Segores Luka
dalam Sepotong Senja
“Pranggggg” bunyi yang
berasal dari ponselku jatuh mengenai lantai kamarku. Aku mengacuhkannya dan
sesaat kupandangi seluruh isian kamar tak seperti biasanya. Kuarahkan
pandanganku ke meja belajar biasanya terlihat cantik nan anggun. Tatanan
buku-buku yang dengan sengaja kutata, kini tak ada lagi hanya lembaran kertas
dan benda-benda lain yang berserakan tak beraturan. Lalu ku tengok tempat tidur
yang tak pernah kubiarkan terdapat sehelai rambutpun terlihat berada di atas
kasurku. Kini tak lagi seperti itu, bantal dan guling tanpa sarung tergeletak
di atas dan bawah tempat tidurku. Terakhir ku tatap cermin
yang terletak di hadapanku. Seharusnya
sosok yang yang berada dibalik cermin itu adalah sosok gadis dengan paras
cantik, anggun, penuh semangat dan tegar. Namun saat ini aku seperti melihat sosok
lain, wajah yang pucat pasi tak berekspresi menghiasi cermin yang telah kutatap
dari tadi. Pelan-pelan kudekati sosok itu, kuraba wajah pucat itu dengan tangan
yang mulai berkeringat. Lalu ku bergumam padanya “kamu kah ini wahai diriku?
Benarkah? Atau aku sedang bermimpi atau berhalusinasi?”. Tak terasa air
sebening embun itu menetes membasahi pipi yang mulai tak terawat.
“Siapa
ini?” pertanyaan yang berulang kali kutanyakan pada sosok yang berada di balik
cermin. “Aku yang sesungguhnya bukan seperti ini, tolong kembalikan aku yang
dulu dan beritahu aku mengapa hal ini bisa terjadi”. Ucapku setengah berteriak.
***
Semua
berawal dari kedekatanku dengan seorang sahabat yang luar biasa baik dan
shalehnya. Jujur aku yang berasal dari latarbelakang keluarga biasa saja bukan
berbasis ustad tentunya pengetahuanku tentang agama sangatlah seadanya. Aku
bagaikan selembar kertas kosong yang belum terisi dengan goresan pena
pengetahuan Dienku.
Dengan
rencana Allah yang sangat manis, Dia mempertemukan kami dalam lingkungan yang
baik. Memberikan ruang untuk berbagi dan melengkapi. Jujur aku sangat mengakui
bahwa aku senang berada diantara mereka yang menyejukkan jika dipandang dan
menenangkan bila dimintai pertolongan. Begitupun dengan dia yang telah berhasil
membuka ruang di dalam hatiku dan sudah kupersilahkan untuk memasukinya.
Tidak
ada keragu-raguan dalam hatiku, tidak ada rasa malu ketika hanya sekedar
bertukar pendapat dan menanyakan hal-hal yang belum aku ketahui. Aku merasakan
kenyamanan yang luar biasa ketika bersahabat dengannya. Karena dia selalu
membuat aku tidak terlihat bodoh walau sebenarnya bodoh. Dengan cara dia yang
lembut dan selalu tepat sasaran dalam bertindak namun dengan gaya yang
menyentuh serta terkesan elegan. Berhasil menyihirku dan membuat aku
ketergantungan padanya.
Aku
yang dalam tahap pencarian mengenai Dienku bagaikan tanaman yang baru ditanam
kemudian diberikan pupuk organik yang sangat bermanfaat oleh petaninya. Aku
adalah tanaman sedangkan dia adalah seorang petani yang dengan setulus hati
merawat dan menjagaku. Aku selalu mendapatkan masukan nutrisi yang aku butuhkan
tepat waktu. Sekalipun dia tidak pernah melewatkan dan melupakan untuk
memberikan apa yang aku butuhkan.
