Kamis, 11 Desember 2014

Ketika Hendak Menyerah


Ketika Hendak Menyerah


Terdengar sayup-sayup dari luar ruangan suara percakapan antara dua orang yang pembicaraannya sangat serius. Ya, itu adalah sauara percakapan aku dengan dosen pembimbingku. Aku yang berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir memang sedang dituntut untuk disiplin karena sudah dikejar target. Namun aku yang masih suka menunda terjebak dalam satu kata yaitu “malas” yang akhirnya mengantarkanku pada penundaan selanjutnya. Tentu ini adalah salahku, namun haruskah berakhir dengan sebuah peringatan yang menyakitkan?. Ya, itulah hak dosen kepada mahasiswa yang tidak kompeten sepertiku. 

“Selama itu dapat kamu lakukan sekarang, mengapa harus ditunda nanti?. Silahkan pulang dan segera kerjakan”.

Percakapan aku dan dosen pembimbing berakhir disitu. Percakapan yang terjadi di dalam suatu ruangan kecil namun tertata dengan rapi sehingga memberikan suasana nyaman. Aku keluar dari ruangan tersebut dengan muka tertunduk seperti anak kecil yang kehilangan uang jajannya. Kecewa dan tak bersemangat itulah yang aku rasakan pada saat itu. 

Aku berjalan dengan tatapan mengarah pada lantai lesu tak bersemangat, seperti itulah gambaran keadaanku pada saat itu. Sekejap aku menghentikan langkahku disebuah lorong di fakultasku. Kulihat susana sepi tak ada seorangpun yang biasa lewat di lorong ini. Aku duduk dengan tangan menutupi mulutku menahan tangis. Iya, aku ingin menangis bahkan rasanya aku ingin mengangis dipelukan mamah. Mungkinkah? 

Aku merogoh saku dan kuambil HP, aku menulusuri riwayat panggilan dan mataku tertuju pada tulisan “My Mom” kusentuh dengan tangan sesaat kemudian terdengar suara lembut di seberang sana tanpa menunggu lama. “Hallo, assalamualaikum, neng*.” Sapa mamah penuh kelembutan. Aku hanya mengigit bibirku dan menahan tangisku sekuat yang aku bisa. Karena sejujurnya aku tidak ingin mamah tahu apa yang sekarang tengah aku hadapi. Penelitian yang tertunda, peringatan dari dosen yang menyayat hati. Ah, itu hal biasa yang seharusnya bisa aku atasi sendiri. Setelah berpikir panjang dan rumit aku kembali teringat mamah yang mengunggu jawabanku.

Dengan suara serak aku memberanikan diri bicara pada mamah. “Waalaikumsalam mah.” Jawabku pelan. “Kenapa, ada apa, sudah pulang kuliahnya, sudah makan?” serentetan pertanyaan yang biasa mamah lontarkan ketika aku menelpon beliau. Aku menimpalinya dengan nada rendah tanpa semangat. “Sudah mah, cuma kalau makan belum.” “Loh kenapa belum?” bal bla bla ibu nyerocos seperti biasa. Aku hanya mengiyakannya agar beliau menghentikan omelannya yang sebetulnya untuk kebaikanku juga. Aku mulai bicara serius “Mah neng capek, lelah mah.” Aku sudah tak tahan lagi membendung buliran bening itu dan aku membiarkannya jatuh, tumpah serta merta dengan kesedihan yang dari tadi kutahan.
Di seberang sana mamah kebingungan dan untuk mencegah mamah menanyakan lebih lanjut aku buru-buru pamit dan menutup telpon. “Udah dulu ya mah, neng mau makan dulu.” Ucapku dengan suara yang sedikit ditahan dan mamah menutup percakapan kita ditelpon dengan untaian doa terbaiknya untuk aku anak tercintanya. 

Jujur tidak perlu waktu lama untuk aku meluapkan rasa kecewa dan sedihku. Cukup dengan menangis ketika aku menginginkannya. Aku masih terkesan kanak-kanak bukan? Itulah aku pemilik nama lengkap Firda Ayu Fathiya (bukan nama sebenarnya) 21 tahun. Mungkin beberapa teman sebayaku diusia segitu sudah ada yang bisa membahagiakan orang tuanya, menjadi isteri yang baik bagi suaminya, menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya dan menjadi kebanggaan seluruh pihak kampus dengan segudang prestasi yang diraihnya. Sedangkan aku, diusia yang harusnya sudah menjadi orang yang cukup dewasa, berwawasan luas dan mampu mengendalikan diri. Itu semua tidak ada pada diriku, aku yang masih menengadahkan tangan pada mamah dan papah, aku yang masih nangis ketika mendapat sedikit tekanan, aku yang manja dan haus perhatian dan tidak jarang ceplas-ceplos ketika bicara sehingga membuat beberapa teman merasa tersakiti karenanya. Mengapa?

Aku tidak mengerti mengapa demikian, mungkin karena lingkungan keluarga, sahabat dan teman-teman yang mendukung karakterku? Mamah yang sayang sama aku tidak mengizinkan aku untuk sekedar mengajar les privat yang menurutku tidak begitu capek dan bisa membantu pemasukanku. Dengan alasan takut aku kecapean dan keteteran mamah tetap tidak mengizinkanku terlebih waktu mengajarnya malam hari. Akhirnya aku harus berhadapan dengan kaka kelas dan memasang muka meyakinkan kalau aku disuruh fokus sama mamah. Huft. 

Papah yang ketika memberikan uang saku tidak pernah menuntut apa-apa hanya satu pintanya, yaitu aku makan sehat dan tetap sehat. Ketika aku melontarkan kalimat seperti ini apa tanggapan papah. “Pah, jatah bulan ini neng bagi dua sama mamah yah, mau belajar hemat.” Kataku manja. Seperti biasa papah menolak. “Jangan itu buat neng aja kan lagi banyak keperluan.” Yang pada akhirnya membuatku merasa aman. 

Begitu pun sahabat-sahabat yang selalu mensuport, mereka setuju ketika aku menceritakan bahwa aku berhenti dari organisasi. Karena mereka tahu seperti apa kemampuan fisikku. “Jangan terlalu memaksakan Fir, percuma kamu berorganisasi tapi sakit-sakitan, kuliah terbengkalai.” “Kalau kamu belum bisa memanaje diri kamu sendiri jangan deh coba-coba itu cuma akan menambah dosa karena tidak amanah.” Dan serentetan komentar lainnya yang silih berganti melintas ditelingaku.

Mungkin, bisa jadi itu juga salah satu faktor pembentuk karakterku. Tapi aku tetap bangga jadi diri sendiri bagaimanapun aku sangat menghargai diriku yang sekarang. Berharap suatu saat bisa lebih dewasa.
***
Malam itu aku kembali menangis memecah kesunyian kamar yang berukuran 3 x 2.5 m itu. Aku menangis dengan pikiran penuh kebingungan. Apa yang harus aku lakukan untuk menunjukan kepada dosen bahwa aku tidak main-main, namun aku sangat bersungguh-sungguh. Metode penelitian sudah jelas namun bahan-bahannya aku gak tahu harus mencari kemana dalam waktu yang singkat. Selain itu aku juga masih punya kewajiban yang harus aku tuntaskan sebelum demisioner (lengser) dari sebuah organisasi yang cukup memberikan perubahan positif padaku walaupun tidak banyak. 

Disela-sela tangisanku, aku memutar otak dan berharap menemukan jalan keluarnya. Akhirnya hujan yang dari tadi mengiringi tangisanku berhenti seakan pertanda agar aku menghentikan tangisanku. Aku meraih HP dan kembali menelpon malaikat penolongku. Mamah.

Di dalam sebuah percakapan melalui telpon, aku menjelaskan pada mamah apa yang harus mamah lakukan untuk anaknya. Yuph! mencarikan dan mempersiapkan semua bahan penelitian yang sekiranya ada disekitar rumah atau kampung. Sikap pengecut itu muncul lagi. Namun hanya ini yang membuat aku lega dan segera bangkit dan mengusap air mataku setelah ibu di seberang sana mengiyakan permintaanku.

Aku yang tidak bisa pulang karena ada kegiatan organisasi yang mungkin akan menjadi kegiatan terkhirku di organisasi yang cukup banyak mengajarkanku apa itu kebersamaan dan ukhuah. Aku terpaksa meminta mamah yang mengantarkan bahan itu ke tempat yang sudah 3.5 tahun ini menjadi perantauanku. Hal ini terjadi karena bis yang biasa menjadi media penghubung kami tidak beroperasi lagi. Padahal seandainya saja bis itu masih ada, mamah tidak akan repot-repot melewati perjalanan yang cukup melelahkan. Karena perjalanan dari rumah kesini memerlukan waktu seharian. 

Namun aku cepat-cepat menepis kata-kata “seandainya” tersebut dengan kata antusias. “Semoga Allah membalaskan surga untuk mamah.” Ucap ku pelan kemudian beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka yang sembab dengan air wudhu. Aku kemudian menunaikan shalat isya dan tidur cepat dengan maksud bisa bangun malam dan bermunajat padaNya. Aku ingin mencurahkan kegundahan dan ketidakberdayaanku ini. Iya, hanya padaNya.
***
Sore itu hampir menjelang maghrib, ditemani rintik air hujan yang makin lama kian lebat mamah menyusuri jalan kampung di bagian selatan Kota Banten. Dengan tangan kiri memegang payung dan tangan kanan memegang bahu pertanda mamah kedinginan, mamah terus berjalan. Ketika sampai di sebuah pemakaman di pinggir jalan yang menghubungkan dengan kampung sebelah, ekspresi mamah berubah. Tiba-tiba mamah tersenyum lebar seakan beliau menemukan apa yang beliau cari. Yuph! Mamah menemukan satu pohon buah berenuk ( buah maja) yang akan menjadi salah satu bahan penelitianku. Pohon ini sekarang sudah mulai langka padahal untuk ukuran daerah kampung seperti rumahku seharusnya masih banyak tanaman ini. 

Mamah masih belum bisa mengambil buah tersebut yang merupakan milik umum bukan tanaman berpemilik. Walauppun begitu mamah tetap meminta izin pada pemilik rumah yang dekat dengan lokasi. Mamah sedang berpikir bagaimana cara mengambilnya, namun belum lama mamah berpikir tetangga lewat dengan mengendarai sepeda motor dan berhenti tepat di depan mamah yang sedang berdiri kebingungan. Pertolongan itu datangnya dari Allah, tetangga itu membantu mamah untuk mengambil buah berenuk tersebut dan mengantar mamah pulang. Alhamdulillah. 

Sungguh kasih sayang mamah tak terbatas, tak lekang oleh waktu dan tak terhalang jarak yang memisahkan. Itu nyata. Perjuangannya tak mungkin sanggup kuhitung dan tak mungkin terbalasakan. Betul, bagai sang surya menyinari dunia. Itulah mamah.

Mungkin banyak orang yang bertanya mengapa harus mamah yang melakukan itu. Kemana sosok papah yang seharusnya menjaga dan melakukan itu untuk anaknya. Yuph! Itu tidak salah, sah-sah saja jika ingin menanyakan hal tersebut. Namun aku juga tahu disana (dibaca luar negeri) papah tengah merasakan kerinduan yang tak terkira. Telebih jika mendengar bahwa isteri dan anak-anaknya melalui berbagai macam ujian dan hari-hari yang sulit. Namun bukankah papah berada disana juga untuk kebaikan aku, mamah dan adik-adik. Untuk kelangsungan studi aku dan kesejahteraan hidup kami. Syukur dan sabar selalu menjadi pengobat hati kami. 

Ketika aku teringat akan hal itu, akan apa yang terjadi pada keluargaku terlebih kepahitan hidup yang harus ditanggung mamah dan papah. Maka aku tidak pantas menangis karena digertak dosen [itu kesalahanku] dan tak pantas untuk mengeluh dan mengeluarkan kata-kata capek, lelah, bosan, sedih, dan kecewa. Bukankah mamah dan papah jauh lebih merasakan capek, lelah dan bosan hidup selama beberapa tahun berpisah dan memendam rasa rindu yang menggebu. Mereka rela mengorbankan segalanya hanya untuk aku dan cita-citaku. Lantas mengapa aku tidak bisa lebih sabar untuk terus berjuang demi cita-cita itu. Haruskah aku mengeluh? Tidak!
***
Jumat sore, Bogor masih hujan. Aku sedang sibuk merapihkan kamarku karena mamah akan datang menjengukku dengan membawa semua yang beberapa hari lalu aku minta lewat telpon. Masih dalam keadaan memikirkan mamah tiba-tiba...

“Assalamualaikum” suara khas mamah mengucapkan salam dibalik pintu kamar kostku. Aku langsung membuka pindu dengan cepat dan menjawab salam mamah “waalaikumsalam” sosok tegar itu sudah menjelma di hadapanku. Tak memperdulikan apapun aku langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangisku pun tumpah di sore itu. 

Iya, aku merindukannya. Aku sangat rindu mamah dan sangat merasa menyesal sudah segede ini tapi masih suka merepotkan mamah. 

Sore itu ditutup dengan obrolan hangat ibu dan anak.
***
Ketika kita merasa capek dan lelah sehingga ingin rasanya menyerah, maka ingatlah mamah dan papah yang dengan penuh harap menanti kesuksesan kita. Lawan rasa malas itu dengan bersungguh-sungguh berniat karena Allah. Dan untuk senyuman mereka. Mamah dan papah.
Benar apa yang dikatakan dosenku bahwa jangan pernah menunda sesuatu yang dapat dikerjakan sekarang. Aku merasa menyesal sudah menyia-nyiakan waktu yang telah berlalu dengan mudahnya. Sudahlah. 

Mungkin betul juga seperti apa yang diucapkan teman-teman, bahwa menunda satu hari skripsi sama dengan menunda pernikahan. Semangat. 

Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah melewatkan seharipun tanpa menanyakan kabar mamah dan memohon doa restu darinya. Karena mungkin kerja keras kita hanya bernilai 1% sedangkan 99% adalah doa dan ridho mamah. “Sesungguhnya ridho Allah adalah ridho ibu.”
Aku lebih bersemangat menjalankan tugas akhir dan ingin segera bertemu papah. Karena beliau sudah berjanji akan pulang ketika aku diwisuda. Semoga ya Rabb. Aku selalu menanti hari itu akan tiba. Melepas rindu yang kian menggebu. Papah.
***
Sesungguhnya manusia tidak akan merasa cukup dengan apa yang diperolehnya pada saat ini. Hanya syukur yang mencukupkan segalanya. Dan Allah yang memberi segalanya. Kunci dari semua kehidupan ini adalah sabar dan syukur.
***

Bersama sejuknya senja yang tak kunjung menjingga di Bogor, 10 Desember 2014_TSA_

Minggu, 23 November 2014

Ini Ceritaku Sewaktu di Malang [Migratoria 2014]



Ini Ceritaku Sewaktu di Malang [Migratoria 2014]



Aku tidak pernah terpikirkan bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa Timur setelah dulu sempat berpetualang juga di tanah Jawa Tengah, Yogyakarta. Yups, kota Malang yang konon sangat terkenal dengan penghasil apel malang. Aku tidak menyangka akan secepat ini, aku membayangkannya nanti bersama sahabat atau suami #eh. Beberapa waktu lalu aku sempat mengurungkan niat untuk ikut kegiatan tahunan di jurusanku ini. Sampai-sampai terlontar celoteh seperti ini dari salah satu panitia yang dulu sempat mengajak aku untuk bergabung dikepanitiaan. “Tik, jadi juga ikut ke Malang? Katanya gak mau, katanya gak ikut?” ledek dia dengan nada bicara yang khas, yup logak sumatera. “Iya nih bang, nyesel banget aku kalau beneran gak ikut.” Jawabku sambil tertawa kecil.

***
Aku mulai bercerita, ketika itu hari selasa tanggal 4 November 2014 pukul 04.30. setelah selesai shalat shubuh, aku masih terlihat santai padahal pagi itu aku sudah harus siap-siap untuk berangkat ke Malang bersama rombongan teman-teman. Namun aku masih sempat membaca buku yang membuat aku penasaran dengan judulnya “Jangan jatuh cinta tapi bangun cinta.” Sesuatu banget judul bukunya maklum udah “gede” dan tuntutan untuk mempersiapkan juga “apa coba?.” Namun baru selesai satu halaman ku membaca buku tersebut, aku langsung tersadar kalau aku belum packing. Heemm, hal ini terjadi karena tadi malam aku sangat kelelahan sepulang dari komplek Yasmin tempat mengajar. Ya hanya sekedar menggantikan kaka kelas sih cuma lumayan pengalaman yang tak terlupakan. 

Akhirnya akupun dengan spontan menutup buku tersebut dan meletakkannya di tempat semula dia berasal (dibaca) rak buku. Aku langsung mengambil tas daypack punya teman (pinjam) dan segera mengeluarkan baju-baju dari lemari sekiranya yang aku butuhkan untuk lima hari di Malang. “Tring” hanya dalam waktu 40 menit packing selesai. Setelah itu aku langsung mandi, rapih-rapih dan siap berangkat deh.
Pada waktu itu jumlah keseluruhan yang ikut “Migratoria” (nama acaranya) sekitar 100 orang dari tiga angkatan Departemen Proteksi Tanaman. Transportasi menuju kota Malang dari Bogor ditempuh dengan menggunakan kereta api. Pokoknya satu gerbong kereta api sudah bagaikan milik kami. #Ups.. 

***
Hari pertama di Malang, tepatnya tanggal 5 Nov pukul 07.00 waktu setempat kami tiba di stasium kota Malang. Dengan muka yang agak sedikit lusuh karena selama 18 jam lebih kami berada di kereta. Namun tidak menurunkan semangat anak muda yang luar biasa tangguh. Kenapa begitu? Bagaimana tidak? Ditengah-tengah kerumunan banyak orang dengan gayanya masing-masing meraka pada selfie (take foto sendiri). Tidak perduli dengan tas dan barang bawaan yang besar dan berat.

Jujur walaupun tas aku berukuran kecil namun cukup membuat aku merasa sakit di bahu dan punggung. Rasanya ingin segera menemukan sandaran hati, eh maksudnya sandaran untuk melepas lelah (dibaca bis). Dan akhirnya bis yang akan menjadi sarana tour kami pun tiba, tanpa menunggu lama aku dan teman-teman pun langsung menuju bis. “Alhamdulillah akhirnya duduk dengan nyaman juga” bisikku dalam hati sambil melontarkan senyum pada sahabat yang duduk disampingku. 

Perjalananan dari stasiun menuju rumah yang akan kami tempati nanti (dibaca rumah mbak Fita) lumayan cukup jauh dan memerlukan waktu satu setengah jam.
Setibanya di rumah mbak Fita, aku dan teman-teman semua berduyun-duyun menuju pintu masuk, disana sudah terlihat ibu dan sudara-saudara mbak Fita sudah menunggu kami. Dengan penuh hormat dan sopan santun kami memperkenalkan diri sambil mencium tangan beliau sekalian memohon izin juga akan sangat merepotkan meraka selama empat hari kedepan.  Walau begitu tidak sedikitpun terlihat dari paras mereka rasa capek atau khawatir setelah melihat rumah mereka diserbu dengan sekian orang mahasiswa. 

Hari itu seakan aku tidak melewati perjalanan panjang di dalam kerata. Banyak sekali keceriaan yang terjadi dan terlewati selama perjalanan di kereta. Teriakan ketika kalah bermain “uno” suara gitar yang berlawanan dengan bisingnya roda yang bergesekan dengan rel dan tawa yang tak hentinya mewarnai perjalanan malam itu. Badan pegal karena tidur dalam posisi duduk tidak sedikitpun aku gubris. 

Pagi itu hidangan makanan sudah siap, aku sudah tidak sabar untuk segera menyantap menu makanan khas Malang. Tentunya aku sudah mandi dongs walaupun harus mengantri berjam-jam tapi itulah nikmatnya kebersamaan. 

Disela-sela ngantri aku berusaha akrab dengan keluarga mbak Fita dan membantu apa sekiranya yang dapat aku bantu (bukan carmuk loh ya [cari muka]). Namun aku hanya ingin meninggalkan kesan yang baik karena itulah bentuk ungkapan terima kasihku atas kebaikan beliau. Mereka telah menerima kami, direpotkan dan aku tidak dapat membayangkan kelelahan mereka mempersiapkan makanan untuk kami. Ibunya mbak Fita selalu menanyakan padaku “bagaimana mbak makanannya enak?” dengan nada khas jawa yang agak sedikit “medok” ibu bertanya. Aku selalu menjawab dengan senyuman lalu berkata “duh bu, wenak tenan, mantap deh enak enak bu”. Jawabku sambil mengacungkan ibu jariku dengan bangga. Aku senang melihat senyum itu seakan meluluhkan rasa capek yang sebenarnya sedikit mendera ibu yang sudah tidak muda lagi (paruh baya).

Sekali lagi aku akan menyesal jika tidak ikut, makanannya enak sekali terima kasih ibu sudah memasak dengan penuh cinta. Sehingga akupun merasakan cinta itu dalam sepiring sajian yang memberikan nuansa enak dilidah dan diperut tentunya. #Ups.. 

Heemm, sudah Tika jangan makanan mulu yang dipikirkan karena hari ini kita akan banyak belajar tentang tanaman jeruk dan subtropika, tentunya belajar juga yang berhubungan dengan jurusan kita Proteksi Tanaman (Hama dan Penyakit Tanaman). 

Akan kemana kita? “Balitjestro” Yups betul hari ini kami berkunjung ke Balitjestro (Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Subtropika), disini tidak hanya jeruk yang yang menjadi fokus akan tetapi tanaman subtropika lainnya seperti apel, stroberi, anggur, klengkeng dan lain-lain. Disinilah pentingnya kuliah lapang atau turun lapang. Dengan adanya kegiatan Mogratoria ini mahasiswa semakin terbuka wawasannya bahwa peran proteksi tanaman itu sangat penting bagi pertanian Indonesia. Salah satunya di Balitjestro ini, di balai ini sudah banyak inovasi yang dihasilkan oleh para peneliti baik secara budidaya, pemuliaan dan perlindungan tanaman. Aku pribadi tentunya banyak belajar selama beberapa jam kita berada di Balitjestro. 

Disana bukan hanya penjelasan di aula oleh perwalikan kepala badan Balitjestro saja. Akan tetapi kami pun berbaur dan melihat langsung pertanaman buah apel di kota Batu ini. Tidak hanya itu pertanaman jeruk yang cukup luas juga turut memanjakan mata kami, namun sayang jeruknya tidak dapat dipetik dan dinikmati karena sudah tidak dapat dipanen lagi, pun kalau dipanen rasa jeruknya sudah tidak enak lagi. Menurutut penjelasan petugas sih begitu. 

Dengan didampingi petugas dari Balitjestro dan beberapa dosen sambil mengelilingi kawasan pertanaman apel kami kami pun disuguhkan pengetahuan baru. Oea para bapak ibu dosen tiba di Balitjestro siang itu dengan perjalanan menggunakan pesawat. #nice.
Hemmm aku jadi tahu mengapa pohon apel kalau dalam proses pembuahan digunduli daunnya (dirontokan maksudnya). Nah itu yang disebut dengan perompesan, dimana hal ini dilakukan untuk memicu pembuahan yang maksimal. Ya kalau mau menghasilkan buah yang banyak dan berkualitas ya harus dirompes, begitu sederhananya. 

Tahu gak karena pohon apel yang ada di kebun Balitjestro hasil cangkok jadi setelah delapan bulan sudah mulai berbuah. Menurut bapak petugas yang menjadi guide kami menyatakan bahwa panen bisa saja dua kali dalam satu tahun namun kasian pohonya karena pohon akan merana. Bagaimana tidak? baru selesai panen harus langsung dilakukan perompesan lagi. Jadi alangkah lebih baiknya setelah panen pohon apel dibiarkan dulu dan diberikan pupuk kandang untuk pemulihan. Karena jika perawatan yang baik pohon apel dapat bertahan hingga 20 tahun.

 Selain itu juga kami menjumpai langsung hama yang menyerang tanaman apel dan langsung mendapatkan penjelasannya. Nah disana juga kami dikenalkan dengan bubur generik yang terbuat dari kapur dan belerang. Dengan komposisi dua bagian kapur, satu bagian belerang dan sepuluh bagian air volume. Pembuatannya gampang aja, yaitu dengan cara masak air sampai mendidih kemudian masukan kapur tunggu hingga larut selanjutnya masukan belerang dan tunggu sampai larut. Setelah itu diamkan semalam karena bubur generik baru dapat diaplikasikan setelah dingin. 

Bubur generik ini dapat digunakan sebagai pestisida baik insektisida maupun fungisida. Yang digunakan yaitu cairannya yang sudah menegndap. Dosisnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, maksudnya dosis untuk aplikasi pada daun jeruk yang tebal akan berbeda dengan aplikasi pada daun anggur yang tipis. Dosis yang digunakan untuk aplikasi pada daun jeruk yaitu 5 cc per liter. Dengan adanya bubur generik ini dapat mengurangi aplikasi pestisida sintetsik yang tidak ramah lingkungan. Kemudian endapan dari bubur generik juga dapat digunakan untuk mengendalikan jamur upas pada batang jeruk dan apel dengan cara mengoleskan endapan tersebut pada batang pohon apel dan jeruk. 

Selain itu juga ada yang disebut teknik sabutan batang, caranya yaitu dengan cara mengoleskan langsung pestisida sistemik murni tanpa dicampur air menggunakan kuas yang ukurannya sesuai dengan lebar diameter batang. Ini berfungsi sebagai pestisida sistemik yang mengendalikan hama sasaran namun tetap dapat mempertahankan musuh alami (jenius). Ini sudah mengarah pada apa yang disebut dengan ramah lingkungan. Wah seru banget kita juga dikenalkan dengan biji nimba yang sudah kering dan produk pestisida yang terbuat dari biji nimba. Hemm ekstrak biji nimba ini dapat mengendalikan hama golongan serangga atau berguna sebagai insektisida. Disana kita juga melihat langsung pemeliharaan musuh alami yang ukurannya amat sangat kecil. Intinya Balitjestro ini sudah menerapkan pertanian organik dan ramah lingkungan. Luar biasa ilmu yang sangat bermanfaat, “gamsahamisa”...

***
Oea melihat tempat yang amat sangat indah dan sejuk dipandang mata maka jangan ditanya untuk yang satu ini. Foto dan selfie-selfie itu sudah menjadi sesuatu yang harus dilakukan ketika berada di tempat ini. Dan kita sudah memiliki cara dan kebutuhan masing-masing. Lets take foto anymore.

***
Hari mulai sore, senja akan segera tiba dengan memberikan pemandangan langit jingga yang menawan. Kami menyudahi dulu acara belajarnya dan bergegas menuju bis yang sedari tadi menunggu kami. Dan disana sudah tersedia makan siang yang tertunda akhirnya menjadi makan sore kami. Luar biasa nikmat ya Allah nasi dengan pecel khas jawa timur yang wenak tenan. Dan tahu gak dengar-dengar setelah ini kita akan diajak seneng-seneng setelah seharian belajar.
Kemana? Dan ternyata yang menjadi tujuan kita adalah BNS (Batu Night Spectaculer). Mungkin bisa dikatakan Dufan mini, wah langsung sumringah nih wajah teman-teman semua. Iya, di tempat ini kita diberikan kebebasan oleh panitia untuk menikmati waktu liburan atau bersantai sejenak. Seperti halnya teman-teman semua aku pun tidak ingin melewatkan begitu saja. Sudah jauh-jauh ke Malang kok cuma numpang tidur dan makan aja. “aku harus mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman yang kiranya bermanfaat” begitu gumamku dalam hati sebelum masuk ke pintu utama BNS. 

***
Waktu terasa begitu lama ketika pemberian materi namun begitu cepat berlalu ketika digunakan untuk bersenang-senang, “Astagfirullah”. Malam itu bersama teman-teman tentunya hal yang pertama dilakuakn take foto lagi dan lagi. Oea waktu itu kami juga bersikap so pemberani sehingga memasuki arena rumah hantu padahal nyalinya cetek. Masa sama hantu boneka aja takut (terutama aku sih). Tak mengapa lah yang penting sudah mencoba untuk menguji nyali. Pokoknya seperti itulah kita mencoba-coba hal baru yang tentunya akan meninggalkan kesan mulai dari uji nyali, menantang adrenalin dan memainkan imajinasi. Semuanya dilakukan dengan suka cita, tak lupa aku pun terus bersyukur pada Allah bahwa kebahagian ini datangnya dari Allah SWT. Senantiasa mengingat-Nya itulah wujud syukur kita “Alhamdulillah”. 

***
Teettt.. pada malam itu aku dan teman-teman ternyata merupakan orang-orang yang telah lama membuat mereka menunggu. Yups kita telat menuju bis karena ada sesuatu yang dibeli dan tahu kan kalau cewe (perempuan) belanja sesuatu pasti sangat memperhitungkan harga walaupun hanya berselisih seribu rupiah. Jadi ya muter-muter aja terus sampai mendapatkan apa yang dinginkan, padahal ujung-ujungnya balik lagi ke tempat awal. Alhasil membuat kita terlambat menuju bis, #huft tapi mau bagaimana lagi itulah sisi uniknya perempuan. Dengan mendapatkan sedikit sorakan dariteman-teman kita hanya mampu mesem-mesem. Bis pun melaju melawan angin malam waktu itu tepat pukul 22.00 waktu setempat. 

***
Yups, hari pertama diakhiri dengan bersih-bersih, makan lagi dan tidur dengan suasana yang berbeda dengan biasanya. Bukan suasana kosan yang sepi namun suasana kebersamaan yang merelakan saling berbagi tempat, walau hanya untuk merentangkan tubuh sejenak itu sudah cukup. Akhirnya aku pun terlelap... 

***
Hari kedua, hemm pagi ini lumayan cerah secerah hatiku yang masih diberikan rasa bahagia dan syukur yang tak terkira. Di hari kedua kami di Malang kunjungan kembali kami lakukan. Dengan di dampingi bapak ibu dosen kami menuju Balitkabi (Balai Tenelitian Tanaman Aneka kacang dan Umbi). Setiba disana seperti halnya ketika tiba di Balitjestro, kami mendapatkan penyambutan dan penerimaan yang luar biasa. Mataku kembali terbuka bahwa akan selalu ada peran kita para “Protektor”. Idealis, matrealis atau istilah apapun tetap kita akan selalu berperan untuk pertanian Indonesia. Peluang ilmu, peluang pengalaman dan peluang karir akan terbuka bagi siapa saja yang mau melakukannya. 

Seperti biasa semewah apapun, senyaman apapun tempatnya ketika materi di dalam ruangan diberikan rasa ngantuk itu selalu mendera dan mengalahkan rasa semangatku. Namun aku kemudian menepisnya dengan bergumam pelan “kalau kamu tidur kenapa tidak di kosan saja lebih nikmat”. Aku tersadar dan tiba-tiba semangat itu hadir kembali lebih besar ketika pertama kali aku duduk dibarisan audiens yang tidak lain adalah teman-teman semua. 

Heemmm,, akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga. Kami diajak petugas Balitkabi untuk keliling sekaligus melihat kebun percobaan Balitkabi. Disana sudah tersedia tanaman kacanga-kacangan seperti kacang tanah, kedelai dan lain-lain dengan berbagai varietas unggul hasil pemuliaan dari Balitkabi. Tidak hanya itu berbagai umbi pun bapaknya perkenalkan kepada kami dengan penjelasan yang lugas dan lengkap. 

Untuk pertama kalinya juga aku memetik langsung kedelai biji hitam dan menyentuh beberapa umbi yang sebelumnya aku belum mengetahuinya. Seperti kimpul, sueuk, ganyong, garut, dan lain-lain. Berbagai umbi ini sudah banyak digunakan sebagai tepung yang dapat diolah menjadi aneka makanan enak yang sehat. Karena kebun percobaan ini merupakan wahana visitor, jadi sengaja disediakan untuk diperlihatkan dan diperkenalkan kepada para pengunjung sebagai bahan ilmu dan pengetahuan. Dan tahu gak? berbagai koleksi tanaman yang ada di Balitkabi berasal dari seluruh Indonesia loh. #Luar biasa!!! 

***
Hari semakin terik tak terasa matahari sudah mulai meninggi dan tepat berada di atas. Sebentar lagi adzhan dzuhur segera berkumandang, kami pun memilih untuk mengakhiri petualangan di siang ini. Selesai shalat, santapan makan siang sudah tersedia dan siap mengisi perut yang sudah dari tadi memberikan kode tandanya dia sudah mulai lapar. #Ups.. 

Sambil menikmati makan siang duduk beralaskan rumput hijau yang bersih tepat di bawah pohon beringin. Angin berhembus pelan seakan mengerti kita yang dari tadi sedikit kelelahan dan kepanasan. Kembali lagi bersyukur karena ini terjadi atas kehendak-Nya, siang ini begitu lengkap, suasana yang nyaman, menu yang enak, dan badan yang sehat. “Alhamdulillah”.

Disela-sela makan siang aku “nyeletuk” maksudnya mau nanya, “oea bang abis ini kita mau kemana?” aku menghentikan aktivitas mengunyahku sesaat. Bang Ardi menjawab “Kita mau berkunjung ke pak H. Zaenal Asii”. Jawabnya singkat karena tengah sibuk dengan makan siangnya. 

