Minggu, 23 November 2014

Ini Ceritaku Sewaktu di Malang [Migratoria 2014]



Ini Ceritaku Sewaktu di Malang [Migratoria 2014]



Aku tidak pernah terpikirkan bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa Timur setelah dulu sempat berpetualang juga di tanah Jawa Tengah, Yogyakarta. Yups, kota Malang yang konon sangat terkenal dengan penghasil apel malang. Aku tidak menyangka akan secepat ini, aku membayangkannya nanti bersama sahabat atau suami #eh. Beberapa waktu lalu aku sempat mengurungkan niat untuk ikut kegiatan tahunan di jurusanku ini. Sampai-sampai terlontar celoteh seperti ini dari salah satu panitia yang dulu sempat mengajak aku untuk bergabung dikepanitiaan. “Tik, jadi juga ikut ke Malang? Katanya gak mau, katanya gak ikut?” ledek dia dengan nada bicara yang khas, yup logak sumatera. “Iya nih bang, nyesel banget aku kalau beneran gak ikut.” Jawabku sambil tertawa kecil.

***
Aku mulai bercerita, ketika itu hari selasa tanggal 4 November 2014 pukul 04.30. setelah selesai shalat shubuh, aku masih terlihat santai padahal pagi itu aku sudah harus siap-siap untuk berangkat ke Malang bersama rombongan teman-teman. Namun aku masih sempat membaca buku yang membuat aku penasaran dengan judulnya “Jangan jatuh cinta tapi bangun cinta.” Sesuatu banget judul bukunya maklum udah “gede” dan tuntutan untuk mempersiapkan juga “apa coba?.” Namun baru selesai satu halaman ku membaca buku tersebut, aku langsung tersadar kalau aku belum packing. Heemm, hal ini terjadi karena tadi malam aku sangat kelelahan sepulang dari komplek Yasmin tempat mengajar. Ya hanya sekedar menggantikan kaka kelas sih cuma lumayan pengalaman yang tak terlupakan. 

Akhirnya akupun dengan spontan menutup buku tersebut dan meletakkannya di tempat semula dia berasal (dibaca) rak buku. Aku langsung mengambil tas daypack punya teman (pinjam) dan segera mengeluarkan baju-baju dari lemari sekiranya yang aku butuhkan untuk lima hari di Malang. “Tring” hanya dalam waktu 40 menit packing selesai. Setelah itu aku langsung mandi, rapih-rapih dan siap berangkat deh.
Pada waktu itu jumlah keseluruhan yang ikut “Migratoria” (nama acaranya) sekitar 100 orang dari tiga angkatan Departemen Proteksi Tanaman. Transportasi menuju kota Malang dari Bogor ditempuh dengan menggunakan kereta api. Pokoknya satu gerbong kereta api sudah bagaikan milik kami. #Ups.. 

***
Hari pertama di Malang, tepatnya tanggal 5 Nov pukul 07.00 waktu setempat kami tiba di stasium kota Malang. Dengan muka yang agak sedikit lusuh karena selama 18 jam lebih kami berada di kereta. Namun tidak menurunkan semangat anak muda yang luar biasa tangguh. Kenapa begitu? Bagaimana tidak? Ditengah-tengah kerumunan banyak orang dengan gayanya masing-masing meraka pada selfie (take foto sendiri). Tidak perduli dengan tas dan barang bawaan yang besar dan berat.

Jujur walaupun tas aku berukuran kecil namun cukup membuat aku merasa sakit di bahu dan punggung. Rasanya ingin segera menemukan sandaran hati, eh maksudnya sandaran untuk melepas lelah (dibaca bis). Dan akhirnya bis yang akan menjadi sarana tour kami pun tiba, tanpa menunggu lama aku dan teman-teman pun langsung menuju bis. “Alhamdulillah akhirnya duduk dengan nyaman juga” bisikku dalam hati sambil melontarkan senyum pada sahabat yang duduk disampingku. 

Perjalananan dari stasiun menuju rumah yang akan kami tempati nanti (dibaca rumah mbak Fita) lumayan cukup jauh dan memerlukan waktu satu setengah jam.
Setibanya di rumah mbak Fita, aku dan teman-teman semua berduyun-duyun menuju pintu masuk, disana sudah terlihat ibu dan sudara-saudara mbak Fita sudah menunggu kami. Dengan penuh hormat dan sopan santun kami memperkenalkan diri sambil mencium tangan beliau sekalian memohon izin juga akan sangat merepotkan meraka selama empat hari kedepan.  Walau begitu tidak sedikitpun terlihat dari paras mereka rasa capek atau khawatir setelah melihat rumah mereka diserbu dengan sekian orang mahasiswa. 

Hari itu seakan aku tidak melewati perjalanan panjang di dalam kerata. Banyak sekali keceriaan yang terjadi dan terlewati selama perjalanan di kereta. Teriakan ketika kalah bermain “uno” suara gitar yang berlawanan dengan bisingnya roda yang bergesekan dengan rel dan tawa yang tak hentinya mewarnai perjalanan malam itu. Badan pegal karena tidur dalam posisi duduk tidak sedikitpun aku gubris. 

Pagi itu hidangan makanan sudah siap, aku sudah tidak sabar untuk segera menyantap menu makanan khas Malang. Tentunya aku sudah mandi dongs walaupun harus mengantri berjam-jam tapi itulah nikmatnya kebersamaan. 

Disela-sela ngantri aku berusaha akrab dengan keluarga mbak Fita dan membantu apa sekiranya yang dapat aku bantu (bukan carmuk loh ya [cari muka]). Namun aku hanya ingin meninggalkan kesan yang baik karena itulah bentuk ungkapan terima kasihku atas kebaikan beliau. Mereka telah menerima kami, direpotkan dan aku tidak dapat membayangkan kelelahan mereka mempersiapkan makanan untuk kami. Ibunya mbak Fita selalu menanyakan padaku “bagaimana mbak makanannya enak?” dengan nada khas jawa yang agak sedikit “medok” ibu bertanya. Aku selalu menjawab dengan senyuman lalu berkata “duh bu, wenak tenan, mantap deh enak enak bu”. Jawabku sambil mengacungkan ibu jariku dengan bangga. Aku senang melihat senyum itu seakan meluluhkan rasa capek yang sebenarnya sedikit mendera ibu yang sudah tidak muda lagi (paruh baya).

Sekali lagi aku akan menyesal jika tidak ikut, makanannya enak sekali terima kasih ibu sudah memasak dengan penuh cinta. Sehingga akupun merasakan cinta itu dalam sepiring sajian yang memberikan nuansa enak dilidah dan diperut tentunya. #Ups.. 

Heemm, sudah Tika jangan makanan mulu yang dipikirkan karena hari ini kita akan banyak belajar tentang tanaman jeruk dan subtropika, tentunya belajar juga yang berhubungan dengan jurusan kita Proteksi Tanaman (Hama dan Penyakit Tanaman). 

Akan kemana kita? “Balitjestro” Yups betul hari ini kami berkunjung ke Balitjestro (Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Subtropika), disini tidak hanya jeruk yang yang menjadi fokus akan tetapi tanaman subtropika lainnya seperti apel, stroberi, anggur, klengkeng dan lain-lain. Disinilah pentingnya kuliah lapang atau turun lapang. Dengan adanya kegiatan Mogratoria ini mahasiswa semakin terbuka wawasannya bahwa peran proteksi tanaman itu sangat penting bagi pertanian Indonesia. Salah satunya di Balitjestro ini, di balai ini sudah banyak inovasi yang dihasilkan oleh para peneliti baik secara budidaya, pemuliaan dan perlindungan tanaman. Aku pribadi tentunya banyak belajar selama beberapa jam kita berada di Balitjestro. 

Disana bukan hanya penjelasan di aula oleh perwalikan kepala badan Balitjestro saja. Akan tetapi kami pun berbaur dan melihat langsung pertanaman buah apel di kota Batu ini. Tidak hanya itu pertanaman jeruk yang cukup luas juga turut memanjakan mata kami, namun sayang jeruknya tidak dapat dipetik dan dinikmati karena sudah tidak dapat dipanen lagi, pun kalau dipanen rasa jeruknya sudah tidak enak lagi. Menurutut penjelasan petugas sih begitu. 

Dengan didampingi petugas dari Balitjestro dan beberapa dosen sambil mengelilingi kawasan pertanaman apel kami kami pun disuguhkan pengetahuan baru. Oea para bapak ibu dosen tiba di Balitjestro siang itu dengan perjalanan menggunakan pesawat. #nice.
Hemmm aku jadi tahu mengapa pohon apel kalau dalam proses pembuahan digunduli daunnya (dirontokan maksudnya). Nah itu yang disebut dengan perompesan, dimana hal ini dilakukan untuk memicu pembuahan yang maksimal. Ya kalau mau menghasilkan buah yang banyak dan berkualitas ya harus dirompes, begitu sederhananya. 

Tahu gak karena pohon apel yang ada di kebun Balitjestro hasil cangkok jadi setelah delapan bulan sudah mulai berbuah. Menurut bapak petugas yang menjadi guide kami menyatakan bahwa panen bisa saja dua kali dalam satu tahun namun kasian pohonya karena pohon akan merana. Bagaimana tidak? baru selesai panen harus langsung dilakukan perompesan lagi. Jadi alangkah lebih baiknya setelah panen pohon apel dibiarkan dulu dan diberikan pupuk kandang untuk pemulihan. Karena jika perawatan yang baik pohon apel dapat bertahan hingga 20 tahun.

 Selain itu juga kami menjumpai langsung hama yang menyerang tanaman apel dan langsung mendapatkan penjelasannya. Nah disana juga kami dikenalkan dengan bubur generik yang terbuat dari kapur dan belerang. Dengan komposisi dua bagian kapur, satu bagian belerang dan sepuluh bagian air volume. Pembuatannya gampang aja, yaitu dengan cara masak air sampai mendidih kemudian masukan kapur tunggu hingga larut selanjutnya masukan belerang dan tunggu sampai larut. Setelah itu diamkan semalam karena bubur generik baru dapat diaplikasikan setelah dingin. 

Bubur generik ini dapat digunakan sebagai pestisida baik insektisida maupun fungisida. Yang digunakan yaitu cairannya yang sudah menegndap. Dosisnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, maksudnya dosis untuk aplikasi pada daun jeruk yang tebal akan berbeda dengan aplikasi pada daun anggur yang tipis. Dosis yang digunakan untuk aplikasi pada daun jeruk yaitu 5 cc per liter. Dengan adanya bubur generik ini dapat mengurangi aplikasi pestisida sintetsik yang tidak ramah lingkungan. Kemudian endapan dari bubur generik juga dapat digunakan untuk mengendalikan jamur upas pada batang jeruk dan apel dengan cara mengoleskan endapan tersebut pada batang pohon apel dan jeruk. 

Selain itu juga ada yang disebut teknik sabutan batang, caranya yaitu dengan cara mengoleskan langsung pestisida sistemik murni tanpa dicampur air menggunakan kuas yang ukurannya sesuai dengan lebar diameter batang. Ini berfungsi sebagai pestisida sistemik yang mengendalikan hama sasaran namun tetap dapat mempertahankan musuh alami (jenius). Ini sudah mengarah pada apa yang disebut dengan ramah lingkungan. Wah seru banget kita juga dikenalkan dengan biji nimba yang sudah kering dan produk pestisida yang terbuat dari biji nimba. Hemm ekstrak biji nimba ini dapat mengendalikan hama golongan serangga atau berguna sebagai insektisida. Disana kita juga melihat langsung pemeliharaan musuh alami yang ukurannya amat sangat kecil. Intinya Balitjestro ini sudah menerapkan pertanian organik dan ramah lingkungan. Luar biasa ilmu yang sangat bermanfaat, “gamsahamisa”...

***
Oea melihat tempat yang amat sangat indah dan sejuk dipandang mata maka jangan ditanya untuk yang satu ini. Foto dan selfie-selfie itu sudah menjadi sesuatu yang harus dilakukan ketika berada di tempat ini. Dan kita sudah memiliki cara dan kebutuhan masing-masing. Lets take foto anymore.

***
Hari mulai sore, senja akan segera tiba dengan memberikan pemandangan langit jingga yang menawan. Kami menyudahi dulu acara belajarnya dan bergegas menuju bis yang sedari tadi menunggu kami. Dan disana sudah tersedia makan siang yang tertunda akhirnya menjadi makan sore kami. Luar biasa nikmat ya Allah nasi dengan pecel khas jawa timur yang wenak tenan. Dan tahu gak dengar-dengar setelah ini kita akan diajak seneng-seneng setelah seharian belajar.
Kemana? Dan ternyata yang menjadi tujuan kita adalah BNS (Batu Night Spectaculer). Mungkin bisa dikatakan Dufan mini, wah langsung sumringah nih wajah teman-teman semua. Iya, di tempat ini kita diberikan kebebasan oleh panitia untuk menikmati waktu liburan atau bersantai sejenak. Seperti halnya teman-teman semua aku pun tidak ingin melewatkan begitu saja. Sudah jauh-jauh ke Malang kok cuma numpang tidur dan makan aja. “aku harus mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman yang kiranya bermanfaat” begitu gumamku dalam hati sebelum masuk ke pintu utama BNS. 

***
Waktu terasa begitu lama ketika pemberian materi namun begitu cepat berlalu ketika digunakan untuk bersenang-senang, “Astagfirullah”. Malam itu bersama teman-teman tentunya hal yang pertama dilakuakn take foto lagi dan lagi. Oea waktu itu kami juga bersikap so pemberani sehingga memasuki arena rumah hantu padahal nyalinya cetek. Masa sama hantu boneka aja takut (terutama aku sih). Tak mengapa lah yang penting sudah mencoba untuk menguji nyali. Pokoknya seperti itulah kita mencoba-coba hal baru yang tentunya akan meninggalkan kesan mulai dari uji nyali, menantang adrenalin dan memainkan imajinasi. Semuanya dilakukan dengan suka cita, tak lupa aku pun terus bersyukur pada Allah bahwa kebahagian ini datangnya dari Allah SWT. Senantiasa mengingat-Nya itulah wujud syukur kita “Alhamdulillah”. 

***
Teettt.. pada malam itu aku dan teman-teman ternyata merupakan orang-orang yang telah lama membuat mereka menunggu. Yups kita telat menuju bis karena ada sesuatu yang dibeli dan tahu kan kalau cewe (perempuan) belanja sesuatu pasti sangat memperhitungkan harga walaupun hanya berselisih seribu rupiah. Jadi ya muter-muter aja terus sampai mendapatkan apa yang dinginkan, padahal ujung-ujungnya balik lagi ke tempat awal. Alhasil membuat kita terlambat menuju bis, #huft tapi mau bagaimana lagi itulah sisi uniknya perempuan. Dengan mendapatkan sedikit sorakan dariteman-teman kita hanya mampu mesem-mesem. Bis pun melaju melawan angin malam waktu itu tepat pukul 22.00 waktu setempat. 

***
Yups, hari pertama diakhiri dengan bersih-bersih, makan lagi dan tidur dengan suasana yang berbeda dengan biasanya. Bukan suasana kosan yang sepi namun suasana kebersamaan yang merelakan saling berbagi tempat, walau hanya untuk merentangkan tubuh sejenak itu sudah cukup. Akhirnya aku pun terlelap... 

***
Hari kedua, hemm pagi ini lumayan cerah secerah hatiku yang masih diberikan rasa bahagia dan syukur yang tak terkira. Di hari kedua kami di Malang kunjungan kembali kami lakukan. Dengan di dampingi bapak ibu dosen kami menuju Balitkabi (Balai Tenelitian Tanaman Aneka kacang dan Umbi). Setiba disana seperti halnya ketika tiba di Balitjestro, kami mendapatkan penyambutan dan penerimaan yang luar biasa. Mataku kembali terbuka bahwa akan selalu ada peran kita para “Protektor”. Idealis, matrealis atau istilah apapun tetap kita akan selalu berperan untuk pertanian Indonesia. Peluang ilmu, peluang pengalaman dan peluang karir akan terbuka bagi siapa saja yang mau melakukannya. 

Seperti biasa semewah apapun, senyaman apapun tempatnya ketika materi di dalam ruangan diberikan rasa ngantuk itu selalu mendera dan mengalahkan rasa semangatku. Namun aku kemudian menepisnya dengan bergumam pelan “kalau kamu tidur kenapa tidak di kosan saja lebih nikmat”. Aku tersadar dan tiba-tiba semangat itu hadir kembali lebih besar ketika pertama kali aku duduk dibarisan audiens yang tidak lain adalah teman-teman semua. 

Heemmm,, akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga. Kami diajak petugas Balitkabi untuk keliling sekaligus melihat kebun percobaan Balitkabi. Disana sudah tersedia tanaman kacanga-kacangan seperti kacang tanah, kedelai dan lain-lain dengan berbagai varietas unggul hasil pemuliaan dari Balitkabi. Tidak hanya itu berbagai umbi pun bapaknya perkenalkan kepada kami dengan penjelasan yang lugas dan lengkap. 

Untuk pertama kalinya juga aku memetik langsung kedelai biji hitam dan menyentuh beberapa umbi yang sebelumnya aku belum mengetahuinya. Seperti kimpul, sueuk, ganyong, garut, dan lain-lain. Berbagai umbi ini sudah banyak digunakan sebagai tepung yang dapat diolah menjadi aneka makanan enak yang sehat. Karena kebun percobaan ini merupakan wahana visitor, jadi sengaja disediakan untuk diperlihatkan dan diperkenalkan kepada para pengunjung sebagai bahan ilmu dan pengetahuan. Dan tahu gak? berbagai koleksi tanaman yang ada di Balitkabi berasal dari seluruh Indonesia loh. #Luar biasa!!! 

***
Hari semakin terik tak terasa matahari sudah mulai meninggi dan tepat berada di atas. Sebentar lagi adzhan dzuhur segera berkumandang, kami pun memilih untuk mengakhiri petualangan di siang ini. Selesai shalat, santapan makan siang sudah tersedia dan siap mengisi perut yang sudah dari tadi memberikan kode tandanya dia sudah mulai lapar. #Ups.. 

Sambil menikmati makan siang duduk beralaskan rumput hijau yang bersih tepat di bawah pohon beringin. Angin berhembus pelan seakan mengerti kita yang dari tadi sedikit kelelahan dan kepanasan. Kembali lagi bersyukur karena ini terjadi atas kehendak-Nya, siang ini begitu lengkap, suasana yang nyaman, menu yang enak, dan badan yang sehat. “Alhamdulillah”.

Disela-sela makan siang aku “nyeletuk” maksudnya mau nanya, “oea bang abis ini kita mau kemana?” aku menghentikan aktivitas mengunyahku sesaat. Bang Ardi menjawab “Kita mau berkunjung ke pak H. Zaenal Asii”. Jawabnya singkat karena tengah sibuk dengan makan siangnya. 

Oke!! aku sedikit berpikir siapa ya pak Zaenal itu? Yups, pak Zaenal adalah direktur eksekutif sebuah CV. Bhakti Persada Nusantara. Perusahaan beliau berkecimpung dalam pembuatan alat pertanian yang tepat guna, seperti pengering tepat guna, griding biji-bijian, mesin penghancur plastik, perontok padi/jagung berbentu mobil, pemotong padi, dan lain-lain. 

Tidak hanya itu beliau juga mengajarkan pada kami dan aku khususnya bahwa jangan pernah takut selama pertanian masih ada. Karena peluang usaha akan selalu terbuka lebar bagi yang mau menekuni usaha berbasis pertanian (Agribisnis). Maka tidak heran kalau pak Zaenal dapat sesukses sekarang karena beliau hampir memanfaatkan setiap peluang yang ada. Seperti beliau yang suka memelihara burung hal itu tidak hanya berakhir hobby namun dapat menjadi sebuah peluang bisnis yang dapat mengalirkan pundi-pundi rupiah walaupun beliau hanya tidur di rumah. Iya betul apa yang sudah disampaikan oleh pak Zaenal kita harus pandai melihat peluang dan dan mau memulai. [itu kuncinya “jangan takut untuk memulai”]. 

Selain itu kami juga dipertemukan dengan seorang yang berhasil mengelola peternakan sapi perah dan sistem pertanian terpadu, padahal beliau ahli statistik loh #keren. Disini mulai dari penanaman pakan untuk sapi hingga pengolahan limbah dari kotoran sapi. Semua sistem tidak ada yang terbuang bahkan pembiakan cacing pun ada disini. Pertanian terpadu yang beroerintasi kesejahteraan rakyat ini kian melambungkan sayapnya. Semua itu tidak terlepas dari kreatifnya sang pengelola. Maka tak heran jika wahana edukasi untuk anak usia dini sampai para pengusaha ada disini. Sekali lagi “Subhanallah”. Semakin terpampang dan mulai nampak peluang-peluang itu, kuncinya hanya satu “memulai”. Tidak hanya itu kami pun diajak untuk berkeliling arena peternakan sapi sekaligus mendapatkan penjelasan dari bapaknya. Luar biasa jika ingin menghsilkan susu yang berkualitas sapi tidak boleh stres dan asupan nutrisinya harus seimbang. [tuh sapi aja gak boleh stres]. Sehingga pakannya verasal dari hijauan yang ditanam langsung oleh beliau dan konsentrat yang berasal dari dedak gandum. #Good.

Kunjungan kami diakhiri dengan foto bersama pemilik dan pengelola perusahaan tersebut. Setelah sebelumnya berfoto dengan suasana yang tak bisa dilupakan begitu saja. Bagaimana tidak sejauh mata memandang selalu dimanjakan dengan hijaunya tanaman dan warna warni aneka bungan yang kian mempercantik taman tersebut. Ya taman yang menjadi tempat kita meluapkan semuanya, berfoto, bercanda dan ngobrol kesana kemari dengan suka cita.

Hari ini cukup kami pun mengakhirinya sebelum senja menyapa. 

***
Hari ketiga di Malang, hari ini aku kembali mendapatkan kejutan dari panitia. Pabrik gula Krebet yang menjadi tujuan kami pagi ini. Dari kejauhan sudah nampak aktivitas pabrik gula krebet. Asap yang kian tebal mengepul-ngepul keluar dari atas pabrik tersebut. Sebelum memulai petualangan di pabrik gula yang amat sangat besar dan luas ini seperti biasa kami menerima sambutan hangat dari staf pabrik gula Krebet. Namun aku yang pada saat itu duduk di deretan depan tetap saja tidak dapat menghindari rasa ngantuk yang kian mendera. Sehingga berkali-kali aku melenggut-lenggut tandanya aku meninggalkan rasa sadarku untuk sesaat. Aku tidak tahu kalau di arah yang berlawanan denganku ibu dosen memperhatikan aku yang terlihat jelas mengantuk. Namun ibunya hanya tersenyum dan berkata tanpa suara “saya juga ngantuk” dengan sedikit senyuman diakhir ucapannya.
Setelah panjang lebar penjelasan tentang profil dan keunggulan pabrik gula krebet ini, akhirnya kami pun diperbolehkan untuk berkeliling pabrik yang sangat luas ini. Dengan di pandu oleh staf sebelum memasuki kawasan pabrik terlebih dahulu kami harus memaki SOP yang aman yaitu lengkap dengan masker dan pelindung kepala (topi pelindung permanen). Disini aku benar-benar melihat dan memperhatikan dengan detail alat-alat dan komponen yang sangat rumit ini. Dengan terus mendengarkan penjelasan guide sesekali aku merekam dan memotret setiap alat yang aku lewati. 

Sebelumnya aku hanya tahu bahwa gula pasir atau “gendis” (bahasa jawa) itu putih dan manis terbuat dari tebu, sudah cukup tidak pernah terbayang akan melihat proses demi proses pembuatan gula itu seperti apa. Dengan bantuan bapak staf pabrik gula krebet aku dan teman-teman menjadi tahu bagaimana proses pembuatan gula yang berasal dari batangan tebu segar hingga menjadi gula yang sudah dipack dan disimpan di gudang. 

Selain itu menjadi tahu bahwa mesin yang besar rumit dan banyak ini harus dibongkar setiap waktu pendinginan tiba. Pencucian yang amat sangat melelahkan juga harus dilakukan dan itu oleh para pekerjanya. Karena belum ada alat yang dapat digunakan untuk meringankan pekerjaan mereka yang basah kuyup dan kedinginan dalam wadah yang sangat besar. Selain itu aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh para pekerja yang berada disektar mesin dengan suhu mencapai 1000C dan suhu luar mencapai 360C sampai 400C. Aku yang hanya berada beberapa menit saja disana sudah bercucuran air keringat apalagi meraka. Namun kembali lagi itulah totalitas. 

Terima kasih ilmunya, aku semakin menghargai apapun dan dalam bentuk apapun itu. Baik makanan ataupun benda karena proses pengerjaannya bisa saja membuat orang lain tidak dapat tidur dengan nyenyak atau perlu pengorbanan yang luar biasa. Namun sayang kami tidak dikasih buah tangan si manis “gendis” waktu itu [ngarep].
Oea tapi yang membuat aku aneh itu, kok gak ada semut ya di pabrik gula tersebut. Why?

***
Siang itu, seakan-akan panitia tuh tahu apa yang kita butuhkan, setelah berpanas-panasan di dalam pabrik gula kami pun diajak untuk menikmati indahnya pantai. Kali ini pantai yang akan kita kunjungi yaitu pantai “Bale Kambang”. Perjalanan menuju pantai ditempuh menggunakan angkot karena medannya cukup beresiko jika bis kami memaksakan untuk kesana. Jalanan yang sempit, berkelok dan agak naik bukit itu cukup menjadi pertimbangan. 

Setelah melewati perjalanan yang cukup menguji adrenalin, akhirnya tiba juga di pantai. Wlaupun aku sudah sering berkunjung ke pantai namun belum lengkap rasanya kalau tidak ikut menikmati percikan yang berasal dari air laut yang indah. Menikmati ciptaan-Nya yang begitu elok namun penuh rahasia dibalik indahnya pantai. Terkadang aku senang dan terkadang aku sedih jika berhadapan dengan pantai. Entahlah aku tidak ingin berbagi rahasia itu disini. 

Setelah menepis sedikit sisi galauku, aku pun memutuskan untuk menikmati setiap sudut pantai Bale Kambang ini, tentunya dengan mengabadikannya dengan sebuah foto. Dan yang membuat aku menarik ada sesuatu yang beda disini. Dimana selama aku pergi ke pantai baru pantai ini yang menurutku unik. Kenapa? Ya, ada sebuah pura diujung sana, mana? Maksudnya ditengah-tengah pantai ada sebuah karang besar seperti pulau namun terlalu kecil untuk dikatakan sebuah pulau. Nah itu dimanfaatkan menjadi sebuah pura disana, kalau yang pernah aku lihat secara tidak langsung sih kaya di Bali-bali gitu. Namun yang membedakan di Bale Kambang ada jembatan yang mempermudah untuk akses menuju pura tapi tidak untuk di Bali. 

Karena pesona cantik dan indahnya pantai yang ditawarkan Bale Kambang, tak jarang tempat ini dijadikan sebagi tempat shooting atau foto freewed kata orang-orang gaul tea mah (keluar sundanya). 

Aku turut bahagia menyaksikan keceriaan dan kebahagian teman-teman dalam menikmati suasana di pantani ini. Foto, bermain air, bermain pasir dan aktivitas lainnya yang biasa orang-orang lakukan ketika bertemu pantai. #Nice.

Setelah cukup puas menikmati persembahan dari sang pantai kami pun memutuskan untuk melepas lelah dengan menikmati segarnya kelapa muda. Nikmat rasanya dan lengkap sudah kebahagian di hari itu, kembali lagi syukur itu ada “Alhamdulillah”.

Aku merasa cukup dan waktu yang diberikan panitia sebentar lagi habis. Iya aku harus on time untuk kali ini, dimana pukul 16.00 harus sudah di angkot. Yups setelah selesai shalat ashar aku dan teman-teman mencari angkot yang tadi mengantar kita. Dan sebelum senja tiba kita sudah lebih dulu meninggalkan pantai penuh kenangan itu. Sunset yang aku tunggu hanya tinggal harapan, mungkin lain waktu.

Hari ini perjalanan diakhiri dengan pulang ke penginapan dengan diantar bis yang begitu setia. 

***
Setiba di penginpan, dalam benakku setelah selesai mandi dan makan aku ingin memanjakan mataku dulu sebentar. Namun hal itu urung terjadi karena ba’da isya kami ada acara ngobrol hangat bersama tokoh masyarakat dan para petani setempat. Buatku sekecil apapun kesempatan itu sangatlah berharga. Aku kembali teringat kata-kata yang membuatku melek dan kembali semangat. 

Tempat yang terbuka seperti halaman rumah menjadi salah satu pilihan tempat untuk kita bertemu dan mengobrol hangat bersama masyarakat [Berasa KKP lagi euy]. Suasana begitu nyaman dan akrab dengan nuansa kekeluargaan. Para masyarakat sangat antusias menyambut kami. Pada saat itu tidak hanya kami mahasiswa akan tetapi bapak ibu dosen yang sangat kompeten dibidangnya menjadi penguat acara dimalam itu. 

Udara malam yang sedikit menusuk tak aku hiraukan, aku pikir aku pasti bisa menaklukannya karena aku sudah mempersiapkannya. Yups jaket tebal dan balur minyak kayu putih diseluruh badan cukup untuk pertahanan [suka masuk angin soalnya]. Malam itu obrolan kita kian hangat dengan goreng ubi dan teh hangat sebagai pelengkap yang menemani. 

Malam itu kembali aku belajar, oohh ternyata seperti ini cara menghadapai dan berinteraksi dengan para petani yang pemikirannya berbeda tentunya dengan kita. Maklum karena kita berasal dari departemen proteksi tanaman jadi yang menjadi topik pembahasan dalam sharing kita adalah mengenai hama dan penyakit tanaman. 

Sharing semakin hidup dengan antusias petani yang mengutarakan permasalahannya dan ingin mendapatkan solusi yang tepat. Bapak ibu dosen menanggapinya dengan bijak dan berusaha memberikan rekomendasi pengendalian yang tepat sesuai dengan yang diharapkan petani. Tapi itu tadi masalahnya, jika petani ingin cara yang tepat dan “cespleng” [bahasa mana, gak tahu] sedangkan bapak ibu dosen dan saya juga sebagai mahasiswa mengutamakan teknik dan budidaya ramah lingkungan. Jadi sebelum memberikan rekomendasi pengendalian kami perlu tahu dulu sejarah hama atau penyakit yang menjadi masalah di pertanaman petani. Sehingga rekomendasi yang diberikan tepat dan aman. Perlu trik dan pengetahuan yang luas dan baikt entunya #Thats right.

***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, aku yang sudah mulai lelah dan mengantuk. Eh ternyata mata tidak bisa bohong, jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Dan tak lama kemudian acara pun selesai, “alhamdulillah” ucapku lega akhirnya bisa tidur juga. Malam itu ku tatap langit tak ada bintang yang mengerlipkan cahayanya hanya ada satu bulan dengan cahaya redupnya. Aku bersyukur masih bisa menyaksikannya. Selamat malam kuucapkan.

***
Tidak terasa pagi ini sudah hari keempat kami di Malang. Hati ini masih belum rela untuk berpisah suasana yang sudah tercipta beberapa hari ini. Terlebih dengan ibunya mbak Fita yang sudah dengan cinta memasak untuk kami. Selama di sini kami makan tepat waktu sehari tiga kali dengan menu yang enak dan sangat khas jawa timur seperti rawon, tahu campur, baso malang dan makanan khas lainnya. Maklum ya mahasiswa terkadang jarang sekali makan tepat waktu apalagi sampai tiga kali sehari [kalau aku memang iya tiga kali, gak bisa telat soalnya]. 

Namun mau bagaimana lagi, kita harus berpisah dan beranjak meninggalkan kota Malang. Terima kasih kota Malang atas ilmu dan pengalaman yang luar biasa. 

Pagi itu aku dan semua teman-teman sudah siap, kami sudah packing dari semalam dan mandi sepagi mungkin. Karena jam 08.00 kita harus sudah berangkat. Dengan penuh haru kami berpamitan, namun satu yang aku sesalkan karena pada saat itu aku begitu terburu-buru dan tidak melihat ibu, aku tidak sempat berpamitan dengan beliau. Padahal ingin rasanya aku memeluk dan mengucapkan terima kasih atas tempat, suguhan dan pelayanan yang sungguh luar biasa. Maafkan aku ibu semoga dilain waktu dapat berjumpa kembali, terima kasih banyak atas semua kebaikan ibu dan keluarga. #Jazakumullah khairan katsiran [semoga Allah membalas dengan kebaikan].

Bis pun melaju dengan perlahan dan pelan-pelan mulai meninggalkan rumah mbak Fita yang sudah menjadi rumah kami beberapa hari ini. #Sedih.

***
Pulang ke Bogor namun tidak membawa buah tangan rasanya ada sesuatu yang kurang. Sehingga sebelum kami pulang rencananya kami akan pergi ke tempat pusat oleh-oleh khas Malang. Ya, walaupun hanya memebeli satu bungkus kripik apel itu sudah mewakili sebagai oleh-oleh khas Malang, tidak perlu banyak yang penting ada dan berkah. 

Tidak membutuhkan waktu lama kami tiba di salah satu pusat oleh-oleh khas Malang. Kami langsung berhamburan dan menyerbu aneka makanan dan produk lainnya yang menjadi ciri khas Malang. Tentunya disesuaikan dengan ongkos didompet ya bro and sist #ups [itu sih khusus untuk aku tentunya]. 

Setelah cukup puas dengan oleh-oleh yang dibeli kami pun melanjutkan perjalanan menuju wisata petik apel di kebun apel. 

Heemm nice banget nih kayaknya. Iya dong masa udah jauh-jauh ke Malang gak merasakan gimana suasana menikmati buah apel yang langsung kita petik dari tangkainya. 

Luar biasa wisata kebun apel yang kami kunjungi memiliki penawaran yang baik. Wisata petik apel, dimana kita boleh memetik apel dan memakannya sampai puas sambil menikmati pemandangan yang indah. Karena kebun apelnya terletak di lereng yang cukup tinggi menghadap pemandangan yang aku sendiri sulit membayangkannya [indah pokoknya]. Oea jangan lupa bayar tiket dulu sebelum masuk Rp. 20.000/orang kalau tidak salah [maafkan kalau salah]. Iya, perhitungannya kita mampu memakan buah apel sebanyak 1 kg, mungkin? Karena jika kita hendak membeli untuk dibawa sebagai oleh-oleh harga per kilonya Rp. 20.000/kg. Jadi boleh makan sepuasanya hanya dengan Rp. 20.000 saja. #cukup ekonomis.

Hemm tentunya semua orang sudah memiliki caranya masing-masing untuk menikmati liburannya. Membuat kesan baik, mengabadikannya melalui sebuah foto atau yang lainnya itu sudah merupakan sesuatu yang wajib #eh. Begitu pun dengan aku soalnya [ketawa]. Seperti tempat wisata pada umumnya disana juga ada jajanan khas seperti bakso malang atau suopenir seperti baju yang menjadi ciri khas Malang. Beberapa teman-teman ada yang kembali menikmati jajanan bakso Malang dan membeli beberapa potong baju sebagi kenang-kenangan setelah turun dari wisata petik apel. #nice. 

***
Aku masih belum percaya ketika itu aku sudah berada di dalam bis dan siap melaju menuju stasiun kota Malang. Sungguh petualangan yang sangat mengesankan walaupun begitu singkat. Dengan rintik hujan yang kian menyapa turut mengantarkan kami menuju stasiun. Setiba disana kami masih perlu menunggu jadwal keberangkatan kereta tujuan Jakarta. #sabar.

***
Singkat cerita, siang itu hari minggu tanggal 09 Nov 2014 kami tiba di stasiun senen Jakarta. Setelah melalui perjalanan panjang Malang-Jakarta. Perjalanan kami masih belum berhenti disini, masih ada perjalanan selanjutnya untuk menuju tujuan akhir. Yups kota Bogor. Dengan sisa tenaga yang masih ada kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta Comuter Line, dilanjutkan dengan angkot yang sudah disewa untuk menuju kampus. Hal yang sama seperti ketika kami hendak berangkat beberapa hari yang lalu. Berterima kasih banyak kepada para panitia atas kerja kerasnya yang luar biasa. #kalian luar biasa.

Akhirnya tepat pukul 15.30 aku mendarat dengan selamat di kosan yang sudah aku rindukan. #Alhamdulillah sampai. Siap-siap cari tukang pijit [apa coba].

***
Bersyukur, itulah suatu hal yang tak hentinya ku lakukan. Atas kehendak-Nya, atas karunia-Nya dan atas Ridho-Nya acara yang luar biasa dapat terselenggara dengan baik dan lancar. Tanpa ada yang sakit, hilang atau bermasalah lainnya yang sekiranya dapat terjadi ditengah-tengah banyaknya orang yang tinggal bersama-sama dalam beberapa hari. 

Ilmu, pengalaman, kebahagian, kecerian, dan kebersamaan dalam kesederhanaan yang dibalut ketulusan kian melekat dan menyimpan rasa bangga tersendiri dalam diri ini. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak ibu dosen yang telah bersedia mendampingi kami, keluarga mbak Fita yang sudah memfasilitasi, masyarakat yang penuh antusias menerima kami, mas-mas sopir dan kondektur yang setia menemani perjalanan kami, semua pihak dan staf balai atau pun tempat yang sudah kami kunjungi terima kaih atas ilmu dan pengalamannya, teman-teman panitia yang sangat luar biasa keren, dan sahabat serta semua teman-teman yang sudah ikut meramaikan acara ini. #Tanpa kalian tidak ada kita.
Semoga acara ini bukan hanya sekedar menumpang eksis, mengugurkan kewajiban atau mencari kebahagiaan. Karena semua akan terangkum indah ketika syukur itu sudah melekat dalam hati. Jadikan acara ini sebagai perantara kita sebagai wakil dari teman-teman kita yang tidak dapat ikut karena belum mendapatkan kesempatan turut merasakan apa yang kita rasakan. Dengan kebersamaan kita menjadi lebih akrab, menjadi lebih tahu karakter teman-teman kita dan mendapatkan ilmu dan pengalaman yang lebih tentunya [itu bonus]. 

Hemm rasanya hanya inilah rangkuman perjalanan kami yang dapat aku tulis. Melalui tulisan yang jauh dari sempurna ini [belepotan] aku hanya ingin sekedar berbagi dan mengabadikannya. Karena ucapan boleh salah, pendengaran boleh lupa, dan penglihatan bisa berbeda. Namun tulisan bukti nyata yang abadi. 

Tulisan sederhana ini, semoga menjadi pengingat bagi yang lupa dan menjadi oleh-oleh terbaik bagi teman-teman yang belum bisa ikut.
Terima kasih banyak mohon maaf bila banyak kekurangan, itu semua datangnya dari saya pribadi...



Aku rindu Malang di Bogor, 23 November 2014_TSA_

Sabtu, 22 November 2014

“Hijabku Pilihanku”

“Hijabku Pilihanku”


“Kring kring kring” bunyi nada alarm  yang berasal dari Hpku. Dengan kondisi setengah sadar dan kaget karena bunyi alarm tersebut tanganku bergerak meraba-raba ke arah hp. Sekejap hp sudah ditangan, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 05.00. Aku pun beranjak dari tempat tidur bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan menunaikan shalat shubuh. Selesai shalat aku bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Setengah jam kemudian aku sudah rapi dengan celana jeans berwarna biru andalanku yang dipadukan dengan kaos putih dibalut dengan jaket jeans, kali ini aku memakai kerudung berwarna pink tua. Sederhana, simpel dan membuat aku nyaman.

“mom, mamah heeee” teriakku dari kamar menuju dapur sambil menjinjing tas kebanggaanku. “iya sayang, ayoo sarapan dulu” pinta mamah dengan lembut. “gak ah mah, Cha berangkat aja ya uda ditungguin Aldi” ucapku manja sambil mengambil dua potong roti kemudian memasukannya ke dalam tempat makan. “yaudah kalau gitu tambahin lagi rotinya” mamah mengambil tempat makan dari tanganku dan memasukan dua potong roti lagi. Aku hanya mengangkat bahuku kemudian kuteguk segelas susu hangat buatan mamah yang sudah dari tadi ada di meja makan. “oke mah, Cha berangkat ya. Assalamualaikum” aku kemudian mencium tangan mamah dan mengambil tempat makan berisi roti dan meleos ke luar rumah.

Setiba di depan rumah Aldi sudah setia menungguku dengan sepeda motor vespa tua warisan dari papahnya. “sorry ya Di lama, biasa mamah rempong” aku menghampiri Aldi dan langsung ambil posisi duduk di jok belakang. Aldi tersenyum manis “oke princess ini pake dulu helmnya” Aldi memberikan helm padaku.

Seperti biasa pagi itu aku dan Aldi akan memulai petualangan kami, dengan malu-malu aku meletakkan tanganku dipinggang Aldi dan kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Aldi hanya tersenyum kecil. Lelaki yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya itu sungguh sangat menawan ketika melontarkan senyuman. Bukan tampan tapi hitam manis biasa ku menyebutnya. 

Pagi itu, dalam perjalanan ke kampus.. vespa unik milik Aldi melaju dengan kecepan sedang karena aku tidak suka ngebut. Aku melepaskan tanganku dari pinggangnya Aldi. Ku rentangkan kedua tanganku seakan pasrah menerima belaikan angin yang menyentuh lembut tubuhku. Sesekali aku menghirup udara yang masih segar di kota Bandung ini.. Aldi hanya mengeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah konyolku. 

Sesaat suasana menjadi sunyi diantara kita, hanya deruan suara motor vespa Aldi yang sudah mulai tua, sesekali ditimpali oleh suara kendaraan lain diseberang jalan sana. Dengan suara yang samar-samar terdengar aku berteriak. “Aldi my prince marry me haaaa” teriakku melawan kencangnya angin ditengah perjalanan. Aldi menoleh kebelakang dengan tatapan penuh kasih sayang. “yes I do” katanya diiringi senyuman manisnya. Kita tertawa bersama. Aneh rasanya, bukankah harusnya seorang laki-laki yang melamar perempuan. Namun mengapa aku begitu “pede” dengan celoteh yang berhasil mengocok perut kami, aku dan Aldi.

Begitulah kedekatan dan keakraban dinatara kita bagaikan tak ada ruang yang memisahkan. Bercanda bersama, tertawa dengan kegilaan-kegilaan yang tak ada hentinya. Bahkan ketika kita beradu argumen atau hanya sekedar ngobrol biasa seakan tak ada habisnya topik yang kita bahas. Dekat, nyaman dan menentramkan jiwa. 

**
Tidak terasa angin sudah berbaik hati, dia tak lagi menahan suaraku dan mengizinkan aku bersahabat dengannya. Kami tiba di kampus. Aldi melaju dengan kecepatan tinggi setelah melakukan tugasnya mengantarkan aku ke kampus.


***
Setiba di kampusnya, seperti biasa setelah memarkir vespa antiknya Aldi bergegas ke kelas. Lelaki berperakawakan tinggi dengan kulit sawo matang itu adalah mahasiswa semester 3 jurusan Arsitektur di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tepat sekali dia memilih jurusan tersebut karena dia memiliki bakat seni yang luar biasa. Dia mahir memainkan senar gitar dengan jari-jemarinya yang lentik dan kian lincah. Dia juga jago nyanyi walau tak sekeren Afgan. Dan dia juga pantas mendapatkan pujian atas kreativitasnya dalam dunia lukis. Maka tak heran aku sering terkagum-kagum ketika tiba-tiba dia membuatkan aku sebuah lagu kemudian menyanyikannya dihadapanku. Hati ini tidak dapat menahan rasa haru dan bahagia, tak terasa butiran halus menitik dipojok mata kiriku ketika suara lembutnya melantunkan syair cinta. 

Itulah dia pemilik nama lengkap Aldi Putra Gumilar yang berhasil mengisi ruang hatiku, lain halnya denganku yang baru mau menjajaki dunia sosial yang dari kecil tak pernah terbayangkan dibenakku. Aku keterima di Universitas Islam Negeri (UIN) jurusan ilmu sosial dan Humaniora. Aku yang dari SMP dan SMA memiliki basic eksak harus berhadapan dengan yang berbau sosial. Sungguh bagaikan masuk ke dalam lubang buaya. Namun itu hanya perasaan diawal saja, ketika aku mulai memasukinya, mengenali dan menikmatinya akupun menemukan passionku. Dimana aku merasa senang dan bahagia ketika berhubungan dengan pelajaran yang pertamanya aku benci. 

Aku menemukan duniaku disini, seakan aku enggan melewatkan bahkan walau hanya satu moment. Yang ingin aku lakukan adalah berbagi dan berbagi. Sekarang aku memulai keterlibatanku di dunia kampus. Aku tergabung di wadahnya orang-orang yang mau menuangkan idenya untuk sesama terlebih bangsa ini, “Komunitas penulis kampus” biasa anak-anak menyebutnya. Iya, aku berbagung didalamnya. Menyenangkan dan penuh kehangatan itulah suasana yang selalu dihadirkan sahabat-sahabat komunitas penulis kampus. 

**
Setelah berpisah di depan kampus dengan Aldi yang mengantarku, aku kembali menelusuri koridor kampus. Jam sudah menunjukan pukul 07.10 namun suasana masih belum terlalu ramai untuk ukuran kampus ini. Aku berjalan dengan suara sepatu yang sedikit diseret, tas yang sedikit berbau cowok pun selalu setia kugendong dipunggungku. Aku berjalan sendirian menyusuri koridor kampus yang masih terlihat lengang hanya ada petugas kebersihan yang tengah menyapu dan beberapa mahasiswa yang lewat, sesekali aku menyapanya. 

Dari kejauhan aku menajamkan pandanganku ke depan, terlihat segerombolan cowok urakan “preman kampus” begitu julukan untuk meraka. Aku mulai resah melihat tatapan mereka yang bagaikan lelaki hidung belang yang siap menerkam. Konon katanya teman-teman perempuan kelasku ada beberapa yang pernah diganggu mereka. Aku pura-pura tidak takut, ku ambil headset dari tas lalu ku hubungkan dengan hp dan kupasang ditelingaku. Dengan sikap cuek aku melenggang dengan aman. 

Siapa yang tidak mengenal aku di kampus ini, “si kritis” begitulah panggilanku ditengah-tengah kumpulan mahasiswa UIN Bandung. Melalui tulisanku aku mengkritik, memberi saran dan gagasan untuk pihak kampus dan pemerintah. Aku ingin ada keterlibatan tangan dan pikiran mahasiswa disetiap lembaga dan pemerintahan yang berkecimpung dalam urusan rakyat. Ada suatu panggilan jiwa disana maka tak heran jika selalu ada yang aku soroti disetiap langkah politik baik di kampus ataupun di pemerintahan Indonesia. 

Gerombolan yang kebanyakan menjadi momok buat anak-anak lain tak menunjukan kenyaliannya. Meraka hanya menyapaku dengan melambaikan tangannya sambil berkata dengan gaya khasnya yang sedikit “alay” “selamat pagi princess kritis” setelah itu mereka pergi berlawanan arah denganku. Aku hanya tertawa kecil, itu adalah ekspresiku ketika tak lagi mampu menahan kelucuan yang menggelitikiku. 

Aku memasuki kelas dengan headset masih terpasang di telingaku, tanganku masih menutupi mulutku dengan bibir tipis yang ketika senyum keindahannya bagaikan mawar yang pertama kali mekar ditangkainya. Tanpa sadar pintu kelas sudah aku buka, dipojok kanan kelas sudah ada Noor dengan kerudung merahnya yang memberikan nuansa terang di dalam kelas, spontan melambai-lambaikan tangannya dan sesekali mengngguk. Isyarat dia menyuruhku duduk di sampingnya. Aku berjalan menuju kursi dimana Noor si lincah sahabatku itu duduk. Kelas sudah mulai ramai aku tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun suasana menjadi sangat gaduh karena sumber suara hampir dari setiap penghuni kelas. Sibuk dengan dunia masing-masing, maklum dosen belum datang.

Aku duduk tepat disamping Noor. Dia langsung meraih tanganku dan menatapku seakan ingin mengintrogasiku. Dengan tatapan penuh penasaran dia mengungkapkan rasa penasarannya. “Cha kamu diapain tadi sama “ayam kampus” eh “preman kampus” maksud aku”. Noor tersenyum “meseum”. Dia memang seperti itu lincah tapi seperti Soimah lumayan buat selingan penat yang sewaktu-waktu mendera. Aku melepaskan genggaman tangannya yang menurutku sedikit “alay”. “gak diapa-apain kok, Cuma disapa aja” tukasku singkat lalu kutumpukan tangan di dagu, tatapanku kosong melihat papan layar di depan kelas. Sedikit ku berpikir darimana Noor tahu kalau tadi aku bertemu dengan preman kampus. Entahlah.. 

Pembicaraan kita terpotong karena dosen sudah datang dan proses belajar pun dimulai. 

**
Waktu belajar di kelas terkadang membuatku merasa bosan. Teknik mengajar dengan cara ceramah hanya bisa aku ikutin 20 menit pertama, selanjutnya aku merasa kesulitan untuk mendapatkan sisi fokusku. 

**
Jam matakuliah selesai.. Noor dan teman-teman yang lain langsung berhamburan. Tujuan meraka berbeda-beda, ada yang pergi ke kantin, mushola, sekret atau sibuk mengurusi rapatnya karena acara sudah di depan mata. Hanya aku yang belum beranjak dari tempat duduk karena aku menolak ajakan Noor untuk pergi ke perpus.

**
Taman depan lab komputer yang berbentuk segitiga karena diapit oleh beberapa bangunan lain menjadi pilihanku. Terdapat tempat duduk yang nyaman dan sejuk karena tepat dibawah pohon ketapang yang rindang. Aku duduk dengan posisi kaki disilangkan dan tanganku tidak lepas dari Novel karangan favoritku Tere Liye. Beberapa kali aku hempaskan nafasku yang panjang seakan aku telah melakukan balap lari maraton. Tenang dan damai tanpa gangguan Soimah yang biasanya mengocok perutku.

Dalam proses aku menarik nafas panjang terlintas dalam benakku sosok Aldi membayangi suasana santaiku pagi itu. Aku mengingatnya dan memikirkannya. Iya betul, aku dan Aldi sudah dua tahun pacaran, kita memulai hubungan itu sewaktu masih duduk di bangku SMA. Entah mengapa aku dan Aldi seakan memiliki ideologi yang sama dan kesukaan yang sama. Dan itulah yang membuat aku merasa nyaman bersamanya. 

Aku yang masih minim pengetahuan agama tak begitu mengkhawatirkan hubungan kita. Karena selama kami hubungan kami masih berada dalam batas kewajaran. Karena aku hanya mengijinkan Aldi dan aku berpegangan tangan saja. Tidak kontak fisik yang lainnya yang bersifat berlebihan. Karena itu sudah menjadi prinsip aku.

Aku masih fokus memikirkan kekasih hati, tiba-tiba terkagetkan dengan datangnya seorang wanita cantik dengan dibalut pakaian muslimah berwarna biru yang menutup rapat tubuhnya, kerudung panjangya yang sengaja dia julurkan menutupi dada dan bahunya menambah kecantikannya. Wanita itu sebaya dengan aku mungkin dia satu angkatan denganku atau kaka tingkatku. Akau hanya menebak-nebak dengan wajah penuh rasa penasaran. Bagaimana tidak aku yang berpenampilan celana jeans ”beulel” dengan baju yang masih belum rapi dihampiri wanita dari surga. Aku tercengang dan masih bergeming. 

Tiba-tiba suara lembut itu membuyarkan rasa penasaranku. “Assalamualaikum, punten ka” suaranya sangat menyejukan. Dia duduk di sampingku dengan anggun. Aku tersenyum kemudian memperbaiki posisi dudukku menjadi lebih anggun. “waalaikumsalam, iya silahkan” jawabku sambil menatap lekat wajahnya. “hemm apakah betul kaka dengan ka Rasya Indica Sumardi?” dia mulai membuka percakapan diantara kita. “iya betul saya Rasya biasa dipanggil Cha, ngomong-ngomong ada apa ya?” Jawabku sambil balik nanya. “saya Ainun ka anak bahasa inggris semester 3” dia memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Aku mengangguk kemudian meraih dan menjabat tangannya dengan penuh semangat seperti gaya aku berjabat tangan. “oh, kalau begitu jangan panggil saya kaka, panggil saja saya Cha soalnya saya juga baru semester 3” jelasku mengajak dia agar sesantai mungkin.

Iya aku Rasya Indica Sumardi pemilik nama lengkap dari Cha biasa dipanggil. Karakter yang supel, pemilik hidung yang mancung dan mata yang agak sipit, kulit yang putih, tinggi yang semampai dan pemilik senyum yang indah namun aku sendiri tak menyadarinya. Itu hanya kata-kata orang yang biasa komentar di blog pribadi aku ketika aku ngepost tulisanku.

**
Angin berhembus menembus sela-sela bangunan dan pohon-pohon kecil di depan gedung kuliah akhirnya sampai ditelingaku dan berbisik pelan. Suasana sejuk seakan mengiringi pembicaraan aku dengan Ainun. Dia adalah mahasiswa dari jurusan bahasa inggris yang mewakili LDFnya untuk menjadi anggota di komunitas penulis kampus. Tapi dia fokus dibidang dakwah dan keislaman lainnya. Aku menerima idenya dan mengiyakan akan mengurus kenggotaannya segera. Walaupun aku baru semester 3 tapi di dalam komunitas ini aku berperan penting, jadi tidak masalah. 

**
Seakan bertemu dengan sumber air ditengah padang pasir. Aku yang haus akan ilmu agama namun masih kurang pendorong kini seakan menemukan oase kehidupan yang nyata. Entah mengapa aku semakin tertarik dengan dunia mereka LDF (Lembaga Dakwah Fakultas). 

***
Sepekan, sebulan sudah Ainun berada diantara kami. Terlebih Ainun sudah menjadi bagian dalam keseharianku sekarang. Aku yang mudah akrab kian dekat dengannya. Begitu banyak ilmu tentang keislaman yang aku dapatkan darinya. Tulisan Ainun yang bertemakan dakwah islam selalu dimuat diharian kampus. “Dia juga berbakat” sanjungku pada Ainun.

***
Suatu malam aku tidak bisa tidur mataku tetap terjaga, sebentar tertutup tapi langsung mengerjap seakan ada yang memaksaku untuk bangun. Aku masih teringat kata-kata Ainun siang itu di kampus. Ceritanya masih terngiang ditelingaku. Bahkan yang anehnya setelah mendengarkan cerita Ainun, saing itu aku tidak pulang bareng Aldi. Aku beralasan ada kumpul dadakan kumunitas penulis kampus yang tidak bisa ditinggalkan, ketika Aldi menelponku. Padahal aku hanya merenung sambil mendengarkan musik dari hapeku. Sore itu aku pulang naik bis. Aku duduk di pinggir sendirian, kusandarkan kepalaku di jendela bis yang berembun. Walaupun terlihat tidak jelas aku masih dapat merasakan syahdunya ketika jutaan rintik air turun membasahi bumi yang telah lama merindukannya. Iya, sore itu Bandung Hujan.

Mungkin jika sore itu aku pulang bersama Aldi, teriakan aku akan menyapa hujan yang selalu memberikan nuansa romantis. Terlebih kita akan melewati sore dengan menikmati senja dengan jingganya yang elok. Suguhan bakso kang Armin pun semakin membuat suasana hujan menjadi semakin romantis. Seperti hari-hari yang telah lalu selama aku bersama Aldi. Namun tidak untuk sore itu.

**
Tak terasa subuh telah menyapaku dengan bulatan jingga yang memerah siap muncul dan meninggi di langit biru-Nya. Entah mengapa aku begitu khusu dalam doa pagiku. Sampai-sampai ada butiran sejuk perlahan menetes membasahi pipi lembutku. Bagaikan secercah cahaya telah datang menghampiriku. Aku tidak begitu tahu perasaan apa yang tengah bergejolak dalam relung terdalamku. Mungkin Ainun telah menjadi perantara-Nya untuk menuntunku menuju cahaya-Nya.

**
Pagi itu, kicauan burung milik ayah seakan menikmati suasana baru, sang mentari terlihat iri karena merasa tersaingi dengan warna yang lebih cerah darinya. Tak terasa sudah satu bulan aku memutuskan untuk merubah penampilanku. Aku sudah mengikhlaskan celana jeans kesayanganku, baju-baju modis yang selama ini menjadi pelindungku sekaligus mempercantik penampilanku. Kini aku punya style yang datang dari surga. Semenjak pertemuan ku dengan Ainun, aku semakin tertarik tentang islam dan aku semakin penasaran dengan ungkapan dan cerita-cerita Ainun tentang muslimah. 

Betapa Allah dan islam begitu mengagungkan wanita muslim yang shaleha. Islam memerintahkan kita dengan penuh kelembutan untuk menutup aurat yang sempurna. Tidak memperlihatkan lekuk tubuh apalagi transparan. Karena itu tidak sesuai dengan firman-Nya. Sedangkan gaya berpakaian aku selama ini alakadarnya bahkan hampir mirip cara berpakaian laki-laki, terlebih aku dan Aldi pacaran. Ya Allah betapa bertumpuknya dosaku, betapa aku tidak mematuhi ajaran-Mu. Namun aku yakin Allah maha pengampun bagi hamba-Nya yang mau berhijrah menuju jalan-Nya. Aku terus merungi dan selalu menangis haru ketika bersimpuh dihadapan-Nya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menurunkan jilbabku dan menggunakan pakaian yang lazimnya dipakai wanita yaitu rok dengan baju yang agak longgar. Tetap simpel, aman dan nyaman. 

Entah perasaan apa ini, namun aku seakan telah menemukan cahaya yang selama ini aku cari. Iya, iman itu semakin mantap menyertaiku. Namun bukan perubahan jika tanpa rintangan. Dalam proses hijrahku menuju cahaya-Nya aku dihadapkan dengan berbagai ujian, berupa penolakan dan protes keras dari orang tua, sahabat dan teman-teman terdekatku. Terlebih jika Aldi tahu, dia pasti akan heran dan kaget dibuatnya. 

Iya, semenjak keputusanku menggunakan jilbab syar’i dan lebih mendekatkan diri pada-Nya. Aku belum pernah bertemu dengan Aldi apalagi memberikan penjelasan padanya. Selama satu bulan ini aku selalu beralasan apapun itu asal tidak bertemu dengannya. Tapi alasannku memang benar adanya bukan sekedar mengada-ada. Beberapa pekan ini aku, Ainun dan teman-teman komunitas penulis kampus tengah disibukan dengan proses penerbitan buku perdana kami yang berjudul “Aku bersama-Nya”. 

***
Aku juga cukup mengerti ketika sore itu pulang dari rumah Ainun. Tepat di depan pintu rumah aku mengucapkan salam “assalamualaikum” mamah terperanjak dari posisi duduknya dan menghampiriku dengan wajah dipenuhi rasa kaget. Mamah memegang bahuku kemudian membolak-balikan badanku melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Cha, kamukah ini? Anak mamah?” suara mamah memberat. “iya mah, ini Cha anak mamah dan papah satu-satunya.” 

Aku memeluk mamah. Sesaat kemudian mamah melepaskan pelukanku dan menatapku lekat. “kenapa seperti ini sayang? Siapa yang memberi kamu baju ini? Mana anak mamah yang cantik? Yang ada dihadapan mamah kok seperti ibu-ibu beranak dua.” Mamah seakan merasa terpukul dengan perubahanku yang tanpa memberitahu mamah sebelumnya. Karena waktu itu aku diberikan baju sama Ainun ketika mengerjakan deadline buku di rumahnya.
Aku tidak menjawab pertanyaan mamah yang cukup banyak itu. Aku hanya meraih tangan lembut mamah dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Wanita yang sudah tidak muda lagi namun tetap terlihat segar dengan balutan daster bunga-bunganya tak lepas dari pandanganku. Aku duduk disebelah mamah, menghadap mamah dan terus menatapnya sambil ku gemgam tangannya. Mamah membalas tatapanku. Setelah mereda baru ku jelaskan semua yang telah terjadi padaku sampai aku mau merubah penampilanku 180 derajat. 

“Mah ini Cha anak mamah yang cantik, yang sangat menyanyangi mamah dan papah. Tapi Cha juga sayang sama ALLAH dan Rasulullah. Cha gak mau menghianati-Nya, Cha gak mau membantah perintah-Nya. Cha lebih suka seperti ini mah, lebih anggun dan sopan.” Dengan suara lembut sedikit bergetar aku mencoba menjelaskan pada mamah. Namun mamah hanya terdiam dengan bibirnya yang terkatup seakan tak ingin mengeluarkan suranya walau sebentar. 

Aku kembali memeluk mamah, karena aku yakin dengan kelembutan dan nurani mamah pasti mengerti. “Mah, maafin Cha kalau Cha menyakiti hati mamah, sungguh tidak ada niatan dalam hati ini.” Aku mulai terisak dalam pelukan mamah. “Izinkan Cha untuk lebih dekat dengan-Nya tanpa mengurangi bakti Cha sama mamah dan papah.” Aku terus berucap dengan air mata yang perlahan meleleh. Mamah mengelus-ngelus punggungku yang dibalut dengan kerudung panjang berwarna hijau tosca. “Mamah hanya khawatir dan ketakutan sayang, mamah takut kamu terhipnotis atau mengikuti aliran-aliran yang tidak kita ketahui. Mamah takut kehilangan anak mamah satu-satunya.” Mamah lebih terisak daripada aku. “Baiklah mamah mengerti jika itu adalah yang terbaik buat Cha. Mamah setuju sayang.” Mendengar pernyataan setuju mamah aku tak mampu membendung persaan haru campur bahagia ini. Aku memeluk mamah lebih erat dan menuangkan dengan tangisan haru.

Aku mengerti jika mamah memiliki pikiran sepeprti itu, sungguh sesuatu hal yang wajar. Karena keluarga kami tidak memiliki latarbelakang keluarga ustad atau tokoh agama yang mengerti lebih dalam tentang agama. Aku bahagia telah mendapatkan lampu hijau dari mamah terlebih papah. Karena papah selalu menuruti apapun yang baik untuk putrinya.

**
Malam kian menyapa aku dan mamah sudah berada di kamar tempat peraduan dan melepas penat kita seharian. Terima kasih ya Allah Engkau telah memudahkan aku menuju cahaya-Mu. Akupun terlelap.