Karena
dia aku semakin dekat dengan Rabb-ku, kertas kosong itu kini mulai terisi
dengan terlihat adanya goresan pena pengetahuan Dienku. Sedikit demi sedikit
aku belajar, pelan, perlahan tapi pasti aku mulai memperbaiki diri. Hari demi
hari kulewati dengan berusaha meningkatkan kapasitas diri dan memantaskan diri
dihadapanNya.
Tak
terbesit dalam hatiku untuk memilikinya, aku hanya melihat dia sebagai sosok
seorang guru. Bagaimana mungkin aku berkhinat pada guruku sendiri dengan
diam-diam menaruh perasaan yang akan menghancurkan hubungan baik ini. Walaupun
tak kupungkiri dengan kedekatan ini, kami sudah sejauh ini mengenal satu sama
lain.
Aku
tahu dan aku sadar hormon itu tidak pernah berbohong. Desiran dalam hatiku
pernah membuatku gelisah sepanjang malamku. Aku berusaha menepis dan mengobatinya
dengan memohon padaNya. Kutunaikan shalat di sepertiga malamNya, dan kucurahkan
semua gejolak dalam hatiku. Aku tidak akan seberani itu padanya, siapa aku dan
siapa dia? Dan dengan penuh rasa tenang aku memutuskan untuk memutus desiran
itu dan menggantinya dengan semangat memperbaiki diri.
***
Ketika
itu entah apa kesalahan yang aku perbuat, bagaikan tanaman yang ditinggal
petaninya. Tak ada asupan nutrisi dan air yang dapat menyegarkanku kembali. Aku
tidak tahu mengapa dengan tiba-tiba dia menghilang dari aktivitasku. Kini tak
ada lagi yang mengingatkan shalat tepat waktu, tak ada lagi yang mengingatkan
tilawah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Entah mengapa aku merasa kosong dan ada
sesuatu yang beda, walaupun tanpa ada dia yang mengingatkan, aku tetap
menjalankannya. Sekali lagi aku tidak bermaksud untuk menggoda atau menjadi
ujian baginya. Hanya saja aku rindu dengan sikap baiknya yang menyejukkan hati.
Namun,
mengapa terasa sakit dan hina saat dia dengan perlahan menghilang tanpa menyapa
sekalipun. “Apakah karena aku amalan-amalan baik dia luluh lantah seperti rumah
yang terseret tsunami? Apakah karena aku kewibawaannya memudar dan hilang
dengan perlahan? Apakah karena aku yang bodoh sehingga dia capek untuk
menuntunku?”. Dengan sesenggukan aku terus menangis, melihat diri ini yang
teramat hina. Sungguh aku tidak bermaksud untuk itu, aku sama sekali tidak
bermaksud untuk menjadi ujian terberat bagimu. Jika memang kamu sudah
mengetahui bahwa aku adalah ujian bagimu. Mengapa kamu tetap membiarkan aku
masuk dan menerima perlakuan baikmu. Jika memang benar semua amalan baikmu
hilang karena aku maka izinkan aku untuk memohon maaf padamu dan memohonkan
ampunan pada Allah.
***
Setelah kejadian itu
aku tidak pernah membuka hati untuk laki-laki dan membiarkannya masuk ke dalam
kehidupanku . Aku menutup diri dan hanya belajar dari buku-buku dan media online yang sekiranya dapat menambah
wawasanku mengenai agamaku. Terus berjalan seperti itu sampai suatu hari aku
mendapatkan kabar bahwa dia akan segera melangsungkan pernikahannya dengan
gadis pilihannya, yang tidak lain adalah teman mainku. Teman main aku ini biasa
saja standar aku lah bukan akhwat yang
berjilbab panjang dan bercadar. Aku sedikit kecewa dan sempat menghela nafas
seakan tak percaya. Tapi ini semua sudah menjadi keputusan dan pilhannya aku
hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya.