Oke!! aku sedikit berpikir siapa ya pak Zaenal itu? Yups, pak Zaenal adalah direktur eksekutif sebuah CV. Bhakti Persada Nusantara. Perusahaan beliau berkecimpung dalam pembuatan alat pertanian yang tepat guna, seperti pengering tepat guna, griding biji-bijian, mesin penghancur plastik, perontok padi/jagung berbentu mobil, pemotong padi, dan lain-lain. 

Tidak hanya itu beliau juga mengajarkan pada kami dan aku khususnya bahwa jangan pernah takut selama pertanian masih ada. Karena peluang usaha akan selalu terbuka lebar bagi yang mau menekuni usaha berbasis pertanian (Agribisnis). Maka tidak heran kalau pak Zaenal dapat sesukses sekarang karena beliau hampir memanfaatkan setiap peluang yang ada. Seperti beliau yang suka memelihara burung hal itu tidak hanya berakhir hobby namun dapat menjadi sebuah peluang bisnis yang dapat mengalirkan pundi-pundi rupiah walaupun beliau hanya tidur di rumah. Iya betul apa yang sudah disampaikan oleh pak Zaenal kita harus pandai melihat peluang dan dan mau memulai. [itu kuncinya “jangan takut untuk memulai”]. 

Selain itu kami juga dipertemukan dengan seorang yang berhasil mengelola peternakan sapi perah dan sistem pertanian terpadu, padahal beliau ahli statistik loh #keren. Disini mulai dari penanaman pakan untuk sapi hingga pengolahan limbah dari kotoran sapi. Semua sistem tidak ada yang terbuang bahkan pembiakan cacing pun ada disini. Pertanian terpadu yang beroerintasi kesejahteraan rakyat ini kian melambungkan sayapnya. Semua itu tidak terlepas dari kreatifnya sang pengelola. Maka tak heran jika wahana edukasi untuk anak usia dini sampai para pengusaha ada disini. Sekali lagi “Subhanallah”. Semakin terpampang dan mulai nampak peluang-peluang itu, kuncinya hanya satu “memulai”. Tidak hanya itu kami pun diajak untuk berkeliling arena peternakan sapi sekaligus mendapatkan penjelasan dari bapaknya. Luar biasa jika ingin menghsilkan susu yang berkualitas sapi tidak boleh stres dan asupan nutrisinya harus seimbang. [tuh sapi aja gak boleh stres]. Sehingga pakannya verasal dari hijauan yang ditanam langsung oleh beliau dan konsentrat yang berasal dari dedak gandum. #Good.

Kunjungan kami diakhiri dengan foto bersama pemilik dan pengelola perusahaan tersebut. Setelah sebelumnya berfoto dengan suasana yang tak bisa dilupakan begitu saja. Bagaimana tidak sejauh mata memandang selalu dimanjakan dengan hijaunya tanaman dan warna warni aneka bungan yang kian mempercantik taman tersebut. Ya taman yang menjadi tempat kita meluapkan semuanya, berfoto, bercanda dan ngobrol kesana kemari dengan suka cita.

Hari ini cukup kami pun mengakhirinya sebelum senja menyapa. 

***
Hari ketiga di Malang, hari ini aku kembali mendapatkan kejutan dari panitia. Pabrik gula Krebet yang menjadi tujuan kami pagi ini. Dari kejauhan sudah nampak aktivitas pabrik gula krebet. Asap yang kian tebal mengepul-ngepul keluar dari atas pabrik tersebut. Sebelum memulai petualangan di pabrik gula yang amat sangat besar dan luas ini seperti biasa kami menerima sambutan hangat dari staf pabrik gula Krebet. Namun aku yang pada saat itu duduk di deretan depan tetap saja tidak dapat menghindari rasa ngantuk yang kian mendera. Sehingga berkali-kali aku melenggut-lenggut tandanya aku meninggalkan rasa sadarku untuk sesaat. Aku tidak tahu kalau di arah yang berlawanan denganku ibu dosen memperhatikan aku yang terlihat jelas mengantuk. Namun ibunya hanya tersenyum dan berkata tanpa suara “saya juga ngantuk” dengan sedikit senyuman diakhir ucapannya.
Setelah panjang lebar penjelasan tentang profil dan keunggulan pabrik gula krebet ini, akhirnya kami pun diperbolehkan untuk berkeliling pabrik yang sangat luas ini. Dengan di pandu oleh staf sebelum memasuki kawasan pabrik terlebih dahulu kami harus memaki SOP yang aman yaitu lengkap dengan masker dan pelindung kepala (topi pelindung permanen). Disini aku benar-benar melihat dan memperhatikan dengan detail alat-alat dan komponen yang sangat rumit ini. Dengan terus mendengarkan penjelasan guide sesekali aku merekam dan memotret setiap alat yang aku lewati. 

Sebelumnya aku hanya tahu bahwa gula pasir atau “gendis” (bahasa jawa) itu putih dan manis terbuat dari tebu, sudah cukup tidak pernah terbayang akan melihat proses demi proses pembuatan gula itu seperti apa. Dengan bantuan bapak staf pabrik gula krebet aku dan teman-teman menjadi tahu bagaimana proses pembuatan gula yang berasal dari batangan tebu segar hingga menjadi gula yang sudah dipack dan disimpan di gudang. 

Selain itu menjadi tahu bahwa mesin yang besar rumit dan banyak ini harus dibongkar setiap waktu pendinginan tiba. Pencucian yang amat sangat melelahkan juga harus dilakukan dan itu oleh para pekerjanya. Karena belum ada alat yang dapat digunakan untuk meringankan pekerjaan mereka yang basah kuyup dan kedinginan dalam wadah yang sangat besar. Selain itu aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh para pekerja yang berada disektar mesin dengan suhu mencapai 1000C dan suhu luar mencapai 360C sampai 400C. Aku yang hanya berada beberapa menit saja disana sudah bercucuran air keringat apalagi meraka. Namun kembali lagi itulah totalitas. 

Terima kasih ilmunya, aku semakin menghargai apapun dan dalam bentuk apapun itu. Baik makanan ataupun benda karena proses pengerjaannya bisa saja membuat orang lain tidak dapat tidur dengan nyenyak atau perlu pengorbanan yang luar biasa. Namun sayang kami tidak dikasih buah tangan si manis “gendis” waktu itu [ngarep].
Oea tapi yang membuat aku aneh itu, kok gak ada semut ya di pabrik gula tersebut. Why?

***
Siang itu, seakan-akan panitia tuh tahu apa yang kita butuhkan, setelah berpanas-panasan di dalam pabrik gula kami pun diajak untuk menikmati indahnya pantai. Kali ini pantai yang akan kita kunjungi yaitu pantai “Bale Kambang”. Perjalanan menuju pantai ditempuh menggunakan angkot karena medannya cukup beresiko jika bis kami memaksakan untuk kesana. Jalanan yang sempit, berkelok dan agak naik bukit itu cukup menjadi pertimbangan. 

Setelah melewati perjalanan yang cukup menguji adrenalin, akhirnya tiba juga di pantai. Wlaupun aku sudah sering berkunjung ke pantai namun belum lengkap rasanya kalau tidak ikut menikmati percikan yang berasal dari air laut yang indah. Menikmati ciptaan-Nya yang begitu elok namun penuh rahasia dibalik indahnya pantai. Terkadang aku senang dan terkadang aku sedih jika berhadapan dengan pantai. Entahlah aku tidak ingin berbagi rahasia itu disini. 

Setelah menepis sedikit sisi galauku, aku pun memutuskan untuk menikmati setiap sudut pantai Bale Kambang ini, tentunya dengan mengabadikannya dengan sebuah foto. Dan yang membuat aku menarik ada sesuatu yang beda disini. Dimana selama aku pergi ke pantai baru pantai ini yang menurutku unik. Kenapa? Ya, ada sebuah pura diujung sana, mana? Maksudnya ditengah-tengah pantai ada sebuah karang besar seperti pulau namun terlalu kecil untuk dikatakan sebuah pulau. Nah itu dimanfaatkan menjadi sebuah pura disana, kalau yang pernah aku lihat secara tidak langsung sih kaya di Bali-bali gitu. Namun yang membedakan di Bale Kambang ada jembatan yang mempermudah untuk akses menuju pura tapi tidak untuk di Bali. 

Karena pesona cantik dan indahnya pantai yang ditawarkan Bale Kambang, tak jarang tempat ini dijadikan sebagi tempat shooting atau foto freewed kata orang-orang gaul tea mah (keluar sundanya). 

Aku turut bahagia menyaksikan keceriaan dan kebahagian teman-teman dalam menikmati suasana di pantani ini. Foto, bermain air, bermain pasir dan aktivitas lainnya yang biasa orang-orang lakukan ketika bertemu pantai. #Nice.

Setelah cukup puas menikmati persembahan dari sang pantai kami pun memutuskan untuk melepas lelah dengan menikmati segarnya kelapa muda. Nikmat rasanya dan lengkap sudah kebahagian di hari itu, kembali lagi syukur itu ada “Alhamdulillah”.

Aku merasa cukup dan waktu yang diberikan panitia sebentar lagi habis. Iya aku harus on time untuk kali ini, dimana pukul 16.00 harus sudah di angkot. Yups setelah selesai shalat ashar aku dan teman-teman mencari angkot yang tadi mengantar kita. Dan sebelum senja tiba kita sudah lebih dulu meninggalkan pantai penuh kenangan itu. Sunset yang aku tunggu hanya tinggal harapan, mungkin lain waktu.

Hari ini perjalanan diakhiri dengan pulang ke penginapan dengan diantar bis yang begitu setia. 

***
Setiba di penginpan, dalam benakku setelah selesai mandi dan makan aku ingin memanjakan mataku dulu sebentar. Namun hal itu urung terjadi karena ba’da isya kami ada acara ngobrol hangat bersama tokoh masyarakat dan para petani setempat. Buatku sekecil apapun kesempatan itu sangatlah berharga. Aku kembali teringat kata-kata yang membuatku melek dan kembali semangat. 

Tempat yang terbuka seperti halaman rumah menjadi salah satu pilihan tempat untuk kita bertemu dan mengobrol hangat bersama masyarakat [Berasa KKP lagi euy]. Suasana begitu nyaman dan akrab dengan nuansa kekeluargaan. Para masyarakat sangat antusias menyambut kami. Pada saat itu tidak hanya kami mahasiswa akan tetapi bapak ibu dosen yang sangat kompeten dibidangnya menjadi penguat acara dimalam itu. 

Udara malam yang sedikit menusuk tak aku hiraukan, aku pikir aku pasti bisa menaklukannya karena aku sudah mempersiapkannya. Yups jaket tebal dan balur minyak kayu putih diseluruh badan cukup untuk pertahanan [suka masuk angin soalnya]. Malam itu obrolan kita kian hangat dengan goreng ubi dan teh hangat sebagai pelengkap yang menemani. 

Malam itu kembali aku belajar, oohh ternyata seperti ini cara menghadapai dan berinteraksi dengan para petani yang pemikirannya berbeda tentunya dengan kita. Maklum karena kita berasal dari departemen proteksi tanaman jadi yang menjadi topik pembahasan dalam sharing kita adalah mengenai hama dan penyakit tanaman. 

Sharing semakin hidup dengan antusias petani yang mengutarakan permasalahannya dan ingin mendapatkan solusi yang tepat. Bapak ibu dosen menanggapinya dengan bijak dan berusaha memberikan rekomendasi pengendalian yang tepat sesuai dengan yang diharapkan petani. Tapi itu tadi masalahnya, jika petani ingin cara yang tepat dan “cespleng” [bahasa mana, gak tahu] sedangkan bapak ibu dosen dan saya juga sebagai mahasiswa mengutamakan teknik dan budidaya ramah lingkungan. Jadi sebelum memberikan rekomendasi pengendalian kami perlu tahu dulu sejarah hama atau penyakit yang menjadi masalah di pertanaman petani. Sehingga rekomendasi yang diberikan tepat dan aman. Perlu trik dan pengetahuan yang luas dan baikt entunya #Thats right.

***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, aku yang sudah mulai lelah dan mengantuk. Eh ternyata mata tidak bisa bohong, jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Dan tak lama kemudian acara pun selesai, “alhamdulillah” ucapku lega akhirnya bisa tidur juga. Malam itu ku tatap langit tak ada bintang yang mengerlipkan cahayanya hanya ada satu bulan dengan cahaya redupnya. Aku bersyukur masih bisa menyaksikannya. Selamat malam kuucapkan.

***
Tidak terasa pagi ini sudah hari keempat kami di Malang. Hati ini masih belum rela untuk berpisah suasana yang sudah tercipta beberapa hari ini. Terlebih dengan ibunya mbak Fita yang sudah dengan cinta memasak untuk kami. Selama di sini kami makan tepat waktu sehari tiga kali dengan menu yang enak dan sangat khas jawa timur seperti rawon, tahu campur, baso malang dan makanan khas lainnya. Maklum ya mahasiswa terkadang jarang sekali makan tepat waktu apalagi sampai tiga kali sehari [kalau aku memang iya tiga kali, gak bisa telat soalnya]. 

Namun mau bagaimana lagi, kita harus berpisah dan beranjak meninggalkan kota Malang. Terima kasih kota Malang atas ilmu dan pengalaman yang luar biasa. 

Pagi itu aku dan semua teman-teman sudah siap, kami sudah packing dari semalam dan mandi sepagi mungkin. Karena jam 08.00 kita harus sudah berangkat. Dengan penuh haru kami berpamitan, namun satu yang aku sesalkan karena pada saat itu aku begitu terburu-buru dan tidak melihat ibu, aku tidak sempat berpamitan dengan beliau. Padahal ingin rasanya aku memeluk dan mengucapkan terima kasih atas tempat, suguhan dan pelayanan yang sungguh luar biasa. Maafkan aku ibu semoga dilain waktu dapat berjumpa kembali, terima kasih banyak atas semua kebaikan ibu dan keluarga. #Jazakumullah khairan katsiran [semoga Allah membalas dengan kebaikan].

Bis pun melaju dengan perlahan dan pelan-pelan mulai meninggalkan rumah mbak Fita yang sudah menjadi rumah kami beberapa hari ini. #Sedih.

***
Pulang ke Bogor namun tidak membawa buah tangan rasanya ada sesuatu yang kurang. Sehingga sebelum kami pulang rencananya kami akan pergi ke tempat pusat oleh-oleh khas Malang. Ya, walaupun hanya memebeli satu bungkus kripik apel itu sudah mewakili sebagai oleh-oleh khas Malang, tidak perlu banyak yang penting ada dan berkah. 

Tidak membutuhkan waktu lama kami tiba di salah satu pusat oleh-oleh khas Malang. Kami langsung berhamburan dan menyerbu aneka makanan dan produk lainnya yang menjadi ciri khas Malang. Tentunya disesuaikan dengan ongkos didompet ya bro and sist #ups [itu sih khusus untuk aku tentunya]. 

Setelah cukup puas dengan oleh-oleh yang dibeli kami pun melanjutkan perjalanan menuju wisata petik apel di kebun apel. 

Heemm nice banget nih kayaknya. Iya dong masa udah jauh-jauh ke Malang gak merasakan gimana suasana menikmati buah apel yang langsung kita petik dari tangkainya. 

Luar biasa wisata kebun apel yang kami kunjungi memiliki penawaran yang baik. Wisata petik apel, dimana kita boleh memetik apel dan memakannya sampai puas sambil menikmati pemandangan yang indah. Karena kebun apelnya terletak di lereng yang cukup tinggi menghadap pemandangan yang aku sendiri sulit membayangkannya [indah pokoknya]. Oea jangan lupa bayar tiket dulu sebelum masuk Rp. 20.000/orang kalau tidak salah [maafkan kalau salah]. Iya, perhitungannya kita mampu memakan buah apel sebanyak 1 kg, mungkin? Karena jika kita hendak membeli untuk dibawa sebagai oleh-oleh harga per kilonya Rp. 20.000/kg. Jadi boleh makan sepuasanya hanya dengan Rp. 20.000 saja. #cukup ekonomis.

Hemm tentunya semua orang sudah memiliki caranya masing-masing untuk menikmati liburannya. Membuat kesan baik, mengabadikannya melalui sebuah foto atau yang lainnya itu sudah merupakan sesuatu yang wajib #eh. Begitu pun dengan aku soalnya [ketawa]. Seperti tempat wisata pada umumnya disana juga ada jajanan khas seperti bakso malang atau suopenir seperti baju yang menjadi ciri khas Malang. Beberapa teman-teman ada yang kembali menikmati jajanan bakso Malang dan membeli beberapa potong baju sebagi kenang-kenangan setelah turun dari wisata petik apel. #nice. 

***
Aku masih belum percaya ketika itu aku sudah berada di dalam bis dan siap melaju menuju stasiun kota Malang. Sungguh petualangan yang sangat mengesankan walaupun begitu singkat. Dengan rintik hujan yang kian menyapa turut mengantarkan kami menuju stasiun. Setiba disana kami masih perlu menunggu jadwal keberangkatan kereta tujuan Jakarta. #sabar.

***
Singkat cerita, siang itu hari minggu tanggal 09 Nov 2014 kami tiba di stasiun senen Jakarta. Setelah melalui perjalanan panjang Malang-Jakarta. Perjalanan kami masih belum berhenti disini, masih ada perjalanan selanjutnya untuk menuju tujuan akhir. Yups kota Bogor. Dengan sisa tenaga yang masih ada kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta Comuter Line, dilanjutkan dengan angkot yang sudah disewa untuk menuju kampus. Hal yang sama seperti ketika kami hendak berangkat beberapa hari yang lalu. Berterima kasih banyak kepada para panitia atas kerja kerasnya yang luar biasa. #kalian luar biasa.

Akhirnya tepat pukul 15.30 aku mendarat dengan selamat di kosan yang sudah aku rindukan. #Alhamdulillah sampai. Siap-siap cari tukang pijit [apa coba].

***
Bersyukur, itulah suatu hal yang tak hentinya ku lakukan. Atas kehendak-Nya, atas karunia-Nya dan atas Ridho-Nya acara yang luar biasa dapat terselenggara dengan baik dan lancar. Tanpa ada yang sakit, hilang atau bermasalah lainnya yang sekiranya dapat terjadi ditengah-tengah banyaknya orang yang tinggal bersama-sama dalam beberapa hari. 

Ilmu, pengalaman, kebahagian, kecerian, dan kebersamaan dalam kesederhanaan yang dibalut ketulusan kian melekat dan menyimpan rasa bangga tersendiri dalam diri ini. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak ibu dosen yang telah bersedia mendampingi kami, keluarga mbak Fita yang sudah memfasilitasi, masyarakat yang penuh antusias menerima kami, mas-mas sopir dan kondektur yang setia menemani perjalanan kami, semua pihak dan staf balai atau pun tempat yang sudah kami kunjungi terima kaih atas ilmu dan pengalamannya, teman-teman panitia yang sangat luar biasa keren, dan sahabat serta semua teman-teman yang sudah ikut meramaikan acara ini. #Tanpa kalian tidak ada kita.
Semoga acara ini bukan hanya sekedar menumpang eksis, mengugurkan kewajiban atau mencari kebahagiaan. Karena semua akan terangkum indah ketika syukur itu sudah melekat dalam hati. Jadikan acara ini sebagai perantara kita sebagai wakil dari teman-teman kita yang tidak dapat ikut karena belum mendapatkan kesempatan turut merasakan apa yang kita rasakan. Dengan kebersamaan kita menjadi lebih akrab, menjadi lebih tahu karakter teman-teman kita dan mendapatkan ilmu dan pengalaman yang lebih tentunya [itu bonus]. 

Hemm rasanya hanya inilah rangkuman perjalanan kami yang dapat aku tulis. Melalui tulisan yang jauh dari sempurna ini [belepotan] aku hanya ingin sekedar berbagi dan mengabadikannya. Karena ucapan boleh salah, pendengaran boleh lupa, dan penglihatan bisa berbeda. Namun tulisan bukti nyata yang abadi. 

Tulisan sederhana ini, semoga menjadi pengingat bagi yang lupa dan menjadi oleh-oleh terbaik bagi teman-teman yang belum bisa ikut.
Terima kasih banyak mohon maaf bila banyak kekurangan, itu semua datangnya dari saya pribadi...



Aku rindu Malang di Bogor, 23 November 2014_TSA_