**
Pagi itu hari pertamaku dengan jiwa dan penampilan baru. Berbagai protes dan pertanyaan yang tak henti-hentinya menyapaku sepanjang aku berada di kampus. Mulai dari pertanyaan teman-teman hingga dosen yang dekat denganku.
“Cha ini kamu, yakin?”
“Cha kamu abis minum obat apa semalam?”
“Subhanallah Cha lu ngigo ya?”
“Cha kok tiba-tiba kamu jadi pake rok gitu sih”
Dan serentetan pertanyaan dan ungkapan protes lainnya. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan ucapan dari bibir indah itu “Insya Allah hanya karena Allah”.
Perlahan tapi pasti semua dapat diatasi dan merekapun kian mengerti setelah tiga pekan aku melawati masa-masa adaptasiku yang cukup menguras air mata dan ujian kesabaran. Sekarang aku sudah terbiasa dengan aku yang seperti ini dan merekapun menerimanya.

***
Sore itu, aku menatap pada kejauhan, hanya riak-riak air di lautan luas yang sesekali terhempaskan oleh ombak yang tiba-tiba datang menerjang. Aku duduk diantara bebatuan di pinggir dermaga. Angin, deburan ombak seakan menjadi pengobat penat di hati dan pikiran. Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Kembali ku memuji-Nya, “subhanallah, pantainya indah sekali.” Ucapku dengan nada pelan. Sesekali ku melihat jam tangan yang kupakai di lengan kiriku. Seakan pertanda bahwa aku tengah menunggu seseorang. Iya, disini aku akan bertemu dengan Aldi setelah dua bulan tak bersua apalagi bertatap muka. Mungkin dia sudah sangat merindukanku. 

Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan pikiranku. Spontan aku menoleh ke belakang, terlihat Aldi sudah dekat dari pandanganku. Aku beranjak dari dudukku, ku hampiri dia dan ku sapa dengan salam. “Asslamualaikum, Di” sambil menangkupkan kedua tanganku dan meletakkannya di depan dada. “Waalaikumsalam.” Aldi terheran-heran sambil mengambil kembali tangannya yang sempat dia sodorkan pertanda mengajak salaman. 
“Di, makasih sudah datang kesini, sebelumnya Cha minta maaf.” Aku mulai membuka pembicaraan, suasana menjadi kikuk dan sunyi. Walaupun di pinggir dermaga banyak orang dengan kepentingannya masing-masing, namun suasana diantara kami hening tak ada suara. Aku masih tertunduk dan Aldi membuang tatapannya ke arah pantai. 

“Maafin Cha, selama ini gak ngabarin. Cha bingung mau memulai dari mana?” dengan suara bergetar aku memberanikan diri untuk mengungkapkan semuanya. Aldi masih tak bergeming. “Cha memutuskan untuk berhijab dan mendekatkan diri pada Allah. Jadi Cha mohon hargai keputusan Cha. Dan sepertinya Cha tidak bisa melanjutkan hubungan kita seperti dulu lagi, karena itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah.” Aku terus bercerita seakan tak memperdulikan siapa yang ada dihadapanku. Dia adalah laki-laki yang selama dua tahun bersamaku, mengisi hari-hariku dengan penuh canda, tawa dan bahagia. Namun mengapa tiba-tiba aku datang untuk mengakhiri mimpi indahnya. Aku terus berdoa dalam hati semoga Aldi bisa menerima dan tidak marah padaku. Sungguh aku sangat egois.

Aldi menatapku dengan tatapan marah. “Cha denger yah, maksud Cha apa coba dengan mudahnya bilang putus. Cha uda lupa dengan janji kita bahwa kita akan terus bersama apapun yang terjadi,Cha lupa?” nada bicara Aldi sedikit membentak sehingga aku tiba-tiba merasa takut dan memejamkan mataku dalam tundukku. “Inget ya Cha, dakwah itu gak harus langsung seperti ini, perlahan Cha. Dan gak boleh main putusin orang gitu aja dong”. Aldi kembali bicara dan sesekali membuang pandangannya ke arah pantai sambil meletakkan tangannya di pinggang, giginya menggigit bibir bawahnya. Laki-laki berperawakan tinggi ini mulai terlihat karakter aslinya ketika dia marah. 

Aku menarik nafas dan mengumpulkan kekuatanku. “Ya Allah beginikah rasanya, sakit yang harus hamba terima?” gumamku dalam hati. “Di sebelumnya Cha mohon maaf, tapi jika kita terus bersama itu hanya akan membuat kita terjatuh kelubang kenistaan.” Aldi terdiam. “Banyak pasangan di dunia yang hidup bahagia berdampingan, tapi mereka saling bermusuhan ketika di akhirat. Karena meraka mengawalinya dengan sesuatu yang salah yaitu pacaran, perbuatan yang dibenci dan dilarang Allah.” Bagaikan penceramah aku terus meluncurkan kata-kata yang sekiranya membuat Aldi mengerti. Namun pikiran Aldi tak sesederhana yang aku bayangkan. Aldi hanya diam tak menjawab. 

“Cha yakin ini adalah yang terbaik untuk kita Di, Cha mohon kamu mengerti.” Aku memohon dan tak terasa pipi putihku telah basah oleh air mata. Tiba-tiba Dia kembali menatapku lekat dan berkata dengan nada agak tinggi. “Terus mau kamu apa? Kita putus? oke, mulai sekrang kita putus lakukan apa yang menurut kamu benar dan baik buat kamu.” Kalimat terakhir yang aku dengar dari Aldi yang kemudian dia meleos pergi dengan motor vespanya yang diparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aldi meninggalkanku tanpa ucapan selamat tinggal, semakin jauh dan bayangnnya hilang dari tatapanku yang dihalangi air mata yang turun sangat deras. Iya, aku menangis dalam sendiri dan sepiku. Aku tidak mengerti mengapa harus seperti ini. Namun aku yakin ini adalah keputusan yang terbaik untuk aku dan Aldi.

**
Apapun alasannya pacaran itu memang tidak diperbolehkan oleh Allah. Walau tidak pernah bertemu, hanya pegangan tangan saja atau apapun sebutannya tetap saja zina itu akan selalu menyertainya. Walaupun pacaran tidak berakhir zina namun pacaran akan selalu mendekatkannya. Sedangkan Allah telah berfirman “Jangan kalian mendekati zina”.

**
Senja kembali menyapa dengan jingganya, angin membelai dengan lembut, deburan ombak sesekali mengagetkanku yang masih berdiri di depan dermaga. Perlahan ku usap air mata yang meleleh di pipi. Udara sejuk pantai tak hentinya ku hirup dengan penuh kesyukuran. “Ya Allah, aku pasti kuat dengan semua ini. Aku pasti dengan cepat dapat melupakan dia.” Bisikku sambil mengepalkan kedua tanganku.

Kemudian ku ambil HP dari saku rokku.

 Aku hanya ingin lebih dekat dengan-Nya, karena hanya dengan mengingat-Nya hati ini menjadi tenang. Jika Allah mentakdirkan kita untuk bersama, insya allah kita akan bertemu lagi di waktu yang tepat. Pun jika kita tidak untuk bersama maka yakinlah Allah pasti telah menyiapkan yang terbaik untuk kita, Aamiin.”

 
“klik” bunyi keypad hpku, barusan aku mengirim sms pada Aldi sebagai ucapan selamat tinggal. Kemudian kulangkahkan kakiku menuju motor matic kesayanganku yang terparkir tepat disampingku. Dan aku melaju dengan tenang dengan ditemani suasana senja yang sebentar lagi tergantikan indahnya malam penuh dengan bintang.

Aku percaya dengan berprinsip pada islam maka kita akan selamat. Aku telah memilih hijabku sebagai prinsip dan merelakan sang pangeran impian. 

Setelah mengenal islam dengan baik, buatku pasangan hidup yang baik adalah bukan dia yang jago memainkan gitar dan bersura merdu ketika bernyanyi. Namun dialah yang berprinsip pada islam yang senantiasa menuntun kita menuju surga-Nya. Tidak hanya hidup bahagia di dunia tapi di surga-Nya karena semuanya dilakukan ikhlas karena-Nya dengan cara yang benar dan halal dihadapan-Nya. Begitulah, dengan bangga aku berteriak melawan angin senja “Hijabku pilihanku.” Kemudian gas motorpun ditanjap hingga 60 Km/jam, itu adalah pertama kalinya aku ngebut.

**
Wahai sahabat, perkara jodoh, takdir dan maut sudah tergariskan oleh Allah SWT dan itu tidak dapat ditawar. Tetap percaya bahwa wanita baik untuk laki-laki baik, laki-laki baik untuk wanita baik. Dan begitu sebaliknya. Tugas kita adalah berusaha menjadi lebih baik, mendekatkan diri pada-Nya dan memantaskan diri dihadapan-Nya. Karena menikah itu mungkin tapi mati itu pasti. 

Dan bukan Allah yang memberikan kita sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi karena kita yang tidak mengupayakannya. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri.”


Salam cinta dari Dramaga kota Hujan, 18 Nov 2014_TSA_