Ketika mendengar kabar
tersebut, mulutku mampu berkata “aku tidak apa-apa dan turut bahagia” namun
suara hati terdalamku berkata “kenapa bukan aku dan kenapa harus dia?”. Karena
sesungguhnya aku pernah mengharapkannya. Namun karena kecintaanku padaNya lebih
tinggi dari pada cintaku pada dia maka aku merelakannya untuk mengubur rasa
yang selalu hadir dalam desiran hatiku.
Seharian itu aku sangat
futur, tak ada semangat dan rasa malas kian menghinggapi tubuhku yang sedang
diguncang imannya. Tangan ini terasa berat hanya untuk merapihkan buku-buku
yang berserakan di atas meja belajar. Mood
yang baik sangat susah kudatangkan untuk segera mengganti bed cover yang sudah mulai terlihat kusut dan berantakan.
***
Hari sudah sore
sebentar lagi senja akan tiba, seharusnya aku sudah beranjak dan segera
menjemput sang jingga. Namun aku masih terpaku memandangi wajah pucatku yang
terlihat dibalik cermin. “kring, kring, kring” suara nada panggilan dari handphoneku. Aku terkagetkan olehnya dan
sibuk mencari sumber bunyi tersebut. Aku masih belum menemukan handphone itu, ternyata HP aku terjatuh
dan berada jauh di bawah tempat tidurku. Ku ambil Hpku dan ketika hendak
mengambil HP terlihat sebuah undangan berwarna cream. Kuambil dan ku baca, ternyata surat undangan tersebut dari
seseorang yang telah berhasil mengangkatku kemudian menjatuhkannya kembali.
Benar surat undangan itu dari dia yang tadinya kuabaikan.
Selesai membaca surat
undangan, aku menghela nafas dan berkata “hemm, tidak apa-apa, all is well, semua sudah menjadi
ketetapanNya. Insya Allah aku ikhlas”. Kemuadian aku tersadar bahwa barusan ada
suara telpon, kuraih Hpku dan kulihat terdapat panggilan tak terjawab dari ibu.
Ternyata ibu selalu datang tepat waktu, ibu datang ketika aku membutuhkan
tempat mencurahkan isi hati ini dan berbagi tentang apa yang aku rasakan saat
ini. Aku selalu mendpatkan ruang dihati ibu, ibu selalu mengangkatku dan tak
pernah sekalipun menjatuhkanku. Ibu selalu menjadi pelipur lara bagiku ketika
guncangan itu mulai mengoyahkan imanku.
***
Setelah selesai curhat
dengan ibu kembali kutatap wajah mungilku yang mulai hilang pucatnya. Aku
berkata pada diriku sendiri. “mengapa kamu bisa sebodoh ini, menghilangkan
cantiknya pipi yang merona dan mata yang indah dengan memelihara kesedihan di
hati. Sudahlah mulai sekarang bebaskan dan yakin Allah telah menyiapkan yang
terbaik untukmu, di waktu yang tepat dan akan indah pada waktunya”.
***
Aku kembali mendapatkan
energi dan nutrisi bukan hanya dari petani akan tetapi dari berbagai teknisi termasuk
sang pemilik lahan (Allah SWT). Setiap harinya aku disibukan dengan terus
memperbaiki diri. Aku ingin membuktikan bahwa aku memperbaiki diri untuk memeprsiapkan
pertemuanku denganNya bukan untuk dipuji olehnya. Aku mendapatkan banyak
pelajaran dari kejadian ini. Bahwa kita jangan mudah mengharapkan dan memaknai
perlakuan baik dari orang lain. Bersikaplah sebiasa mungkin dan sesederhana
mungkin. Namun, berpikirlah sejauh mungkin dan berkreasilah sebanyak mungkin.
Aku yang cantik,
anggun, penuh semangat dan tegar telah kembali dengan goresan pena di kertas
putihku yang mulai terisi penuh. Kini aku semakin percaya diri berdiri di atas
pijakanku tanpa harus bersembunyi dibalik kebaikannya.
Bersama sejuknya embun di Bogor, 21
September 2014_TSA_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar