“Kring kring kring” bunyi nada alarm yang berasal dari Hpku. Dengan kondisi
setengah sadar dan kaget karena bunyi alarm tersebut tanganku bergerak
meraba-raba ke arah hp. Sekejap hp sudah ditangan, kulihat jam sudah menunjukkan
pukul 05.00. Aku pun beranjak dari tempat tidur bergegas ke kamar mandi untuk
mandi dan menunaikan shalat shubuh. Selesai shalat aku bersiap-siap untuk
berangkat kuliah. Setengah jam kemudian aku sudah rapi dengan celana jeans berwarna biru andalanku yang
dipadukan dengan kaos putih dibalut dengan jaket jeans, kali ini aku memakai
kerudung berwarna pink tua. Sederhana, simpel dan membuat aku nyaman.
“mom, mamah heeee” teriakku dari kamar menuju
dapur sambil menjinjing tas kebanggaanku. “iya sayang, ayoo sarapan dulu” pinta
mamah dengan lembut. “gak ah mah, Cha berangkat aja ya uda ditungguin Aldi”
ucapku manja sambil mengambil dua potong roti kemudian memasukannya ke dalam
tempat makan. “yaudah kalau gitu tambahin lagi rotinya” mamah mengambil tempat
makan dari tanganku dan memasukan dua potong roti lagi. Aku hanya mengangkat
bahuku kemudian kuteguk segelas susu hangat buatan mamah yang sudah dari tadi
ada di meja makan. “oke mah, Cha berangkat ya. Assalamualaikum” aku kemudian
mencium tangan mamah dan mengambil tempat makan berisi roti dan meleos ke luar
rumah.
Setiba di depan rumah Aldi sudah setia
menungguku dengan sepeda motor vespa tua warisan dari papahnya. “sorry ya Di lama, biasa mamah rempong”
aku menghampiri Aldi dan langsung ambil posisi duduk di jok belakang. Aldi
tersenyum manis “oke princess ini pake dulu helmnya” Aldi memberikan helm
padaku.
Seperti biasa pagi itu aku dan Aldi akan
memulai petualangan kami, dengan malu-malu aku meletakkan tanganku dipinggang Aldi
dan kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Aldi hanya tersenyum kecil. Lelaki
yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya itu sungguh sangat menawan ketika
melontarkan senyuman. Bukan tampan tapi hitam manis biasa ku menyebutnya.
Pagi itu, dalam perjalanan ke kampus.. vespa
unik milik Aldi melaju dengan kecepan sedang karena aku tidak suka ngebut. Aku
melepaskan tanganku dari pinggangnya Aldi. Ku rentangkan kedua tanganku seakan
pasrah menerima belaikan angin yang menyentuh lembut tubuhku. Sesekali aku
menghirup udara yang masih segar di kota Bandung ini.. Aldi hanya
mengeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah konyolku.
Sesaat suasana menjadi sunyi diantara kita,
hanya deruan suara motor vespa Aldi yang sudah mulai tua, sesekali ditimpali
oleh suara kendaraan lain diseberang jalan sana. Dengan suara yang samar-samar
terdengar aku berteriak. “Aldi my prince
marry me haaaa” teriakku melawan kencangnya angin ditengah perjalanan.
Aldi menoleh kebelakang dengan tatapan penuh kasih sayang. “yes I do” katanya diiringi senyuman manisnya.
Kita tertawa bersama. Aneh rasanya, bukankah harusnya seorang laki-laki yang
melamar perempuan. Namun mengapa aku begitu “pede” dengan celoteh yang berhasil
mengocok perut kami, aku dan Aldi.
Begitulah kedekatan dan keakraban dinatara
kita bagaikan tak ada ruang yang memisahkan. Bercanda bersama, tertawa dengan
kegilaan-kegilaan yang tak ada hentinya. Bahkan ketika kita beradu argumen atau
hanya sekedar ngobrol biasa seakan tak ada habisnya topik yang kita bahas.
Dekat, nyaman dan menentramkan jiwa.
**
Tidak terasa angin sudah berbaik hati, dia
tak lagi menahan suaraku dan mengizinkan aku bersahabat dengannya. Kami tiba di
kampus. Aldi melaju dengan kecepatan tinggi setelah melakukan tugasnya
mengantarkan aku ke kampus.
***
Setiba di kampusnya, seperti biasa setelah
memarkir vespa antiknya Aldi bergegas ke kelas. Lelaki berperakawakan tinggi
dengan kulit sawo matang itu adalah mahasiswa semester 3 jurusan Arsitektur di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tepat sekali dia memilih
jurusan tersebut karena dia memiliki bakat seni yang luar biasa. Dia mahir
memainkan senar gitar dengan jari-jemarinya yang lentik dan kian lincah. Dia
juga jago nyanyi walau tak sekeren Afgan. Dan dia juga pantas mendapatkan
pujian atas kreativitasnya dalam dunia lukis. Maka tak heran aku sering
terkagum-kagum ketika tiba-tiba dia membuatkan aku sebuah lagu kemudian
menyanyikannya dihadapanku. Hati ini tidak dapat menahan rasa haru dan bahagia,
tak terasa butiran halus menitik dipojok mata kiriku ketika suara lembutnya
melantunkan syair cinta.
Itulah dia pemilik nama lengkap Aldi Putra Gumilar
yang berhasil mengisi ruang hatiku, lain halnya denganku yang baru mau
menjajaki dunia sosial yang dari kecil tak pernah terbayangkan dibenakku. Aku
keterima di Universitas Islam Negeri (UIN)
jurusan ilmu sosial dan Humaniora. Aku yang dari SMP dan SMA memiliki basic eksak harus berhadapan dengan yang
berbau sosial. Sungguh bagaikan masuk ke dalam lubang buaya. Namun itu hanya
perasaan diawal saja, ketika aku mulai memasukinya, mengenali dan menikmatinya
akupun menemukan passionku. Dimana
aku merasa senang dan bahagia ketika berhubungan dengan pelajaran yang
pertamanya aku benci.
Aku menemukan duniaku disini, seakan aku
enggan melewatkan bahkan walau hanya satu moment.
Yang ingin aku lakukan adalah berbagi dan berbagi. Sekarang aku memulai
keterlibatanku di dunia kampus. Aku tergabung di wadahnya orang-orang yang mau
menuangkan idenya untuk sesama terlebih bangsa ini, “Komunitas penulis kampus”
biasa anak-anak menyebutnya. Iya, aku berbagung didalamnya. Menyenangkan dan
penuh kehangatan itulah suasana yang selalu dihadirkan sahabat-sahabat
komunitas penulis kampus.
**
Setelah berpisah di depan kampus dengan Aldi
yang mengantarku, aku kembali menelusuri koridor kampus. Jam sudah menunjukan
pukul 07.10 namun suasana masih belum terlalu ramai untuk ukuran kampus ini.
Aku berjalan dengan suara sepatu yang sedikit diseret, tas yang sedikit berbau
cowok pun selalu setia kugendong dipunggungku. Aku berjalan sendirian menyusuri
koridor kampus yang masih terlihat lengang hanya ada petugas kebersihan yang
tengah menyapu dan beberapa mahasiswa yang lewat, sesekali aku menyapanya.
Dari kejauhan aku menajamkan pandanganku ke
depan, terlihat segerombolan cowok urakan “preman kampus” begitu julukan untuk
meraka. Aku mulai resah melihat tatapan mereka yang bagaikan lelaki hidung belang
yang siap menerkam. Konon katanya teman-teman perempuan kelasku ada beberapa
yang pernah diganggu mereka. Aku pura-pura tidak takut, ku ambil headset dari
tas lalu ku hubungkan dengan hp dan kupasang ditelingaku. Dengan sikap cuek aku
melenggang dengan aman.
Siapa yang tidak mengenal aku di kampus
ini, “si kritis” begitulah panggilanku ditengah-tengah kumpulan mahasiswa UIN
Bandung. Melalui tulisanku aku mengkritik, memberi saran dan gagasan untuk
pihak kampus dan pemerintah. Aku ingin ada keterlibatan tangan dan pikiran
mahasiswa disetiap lembaga dan pemerintahan yang berkecimpung dalam urusan
rakyat. Ada suatu panggilan jiwa disana maka tak heran jika selalu ada yang aku
soroti disetiap langkah politik baik di kampus ataupun di pemerintahan Indonesia.
Gerombolan yang kebanyakan menjadi momok
buat anak-anak lain tak menunjukan kenyaliannya. Meraka hanya menyapaku dengan
melambaikan tangannya sambil berkata dengan gaya khasnya yang sedikit “alay”
“selamat pagi princess kritis” setelah itu mereka pergi berlawanan arah
denganku. Aku hanya tertawa kecil, itu adalah ekspresiku ketika tak lagi mampu
menahan kelucuan yang menggelitikiku.
Aku memasuki kelas dengan headset masih
terpasang di telingaku, tanganku masih menutupi mulutku dengan bibir tipis yang
ketika senyum keindahannya bagaikan mawar yang pertama kali mekar ditangkainya.
Tanpa sadar pintu kelas sudah aku buka, dipojok kanan kelas sudah ada Noor
dengan kerudung merahnya yang memberikan nuansa terang di dalam kelas, spontan
melambai-lambaikan tangannya dan sesekali mengngguk. Isyarat dia menyuruhku
duduk di sampingnya. Aku berjalan menuju kursi dimana Noor si lincah sahabatku
itu duduk. Kelas sudah mulai ramai aku tidak begitu mendengar apa yang mereka
bicarakan. Namun suasana menjadi sangat gaduh karena sumber suara hampir dari
setiap penghuni kelas. Sibuk dengan dunia masing-masing, maklum dosen belum
datang.
Aku duduk tepat disamping Noor. Dia
langsung meraih tanganku dan menatapku seakan ingin mengintrogasiku. Dengan
tatapan penuh penasaran dia mengungkapkan rasa penasarannya. “Cha kamu diapain
tadi sama “ayam kampus” eh “preman kampus” maksud aku”. Noor tersenyum “meseum”.
Dia memang seperti itu lincah tapi seperti Soimah lumayan buat selingan penat
yang sewaktu-waktu mendera. Aku melepaskan genggaman tangannya yang menurutku
sedikit “alay”. “gak diapa-apain kok, Cuma disapa aja” tukasku singkat lalu
kutumpukan tangan di dagu, tatapanku kosong melihat papan layar di depan kelas.
Sedikit ku berpikir darimana Noor tahu kalau tadi aku bertemu dengan preman
kampus. Entahlah..
Pembicaraan kita terpotong karena dosen
sudah datang dan proses belajar pun dimulai.
**
Waktu belajar di kelas terkadang membuatku
merasa bosan. Teknik mengajar dengan cara ceramah hanya bisa aku ikutin 20
menit pertama, selanjutnya aku merasa kesulitan untuk mendapatkan sisi fokusku.
**
Jam matakuliah selesai.. Noor dan teman-teman
yang lain langsung berhamburan. Tujuan meraka berbeda-beda, ada yang pergi ke
kantin, mushola, sekret atau sibuk mengurusi rapatnya karena acara sudah di depan
mata. Hanya aku yang belum beranjak dari tempat duduk karena aku menolak ajakan
Noor untuk pergi ke perpus.
**
Taman depan lab komputer yang berbentuk
segitiga karena diapit oleh beberapa bangunan lain menjadi pilihanku. Terdapat
tempat duduk yang nyaman dan sejuk karena tepat dibawah pohon ketapang yang
rindang. Aku duduk dengan posisi kaki disilangkan dan tanganku tidak lepas dari
Novel karangan favoritku Tere Liye. Beberapa kali aku hempaskan nafasku yang
panjang seakan aku telah melakukan balap lari maraton. Tenang dan damai tanpa
gangguan Soimah yang biasanya mengocok perutku.
Dalam proses aku menarik nafas panjang
terlintas dalam benakku sosok Aldi membayangi suasana santaiku pagi itu. Aku
mengingatnya dan memikirkannya. Iya betul, aku dan Aldi sudah dua tahun
pacaran, kita memulai hubungan itu sewaktu masih duduk di bangku SMA. Entah mengapa
aku dan Aldi seakan memiliki ideologi yang sama dan kesukaan yang sama. Dan
itulah yang membuat aku merasa nyaman bersamanya.
