yang mulai berkeringat. Lalu ku bergumam padanya “kamu kah ini wahai diriku? Benarkah? Atau aku sedang bermimpi atau berhalusinasi?”. Tak terasa air sebening embun itu menetes membasahi pipi yang mulai tak terawat.
            “Siapa ini?” pertanyaan yang berulang kali kutanyakan pada sosok yang berada di balik cermin. “Aku yang sesungguhnya bukan seperti ini, tolong kembalikan aku yang dulu dan beritahu aku mengapa hal ini bisa terjadi”. Ucapku setengah berteriak.
***
            Semua berawal dari kedekatanku dengan seorang sahabat yang luar biasa baik dan shalehnya. Jujur aku yang berasal dari latarbelakang keluarga biasa saja bukan berbasis ustad tentunya pengetahuanku tentang agama sangatlah seadanya. Aku bagaikan selembar kertas kosong yang belum terisi dengan goresan pena pengetahuan Dienku.
            Dengan rencana Allah yang sangat manis, Dia mempertemukan kami dalam lingkungan yang baik. Memberikan ruang untuk berbagi dan melengkapi. Jujur aku sangat mengakui bahwa aku senang berada diantara mereka yang menyejukkan jika dipandang dan menenangkan bila dimintai pertolongan. Begitupun dengan dia yang telah berhasil membuka ruang di dalam hatiku dan sudah kupersilahkan untuk memasukinya.
            Tidak ada keragu-raguan dalam hatiku, tidak ada rasa malu ketika hanya sekedar bertukar pendapat dan menanyakan hal-hal yang belum aku ketahui. Aku merasakan kenyamanan yang luar biasa ketika bersahabat dengannya. Karena dia selalu membuat aku tidak terlihat bodoh walau sebenarnya bodoh. Dengan cara dia yang lembut dan selalu tepat sasaran dalam bertindak namun dengan gaya yang menyentuh serta terkesan elegan. Berhasil menyihirku dan membuat aku ketergantungan padanya.
            Aku yang dalam tahap pencarian mengenai Dienku bagaikan tanaman yang baru ditanam kemudian diberikan pupuk organik yang sangat bermanfaat oleh petaninya. Aku adalah tanaman sedangkan dia adalah seorang petani yang dengan setulus hati merawat dan menjagaku. Aku selalu mendapatkan masukan nutrisi yang aku butuhkan tepat waktu. Sekalipun dia tidak pernah melewatkan dan melupakan untuk memberikan apa yang aku butuhkan.
            Karena dia aku semakin dekat dengan Rabb-ku, kertas kosong itu kini mulai terisi dengan terlihat adanya goresan pena pengetahuan Dienku. Sedikit demi sedikit aku belajar, pelan, perlahan tapi pasti aku mulai memperbaiki diri. Hari demi hari kulewati dengan berusaha meningkatkan kapasitas diri dan memantaskan diri dihadapanNya.
            Tak terbesit dalam hatiku untuk memilikinya, aku hanya melihat dia sebagai sosok seorang guru. Bagaimana mungkin aku berkhinat pada guruku sendiri dengan diam-diam menaruh perasaan yang akan menghancurkan hubungan baik ini. Walaupun tak kupungkiri dengan kedekatan ini, kami sudah sejauh ini mengenal satu sama lain.
            Aku tahu dan aku sadar hormon itu tidak pernah berbohong. Desiran dalam hatiku pernah membuatku gelisah sepanjang malamku. Aku berusaha menepis dan mengobatinya dengan memohon padaNya. Kutunaikan shalat di sepertiga malamNya, dan kucurahkan semua gejolak dalam hatiku. Aku tidak akan seberani itu padanya, siapa aku dan siapa dia? Dan dengan penuh rasa tenang aku memutuskan untuk memutus desiran itu dan menggantinya dengan semangat memperbaiki diri.
***
            Ketika itu entah apa kesalahan yang aku perbuat, bagaikan tanaman yang ditinggal petaninya. Tak ada asupan nutrisi dan air yang dapat menyegarkanku kembali. Aku tidak tahu mengapa dengan tiba-tiba dia menghilang dari aktivitasku. Kini tak ada lagi yang mengingatkan shalat tepat waktu, tak ada lagi yang mengingatkan tilawah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Entah mengapa aku merasa kosong dan ada sesuatu yang beda, walaupun tanpa ada dia yang mengingatkan, aku tetap menjalankannya. Sekali lagi aku tidak bermaksud untuk menggoda atau menjadi ujian baginya. Hanya saja aku rindu dengan sikap baiknya yang menyejukkan hati.
            Namun, mengapa terasa sakit dan hina saat dia dengan perlahan menghilang tanpa menyapa sekalipun. “Apakah karena aku amalan-amalan baik dia luluh lantah seperti rumah yang terseret tsunami? Apakah karena aku kewibawaannya memudar dan hilang dengan perlahan? Apakah karena aku yang bodoh sehingga dia capek untuk menuntunku?”. Dengan sesenggukan aku terus menangis, melihat diri ini yang teramat hina. Sungguh aku tidak bermaksud untuk itu, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menjadi ujian terberat bagimu. Jika memang kamu sudah mengetahui bahwa aku adalah ujian bagimu. Mengapa kamu tetap membiarkan aku masuk dan menerima perlakuan baikmu. Jika memang benar semua amalan baikmu hilang karena aku maka izinkan aku untuk memohon maaf padamu dan memohonkan ampunan pada Allah.
***
Setelah kejadian itu aku tidak pernah membuka hati untuk laki-laki dan membiarkannya masuk ke dalam kehidupanku . Aku menutup diri dan hanya belajar dari buku-buku dan media online yang sekiranya dapat menambah wawasanku mengenai agamaku. Terus berjalan seperti itu sampai suatu hari aku mendapatkan kabar bahwa dia akan segera melangsungkan pernikahannya dengan gadis pilihannya, yang tidak lain adalah teman mainku. Teman main aku ini biasa saja standar  aku lah bukan akhwat yang berjilbab panjang dan bercadar. Aku sedikit kecewa dan sempat menghela nafas seakan tak percaya. Tapi ini semua sudah menjadi keputusan dan pilhannya aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya.
Ketika mendengar kabar tersebut, mulutku mampu berkata “aku tidak apa-apa dan turut bahagia” namun suara hati terdalamku berkata “kenapa bukan aku dan kenapa harus dia?”. Karena sesungguhnya aku pernah mengharapkannya. Namun karena kecintaanku padaNya lebih tinggi dari pada cintaku pada dia maka aku merelakannya untuk mengubur rasa yang selalu hadir dalam desiran hatiku.
Seharian itu aku sangat futur, tak ada semangat dan rasa malas kian menghinggapi tubuhku yang sedang diguncang imannya. Tangan ini terasa berat hanya untuk merapihkan buku-buku yang berserakan di atas meja belajar. Mood yang baik sangat susah kudatangkan untuk segera mengganti bed cover yang sudah mulai terlihat kusut dan berantakan.
***
Hari sudah sore sebentar lagi senja akan tiba, seharusnya aku sudah beranjak dan segera menjemput sang jingga. Namun aku masih terpaku memandangi wajah pucatku yang terlihat dibalik cermin. “kring, kring, kring” suara nada panggilan dari handphoneku. Aku terkagetkan olehnya dan sibuk mencari sumber bunyi tersebut. Aku masih belum menemukan handphone itu, ternyata HP aku terjatuh dan berada jauh di bawah tempat tidurku. Ku ambil Hpku dan ketika hendak mengambil HP terlihat sebuah undangan berwarna cream. Kuambil dan ku baca, ternyata surat undangan tersebut dari seseorang yang telah berhasil mengangkatku kemudian menjatuhkannya kembali. Benar surat undangan itu dari dia yang tadinya kuabaikan. 
Selesai membaca surat undangan, aku menghela nafas dan berkata “hemm, tidak apa-apa, all is well, semua sudah menjadi ketetapanNya. Insya Allah aku ikhlas”. Kemuadian aku tersadar bahwa barusan ada suara telpon, kuraih Hpku dan kulihat terdapat panggilan tak terjawab dari ibu. Ternyata ibu selalu datang tepat waktu, ibu datang ketika aku membutuhkan tempat mencurahkan isi hati ini dan berbagi tentang apa yang aku rasakan saat ini. Aku selalu mendpatkan ruang dihati ibu, ibu selalu mengangkatku dan tak pernah sekalipun menjatuhkanku. Ibu selalu menjadi pelipur lara bagiku ketika guncangan itu mulai mengoyahkan imanku.
***
Setelah selesai curhat dengan ibu kembali kutatap wajah mungilku yang mulai hilang pucatnya. Aku berkata pada diriku sendiri. “mengapa kamu bisa sebodoh ini, menghilangkan cantiknya pipi yang merona dan mata yang indah dengan memelihara kesedihan di hati. Sudahlah mulai sekarang bebaskan dan yakin Allah telah menyiapkan yang terbaik untukmu, di waktu yang tepat dan akan indah pada waktunya”.
***
Aku kembali mendapatkan energi dan nutrisi bukan hanya dari petani akan tetapi dari berbagai teknisi termasuk sang pemilik lahan (Allah SWT). Setiap harinya aku disibukan dengan terus memperbaiki diri. Aku ingin membuktikan bahwa aku memperbaiki diri untuk memeprsiapkan pertemuanku denganNya bukan untuk dipuji olehnya. Aku mendapatkan banyak pelajaran dari kejadian ini. Bahwa kita jangan mudah mengharapkan dan memaknai perlakuan baik dari orang lain. Bersikaplah sebiasa mungkin dan sesederhana mungkin. Namun, berpikirlah sejauh mungkin dan berkreasilah sebanyak mungkin.
Aku yang cantik, anggun, penuh semangat dan tegar telah kembali dengan goresan pena di kertas putihku yang mulai terisi penuh. Kini aku semakin percaya diri berdiri di atas pijakanku tanpa harus bersembunyi dibalik kebaikannya.

Bersama sejuknya embun di Bogor, 21 September 2014_TSA_

Senin, 15 September 2014

Kisah dalam Goresan Tinta




-Kisah dalam Goresan Tinta-

Gemericik air hujan yang jatuh kian terdengar lebih kencang. Aku tertegun, dari kejauhan aku melihat seorang anak lucu tengah menangis dalam dalam derasnya hujan. Dari sudut jendela kecilku, aku terus memperhatikannya dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa anak selucu dia nangis sendirian. Hati ini semakin penasaran,  ingin rasanya meghampiri anak itu dan mengajaknya masuk ke rumah, memberinya handuk dan teh hangat. Berbincang dengan penuh canda, tapi apa daya, saat ini aku sedang terikat dengan infus yang setia.
-------------------
"Dek, sayang kamu sedang apa? kenapa menangis sendirian, hujan sayang, kamu tidak kedinginan?" tanyaku. Aku rela mengangkat infusku dan memakai payung untuk menghampiri anak yg lucu ini, karena sudah lebih dari 30 menit aku memperhatikannya.
Berapa kalipun aku melontarkan pertanyaan dan ajakan, anak tersebut tidak menjawab. Hanya menangis dan sesekali menatap wajahku dengan tatapan penuh kecewa. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada anak tersebut, kembali membujuknya sampai akhirnya dia mau pergi bersamaku.
-----------------
Suasana berubah dari dinginnya hujan menjadi hangatnya suasana rumah ditemani dengan secangkir teh hangat. Hanya ada aku dan gadis mungil di ruang tamu,
dari ekspresinya terlihat bahwa dia sudah berhenti menangis dan tengah menikmati teh hangatnya.
"Ade manis, siapa namanya sayang?" tanyaku memecah keheningan. Dia hanya menjawab dengan senyuman, kemudian meletakkan cangkir teh yang dari tadi digenggamnya. Dengan suara lirih dia menjawab "panggil aja Cha kaka, nama saya Navisha Sumardi. Akhirnya dia mau menjawab pertanyaanku, karena rasa penasaran aku kenapa dia menangis dalam derasnya hujan, aku tidak berpikir untuk menanyakan dimana rumahmu, siapa ayah dan ibumu.
Gadis mungil ini kira-kira berusia 6 tahun,  dengan melihat cara duduk, menikmati teh dan berbicara. Dia sepertinya berasal dari keluarga baik-baik, tapi kenapa menangis sendirian tepat di pojok taman rumahku? itulah yang membuat aku penasaran dan ingin segera menanyakannya.
--------------
Jam dinding rumahku menunjukan pukul 16.13, terlihat gadis mungil yang biasa dipanggil Cha itu terlihat mengantuk. Sebelum dia tertidur aku ingin segera menanyakan padanya, kenapa dia menangis sendirian dalam derasnya hujan? dan kenapa juga menangis di depan rumahku?
-------------------
"Cha, ngantuk ya?" tanyaku sambil menyentuh lembut rambutnya. "Hah, enggak kok ka" jawabnya sambil mengucek-ngucek matanya yang mulai memerah. "Oh iya sayang, kakak penasaran, tadi Cha kenapa menangis sayang? ada apa? silakan cerita saja sama kakak"  Pertanyaanku seperti petasan yang merepet. Karena rasa penasaran aku seperti itulah jadinya. Aku yakin dia anak yang cerdas dan dia pasti dapat menjawab pertanyaanku.
Aku masih berpikir, dia mulai menjawab pertanyaanku. "Kakak Cha mau cerita" ucapnya manja, seakan kita sudah saling mengenal lebih lama. Aku senang dan segera merangkulnya. "Iya sayang, silahkan cerita, Cha mau cerita apa?" kataku lembut. "Kenapa cha menangis sendirian dan hujan-hujanan. Pertama karena Cha kecewa, kedua bingung dan ketiga Cha malu jika nangis terang-terangan. Kenapa disaat hujan karena Cha berharap tidak ada yang tahu kalau Cha sedang menangis, tapi ternyata kaka tahu. Cha bingung harus percaya sama siapa Ibu atau orang lain. Cha harus mendengarkan pernyataan dari orang lain kalau ayah Cha itu sudah meninggalkan Cha. Tetapi ibu bilang bahwa ayah Cha adalah ayah yang berada di rumah. Cha lelah dengan ledekan teman-teman Cha. Tapi Cha juga harus percaya sama ibu karena itu sangat nyata. Cha kecewa kenapa harus ada dua pernyataan. Cha uda lelah makanya Cha nangis ka”.  
Anak kecil ini seakan meluapkan apa yang selama ini dia rasakan. Aku semakin penasaran sebenarnya dia berusia berapa tahun? Ucapan dan kata-katanya seperti yang sudah terbiasa dengan masalah yang cukup berat. Aku hanya menghela nafas dan berkata. "sudah lega Cha? sekarang Cha bobo ya?”  Akhirnya gadis lucu nan cerdas ini tidur dipangkuanku.  Aku belum bisa memberikannya saran atau hanya sekedar kata-kata untuk menghiburnya. Ini nyata dan sepertinya pernah ada cerita yang sama.
----------------------
Aku merenung dan mencermati apa yang diceritakan anak tersebut. Aku mengingat bahwa sepertinya cerita ini tidak asing bagiku.
Aku teringat ketika 14 tahun yang lalu usiaku persis sama dengannya, yaitu berusia 6 tahun. Gadis yang manis ceria dan cerdas, membuat orang tua sayang dan tidak ingin membuatnya sedih apalagi terganggu aktivitas akademiknya.
 ------------------
Seperti anak manis Cha, akupun merasakan dan mengalami hal yang sama. Dimana harus dihadapkan dengan dua pernyataan yg berbeda berasal dari ibu dan masyarakat sekitar. Aku jelas tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, hanya kebingungan yg selalu menghampiriku. Setiap keluar rumah atau sekedar main dengan teman sebaya ejekan dan pernyataan menyakitkan selalu aku terima, yang pada akhirnya pulang dan menangis sendirian di dalam kamar. Ketika menanyakan kebenarannya pada ibu, maka jawabannya adalah pernyataan ibulah yang benar. Terus seperti itu sampai aku berusia 14 tahun.
-----------------
Usia 14 tahun adalah moment berharga dimana aku dapat mengetahui kebenaran yang selama 14 tahun menjadi misteri dan membuat kebimbangan selama 8 tahun dimana aku sudah mulai bisa berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi? Ketika aku hendak mengingatnya. Aku tersadar dengan panggilan ibu dari dapur. "Ceuceu* sudah jam 17.00 waktunya makan dan minum obat". "heemm iya ibu sebentar". Jawabku spontan. Kaget juga sebetulnya karena barusan aku sedang mengingat masa laluku.
Begitulah hidup penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. Maka dari itu perlunya prinsip dalam hidup. Aku selalu yakin bahwa aku akan menemukan kebenaran itu. Dan Allah menjawabnya setelah aku menunggu dan menghadapinya selama 14 tahun. Ketika itu tepat di bulan Desember 2007 telah terjadi jejak baru dalam hidupku.
--------------------
Desember 2007, tepatnya 7 tahun yang lalu keluarga kami tengah berduka atas meninggalnya kakek tercinta. Sore itu di rumah nenek, aku, ibu, nenek, paman dan bibi tengah sibuk membereskan berkas-berkas kakek. Ditengah-tengah membereskan berkas, aku mendapati sebuah foto jaman dulu tapi masih tetap terlihat bagus. Di dalam foto tersebut hanya satu yang aku kenal karena mirip dengan seseorang yaitu ibu. Tapi untuk yang lainnya aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. Akan tetapi jika dilihat dari cara mereka berfoto menunjukan bahwa mereka memiliki hubungan yang dekat satu sama lain.  Aku hanya bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Untuk mengobati rasa penasaranku, aku menghampiri ibu dan menyodorkan foto tersebut dan bertanya "ibu ini foto siapa ya? tadi ceuceu menemukannya di tempat dokumen kakek." Terlihat ekspresi yang sangat kaget dari wajah ibu. Kemudian ibu menjawab "foto apa ceu? coba ibu lihat" mengambil foto dari tanganku. "Oh ini ibu tidak tahu ceu sudah lupa, ini sudah lama sekali sepertinya" sambung ibu. Tapi sepertinya ibu sedang berbohong dan menutupi sesuatu. Aku semakin penasaran, aku bertanya kembali pada ibu "ibu jawab dengan jujur, yang ini siapa? seprtinya mirip sekali dengan ibu" tanyaku sambil menunjuk ke arah foto ibu. Ibu tidak menjawab, tetapi yang aku lihat ibu malah menangis dan tiba-tiba memeluk aku dengan erat dan semakin menangis. Akupun bingung dan hanya bisa membalas pelukan ibu.
--------------------------
Satu jam telah berlalu, Selesai menangis ibu menceritakan suatu sejarah dimana aku sendiripun tidak tahu harus percaya atau tidak. Bahwa orang yang ada difoto tersebut benar ibu, lalu laki-laki asing itu yang begitu dekat dengan ibu siapa?
Dia adalah ayahku, ayah kandungku yang selama ini menjadi pertanyaan dan membuatku hidup dalam kebingungan. Dimana harus dihadapkan dengan pernyataan ibu yang mengatakan ayahku adalah ayah yang ada di rumah. sedangkan menurut masyrakat sekitar ayahku sudah meninggal.
Begitulah, ibu dengan keyakinannya menyimpan rahasia besar ini telah dengan jelas membukanya. Ibu beralasan melakukan semua ini semata-mata hanya ingin membuatku bahagia tanpa harus memikul beban yang sangat berat. Ibu hanya ingin aku bisa berprestasi tanpa adanya pikiran yang terbagi. Aku mengerti dan menghargai itu semua. Karena ibu mana yang ingin anaknya tidak bahagia, aku hanya harus menerimanya.
Lalu aku bertanya lagi, jika betul laki-laki yang berada di foto itu adalah ayah kandungku dan sudah meninggal diamanakah kuburannya?. Selama ini aku tidak pernah tahu dan tidak pernah mendoakannya. Aku berkeinginan sekali untuk bisa mendoakannya
Namun aku kembali dikejutkan dengan kenyataan pahit yang harus aku terima. bahwa ayahku meninggal karena kecelakaan perahu di lautan luas dan sampai saat ini jenazahnya belum ditemukan. "ya Allah, hati yang lemah ini kuatkan ya Allah" itulah kata-kata yang ku ucapkan ketika mendengar kenyataan ini. Pada saat itu tidak bisa ku hindari air mata perlahan jatuh dan dada mulai terasa sesak. Ternyata seperti ini rasanya menerima kenyataan yang datangnya terlambat. Sakit, sakit dan sakit, tetapi disela-sela rasa sakit dan kecewa aku sisipkan rasa syukur aku pada Allah. Aku bersyukur dan bangga bahwa Allah telah mempercayakan aku. Allah percaya bahwa aku kuat dan bisa menerima dan melewati ini semua.
Hal itulah yang membuatku tidak berlarut-larut dalam kesedihan, aku melihat betapa Allah maha Adil. Allah mengambil Ayah kandungku jauh sebelum aku mengetahuinya. Karena ayah meninggal ketika aku berada dalam kandungan ibu usia tujuh bulan. Tapi Allah menggantikannya dengan Ayah yang luar biasa. Bahkan 100 kali lipat baiknya dari Ayah tiri pada umumnya. Dan beliau sama sekali tidak berkenan jika disebut ayah tiri, kenapa tidak?. Karena beliau adalah ayahku yang sesungguhnya, beliau menikah dengan ibu ketika aku berusia satu tahun. Ayah rela mengorbankan apaun untuk aku.
"Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?" (Ar-Rahman). Betapa Allah menyayangi hamba-Nya. Maka masih pantaskah kita mengeluh atau masih belum menghormati kedua orang tua kita?. Ini adalah pertanyaanku untuk aku pribadi ketika sudah terlalu jauh mengingat masa lalu.
-----------------
Tiba-tiba terdengar suara lembut memanggilku dengan manja yang berhasil membangunkanku. "Kaka, kaka Cha laper" gadis mungil Cha sudah ada disampingku, ternyata ketika mengingat masa lalu aku tertidur. "heemm iya sayang, Cha laper yah?" jawabku setengah sadar dari tidurku. Tidak banyak berpikir aku langsung bergegas ke dapur sambil menggandeng Cha. "Yuk Cha" kataku. "Asyikk kakak mau masakin aku yah?" ujarnya senang. "Enggak sayang sudah dimasakin ibu" jawabku sambil mencubit pipinya yang "chubby".
------------------------------
Begitulah hidup terus berjalan dan berputar, dalam hidup ini kita haru tetap memiliki pegangan dan berprinsip pada islam menyerahkan segalanya hanya pada-NYA. Insya Allah seberat apapun cobaan hidup akan terasa ringan jika kita senantiasa menyertakan Allah SWT didalamnya.
Masa lalu adalah kenangan bingkailah dengan indahnya masa sekarang. Agar kelak kita bisa sampai pada masa depan yang kita harapkan. Mungkin pada Desember 2007 aku mengetahui suatu kenyataan yang merupakan sejarah hidup.. tidak lain adalah rencana Indah Allah SWT. Lalu bagaimana dengan kejadian pada April 2011?
******
April 2011...
Cha memang anak yang manis, aku semakin merasa nyaman dan ingin selalu bersamanya.. seakan-akan ketika melihatnya aku seperti melihat masa laluku. Aku terus memperhatikannya dan sesekali mengelus-ngelus rambutnya. Cha yang tengah menikmati makan malamnya kemudian bertanya. “kaka, Cha boleh nanya gak?” aku tersenyum dan menjawab “tentu saja sayang, boleh silahkan Cha mau nanya apa sama kaka??” dengan sifat manjanya Cha bertanya kembali “kaka, kaka sekarang usianya berapa tahun?” aku sedikit kaget kenapa tiba-tiba dia menanyakan usiaku. Heemm mungkin karena penasaran dengan muka “Baby pace” aku ini, dengan penuh keyakinan aku menjawabnya “usia kaka 20 tahun sayang, kenapa terlalu muda ya?? Aku sebenarnya bukan percaya diri hanya saja ingin membuat suasana menjadi hangat dan ada suasana humor.

Cha tidak membalas pertanyaan konyolku, dia malah kembali menanyakan sesuatu yang membuatku kaget. “Di usia kaka yang ke 20 tahun ini sudah menikah belum?” saat itu aku hanya terdiam mengapa tiba-tiba gadis mungil yang cerdas ini menanyakan hal tersebut. Tapi aku harus tetap menjawab dengan penuh kelembutan agar dia tidak tersinggung atau merasa bersalah. “heemm, belum sayang kaka belum  menikah kaka masih sekolah sayang. Cha kenapa kok tiba-tiba menanyakan ini?” jawabku sambil menuangkan air putih ke gelas dan memberikannya pada Cha. “oohh,, belum ya ka, kalau tetangga rumah Cha 17 tahun udah ada yang nikah kok ka” celotehnya membuat aku semakin gemas sama Cha gadis mungil ini. Aku tidak melanjutkan percakapan kita, aku hanya mencubit pipinya yang “chubby” dan berkata “ayoo lanjutkan makannya ya, yang banyak dan jangan banyak bicara”.
 Sementara Cha menikmati makanannya, kembali aku teringat masa laluku. Pertanyaan Cha mengingatkanku pada kejadian April  2011, dimana pada saat itu usiaku belum genap 17 tahun dan hampir terjadi apa yang disebut dengan pernikahan.
--------------
Bulan April 2011, ketika itu aku tengah menunggu pengumuman Ujian Nasional (UN) dan SNMPTN IPB. Aku mengisi waktu luang dengan mengajar siswa kelas X di SMA tempat aku sekolah menggantikan guru ku yang sedang sibuk mengurusi tesis dan sidangnya. Sebenarnya aku kurang percaya diri karena aku bukanlah siswa teladan disekolahan akan tetapi seorang guru percaya begitu saja dengan diriku.
Aku mengerti ternyata bukan kemampuanku yang beliau lihat, tetapi semangat dan kerja keras yang membuat beliau percaya bahwa aku bisa. “bapak kenapa saya yang menggantikan bapak mengajar? Saya kurang pandai dalam pelajaran matematika pak.” Kalimat itulah yang aku lontarkan ketika beliau meminta aku untuk mengajar. “Karena saya melihat semangatmu nak” jawab beliau singkat dan tegas. Aku tidak bisa mengelak lagi, akhirnya aku menjalaninya dengan senang dan alhamdulillah luar biasa pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan.
Sesungguhnya ketika kita merasa berpotensi belum tentu kita dibutuhkan, tetapi tanpa kita sadari ternyata ada semangat yang membuat orang lain terkagum akannya.
------------
Siang itu sekitar pukul 12.30 wib, seperti biasa aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah untuk mengajar. Suatu kebiasaan yang tidak pernah terlewatkan yaitu pamitan dan memohon doa restu ibu ketika hendak berangkat. Namun pada saat itu ada yang berbeda, ada seseorang yang sedang berbicara serius dengan ibu. Karena takut telat aku langsung menghampiri ibu untuk pamitan. “Ibu ceu berangkat ya, mohon doanya” kataku sambil mencium tangan ibu. “iya hati-hati ya didoakan sama ibu”. Seperti biasa ibu mendoakan aku, tidak lupa aku juga pamit pada saudara aku yang sedang bersama ibu. Sebenarnya aku penasaran apa yang mereka bicaran tapi sepertinya aku akan terlambat jika ikut ngobrol dengan mereka. Aku pun memutuskan untuk berangkat mengajar.
-----------------
“kaka Cha udah selesai makannya, Cha mau pulang” suara gadis mungil Cha menghancurkn ingatan masa laluku. “iya sayang, Cha udah selesai.. heemm mau pulang ya? Tapi uda malem sayang. Emang rumah Cha dimana?” aku berkata seperti itu karena tidak ingin Cha pergi meninggalkan aku, sedikit egois tapi aku sangat menyukainya.
------------------
Sebenarnya aku tidak ingin mengingat apa yang terjadi pada saat April 2011. Kejadian itu sudah 3 tahun berlalu, namun sangat mengagumkan jika kembali ku ingat. Waktu itu aku kembali dihadapkan dengan dua pilihan. Dimana aku harus memilih tetap berpegang teguh dengan pendirian dan terus melanjutkan perjuangan menggapai mimpi. Ataukah berhenti sampai disini dan memilih untuk hidup bersama orang asing yang telah dipilihkan saudara.
------------------------
Ternyata inilah yang mereka bicarakan pada siang itu yang membuat aku penasaran. Sungguh aku tidak pernah menyangka sebelumnya. Mengapa aku yang tengah asyik menikmati kehidupan remajaku dengan menuntut ilmu. Kenapa mesti aku? Itulah pertanyaan sedih dalam hatiku.
Jika aku memilih melanjutkan mimpi maka ketidakpastian pasti aku dapatkan, karena aku belum lulus UN dan belum keterima SNMPTN. Sedangkan jika memilih perjodohan ini hidup aku sudah dijamin senang. Begitulah yang aku ingat pendapat saudara yang bersikeras menjodohkan aku dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal.
Apa sebenarnya yang membuat suadara aku berani masuk dan mencampuri urusan pribadi aku, apakah karena aku miskin? Apakah takut ketika aku keterima di PTN dan harus kuliah kemudian meminta uang untuk biaya kepadanya? Apakah itu yang membuat beliau mantap mengajukan perjodohan ini. Seakan-akan dialah pengendali hidup aku.
------------------------
Pertanyaanku di atas ternyata bukan hanya pertanyaan yang aku reka-reka untuk menebak saja. Akan tetapi benar adanya setelah aku mendengar langsung dari mulut saudara yang sangat perhatian itu. “heh, kamu! ayah sebagai buruh aja kok sosoan sih mau kuliah di IPB? punya jaminan apa? Emangnya kuliah gak mahal apa? Daripada buang-buang uang lebih baik menikah dengan yang jelas-jelas sudah mapan dan ada di depan mata. Mau apalagi tinggal diam di rumah hidup enak selesai kan. Emangnya kamu gak kasian sama ayah kamu yang setiap hari banting tulang di sawah saya. Lagian belum pasti juga kan keterima atau tidaknya di IPB?”
----------------------
Kalimat-kalimat di atas masih jelas tersimpan dalam rekaman ingatan aku. Mungkin betul aku miskin harta, tapi aku tidak miskin mimpi dan iman. Yang ingin aku capai bukan hanya sekedar hidup enak tapi hidup penuh ridho-NYA. Aku sudah terbiasa hidup miskin dan penuh kekurangan maka akan tidak menjadi masalah jika tetap hidup seperti ini, asalkan prinsip hidupku tetap aku pegang. Mungkin benar juga ayah pernah merasakan lelah, letih dan jenuh. Tapi apakah ayah pernah meminta aku untuk menikah dengan orang kaya? Tidak pernah, mungkin ayah pernah melarangku untuk melanjutkan sekolah baik ke tingkat SMP, SMA dan PTN tapi ayah belum pernah memintaku untuk menikahi orang kaya agar kehidupan kami berubah. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa saudara yang jauh tidak berhak akan hal ini turut campur dan sibuk mengatur hidup aku.
Allah tidak akan menguji hamba-NYA diluar kemapuan hamba-NYA, itulah yang aku yakini bahwa Allah memilihku karena Allah yakin aku bisa dan kuat. Bersyukurlah ketika kita diuji karena sesungguhnya ujian itu bukti kasih sayang ALLAH pada hamba-NYA.
-------------
Secara psikologis aku mengalami “sock” (kaget) yang mengakibatkan sakit selama satu minggu. Jujur perjodohan ini adalah hal yang terberat yang harus aku hadapi. Terlebih dengan sikap ibu yang sempat setuju dengan perjodohan ini. Aku tidak semata-mata menyalahkan ibu, sesuatu yang wajar karena aku tahu pada saat itu keluarga kami tengah diuji dengan keterbatasan materi. Aku hanya bisa membujuk ibu dan meyakinkan ibu, bahwa bukan dengan seperti ini, bukan dengan menikahi orang kaya aku ingin membahagiakan ibu. Bukan juga dengan menumpang hidup pada orang yang sudah mapan. Tapi aku ingin membahagiakan ibu dan ayah setiap hari dengan prestasi dan cerita-cerita indah yang aku lalui. Aku ingin membahagian ibu dan ayah dengan kerja kerasku dan dengan hidupku yang sesungguhnya. Bukan dengan bayang-bayang hidupku.

Dalam kondisi sakit aku berpikir keras bagaimana caranya agar ibu luluh. Keputusan  yang mana yang harus aku pilih ya Rabb. Begitulah isi doaku di sepertiga malam-NYA, aku memohon petunjuk dan meminta keputusan terbaik yang harus aku ambil. Agar bukan keputusan yang salah yang aku putuskan nantinya. Mengapa aku sampai berhari-hari belum bisa meutuskan, karena selama hidupku aku belum pernah berani menolak perintah ibu. Apapun itu ketika baik dan membuat mereka bahagia aku rela melakuakannya. Namun untuk hal ini aku masih ragu, karena aku masih memiliki harapan lain yaitu bisa kuliah di PTN yang selama ini sudah aku rintis dari awal. Haruskah impian ini terhenti? Egoiskan aku jika bertahan dengan mimpi ini?
------------------
Aku tahu menikah bukan sesutu yang tidak baik, bahkan Allah memerintahkan kita untuk menikah. Akan tetapi tidak ada unsur paksaan, didasarkan rasa cinta dan niat ibadah karena-NYA, dan yang terpenting ketika sudah siap lahir dan bathin. Pada saat itu semua persyaratan di atas belum terpenuhi maka bukan suatu kesalahan jika aku tidak mengharapakan perjodohan ini terjadi. Aku dengan usia remajaku yang belum genap 17 tahun tengah gemar menuntut ilmu dan mencari jati diri tentu belum siap jika harus dihadapkan dengan hal yang amat berat ini.
-----------
Allah menunjukan kesih sayang-Nya dan kekuasaan-Nya padaku. Pagi itu, ibu menghampiriku dan berkata “Ceu maafin ibu ya, ibu terlalu egois dan khilaf sayang. Ibu tidak memikirkan perasaan dan cita-cita mulia putri ibu. Mulai sekarang ibu tidak akan ikut campur lagi, semuanya terserah ceuceu aja ya. Jika akan menolak perjodohan ini sampaikan penolakannya dengan baik ya sayang” dengan suara yang sedikit tersendat-sendat karena menahan tangis ibu memohon maaf dan menasehatiku. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi pada saat itu, aku hanya memeluk ibu dan menangis sejadi-jadinya. Apa yang sebenarnya yang aku tangiskan? Harusnya aku bahagia karena ibu sudah mengizinkanku untuk memutuskan semuanya. Itulah aku hampir tidak pernah bisa membedakan kapan sedih dan kapan bahagia. Karena disetiap kebahagianku dan kesedihanku selalu diwarnai dengan tangis penuh rasa syukur.
Subhanallah, Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan (Ar-Rahman). Kembali bertambah proses pendewasaanku. Di usia remaja yang mayoritas remaja lain habiskan dengan beresenang-senang dan bermain sedangkan aku harus berhadapan dengan permasalahan yang seharusnya menjadi bagianku ketika aku dewasa nanti. Tapi sekali lagi aku telah dipilih Allah karena Allah yakin aku bisa dan aku kuat. Kasih sayang Allah sangat nyata.
----------
Malam itu, di rumah telah terjadi jejak baru dalam hidupku. Sorang remaja belum genap berusia 17 tahun dengan penuh keyakinannya menolak seorang laki-laki berumur yang telah mapan secara materi. Sungguh aku tidak akan pernah melupakan kejadian ini, dimana dengan penuh rasa takut dan khawatir aku berhadapan langsung dengan orang yang sebelumnya tidak aku kenal dan aku harus menolaknya. Apa yang aku pikirkan saat itu, hanya dengan mengingat ALLAH dan berdoa agar aku jangan sampai salah berucap ataupun bertindak, sehingga proses penolakan ini tidak menimbulkan perpecahan tetapi terjalinnya kekeluargaan yang aku harapkan.
Alhamdulillah dengan berpegang teguh pada keyakinan dan doa yang tidak terputus. Tidak ada kata-kata yang menyakiti ataupun menyinggung perasaan orang tersebut. Aku tidak mengungkapkan banyak alasan, aku hanya menyampaikan satu alasan. Bahwa aku belum ada niatan untuk menikah karena sedang menuntut ilmu. “Sebelumnya terima kasih banyak sudah memilih saya diantara perempuan yang lain. Tapi saya yakin bapak bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari saya, mohon maaf karena tidak bisa menerima niat baik dan tulus bapak karena pada saat ini saya sedang menuntut ilmu dan sedang semangat mengejar mimpi. Semoga bapak dapat menerima alasan saya dan bersedia membatalkan perjodohan ini” begitulah penggalan kalimat yang sempat aku lontarkan pada saat itu. Semuanya tidak langsung terjadi sesuai harapan walau sudah sebaik apapun ucapanku.
Namun pada akhirnya orang tersebut menerima keputusanku untuk membatalkan perjodohan ini. Bahkan beliau memohon maaf karena telah mengganggu pendidikanku. Belaiau hanya meminta dicarikan calon isteri dan saudara aku yang terkesan gila harta tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Namun bagaimanapun tidak ada alasan bagiku untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Kembali lagi bahwa ini adalah ujian dan bukti cinta-Nya padaku.
---------------    
Dengan diterimanya keputusan aku yang ingin membatalkan perjodohan ini, maka aku berhasil menyelamatkan mimpiku, mendapatkan pengalaman, pembelajaran dan kekeluargaan. Sungguh Allah kembali menampakan kekuasaan-Nya begitu agung dan luhur.
-----------------
Setelah kejadian ini keluarga kami masih bisa bertahan hidup walau tanpa materi yang berlimpah. Aku bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang aku harapkan tanpa meminta bantuan kepada saudara yang sangat mengkhawatirkan biaya studi aku. Allah telah menetapkan untuk setiap takdir umatnya, maka kembali lagi kepada kita. Pergi menjemputnya atau hanya diam dan menunggu yang tak pasti. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kita memang betul sudah Allah tetapkan, namun kita sebagai manusia harus tetap berikhtiar dan membuatnya menjadi semakin nyata.
-----------------------
Hidup ini adalah proses dimana kita selalu dihadapkan pada suatu pilihan. Seperti apa hidup kita tergantung keputusan yang kita pilih. Mungkin jika aku memilih menerima perjodohan tersebut maka aku tidak akan bisa melanjutkan masa remaja yang penuh dengan cerita. Hidup ini tidak harus selalu melihat dan berorientasi pada hasil tapi cobalah menikmati prosesnya. Dimana dalam proses tersebut banyak menghadirkan semangat, pelajaran, pengalaman dan kecintaan kepada Allah agar kita senantiasa dekat dengan-Nya. Maka jika orang lain menganggap perjodohan ini adalah masalah tapi bagiku hal ini adalah bukti Cinta-Nya padaku. Karena aku selalu melihat masalah dan ujian adalah bukti kasih sayang-Nya padaku.
-------------------
Masa remaja merupakan masa dimana dipenuhi dengan kesenang-senagan bermain dengan teman dan sahabat. Bagi sebagian besar remaja tentunya iya, tapi yang terjadi padaku adalah pengecualian. Masa remajaku terwarnai dengan sedikit tinta yang seharusnya tercatat di masa dewasaku. Tapi itulah yang membuatku merasa bahwa Allah selalu memperhatikanku. Untuk itu janganlah kamu nodai masa remajamu dengan tidak dekat dengan-Nya. Warnailah masa remajamu dengan semangat mengejar mimpi dan kecintaanmu pada Rabb-mu. Insya Allah hidup ini akan semakin berarti.
------------------------
“Stop, stop ka, sudah sampai” aku terkaget dengar suara Cha. Ternyata selama aku mengingat masalaluku kami telah berjalan cukup jauh. Yang akhirnya tiba di depan rumah Cha. “oh iya. Sudah sampai ya. Ayo kita masuk” aku dan Cha masuk ke dalam rumahnya bermaksud bertemu dengan orang tua Cha dan menjelaskan mengapa Cha bisa pulang bersamaku.
Begitulah kehidupanku di masa lalu, namun sedikitpun tidak membuatku menyesal pernah melewati itu semua. Warnailah perjalanan hidupmu dengan semangat mengejar mimpi dan kecintaanmu pada Rabb-mu. Insya Allah hidup ini akan semakin berarti.

*“Ceu” adalah panggilan sama sperti kaka. Ceu/ceuceu adalah panggilan untuk anak perempuan yang paling tua biasa digunakan di keluarga Sunda.

Di sejuknya fajar yang masih malu-malu.. Bogor 7 Juni 2014 _TSA_