Aku yang masih minim pengetahuan agama tak
begitu mengkhawatirkan hubungan kita. Karena selama kami hubungan kami masih
berada dalam batas kewajaran. Karena aku hanya mengijinkan Aldi dan aku
berpegangan tangan saja. Tidak kontak fisik yang lainnya yang bersifat
berlebihan. Karena itu sudah menjadi prinsip aku.
Aku masih fokus memikirkan kekasih hati,
tiba-tiba terkagetkan dengan datangnya seorang wanita cantik dengan dibalut
pakaian muslimah berwarna biru yang menutup rapat tubuhnya, kerudung panjangya
yang sengaja dia julurkan menutupi dada dan bahunya menambah kecantikannya.
Wanita itu sebaya dengan aku mungkin dia satu angkatan denganku atau kaka
tingkatku. Akau hanya menebak-nebak dengan wajah penuh rasa penasaran.
Bagaimana tidak aku yang berpenampilan celana jeans ”beulel” dengan baju yang masih belum rapi dihampiri wanita
dari surga. Aku tercengang dan masih bergeming.
Tiba-tiba suara lembut itu membuyarkan rasa
penasaranku. “Assalamualaikum, punten ka” suaranya sangat menyejukan. Dia duduk
di sampingku dengan anggun. Aku tersenyum kemudian memperbaiki posisi dudukku
menjadi lebih anggun. “waalaikumsalam, iya silahkan” jawabku sambil menatap
lekat wajahnya. “hemm apakah betul kaka dengan ka Rasya Indica Sumardi?” dia mulai
membuka percakapan diantara kita. “iya betul saya Rasya biasa dipanggil Cha,
ngomong-ngomong ada apa ya?” Jawabku sambil balik nanya. “saya Ainun ka anak
bahasa inggris semester 3” dia memperkenalkan diri sambil menyodorkan
tangannya. Aku mengangguk kemudian meraih dan menjabat tangannya dengan penuh
semangat seperti gaya aku berjabat tangan. “oh, kalau begitu jangan panggil
saya kaka, panggil saja saya Cha soalnya saya juga baru semester 3” jelasku
mengajak dia agar sesantai mungkin.
Iya
aku Rasya Indica Sumardi pemilik nama lengkap dari Cha biasa dipanggil.
Karakter yang supel, pemilik hidung yang mancung dan mata yang agak sipit,
kulit yang putih, tinggi yang semampai dan pemilik senyum yang indah namun aku
sendiri tak menyadarinya. Itu hanya kata-kata orang yang biasa komentar di blog
pribadi aku ketika aku ngepost tulisanku.
**
Angin berhembus menembus sela-sela bangunan
dan pohon-pohon kecil di depan gedung kuliah akhirnya sampai ditelingaku dan
berbisik pelan. Suasana sejuk seakan mengiringi pembicaraan aku dengan Ainun.
Dia adalah mahasiswa dari jurusan bahasa inggris yang mewakili LDFnya untuk
menjadi anggota di komunitas penulis kampus. Tapi dia fokus dibidang dakwah dan
keislaman lainnya. Aku menerima idenya dan mengiyakan akan mengurus
kenggotaannya segera. Walaupun aku baru semester 3 tapi di dalam komunitas ini
aku berperan penting, jadi tidak masalah.
**
Seakan bertemu dengan sumber air ditengah
padang pasir. Aku yang haus akan ilmu agama namun masih kurang pendorong kini
seakan menemukan oase kehidupan yang nyata. Entah mengapa aku semakin tertarik
dengan dunia mereka LDF (Lembaga Dakwah Fakultas).
***
Sepekan, sebulan sudah Ainun berada
diantara kami. Terlebih Ainun sudah menjadi bagian dalam keseharianku sekarang.
Aku yang mudah akrab kian dekat dengannya. Begitu banyak ilmu tentang keislaman
yang aku dapatkan darinya. Tulisan Ainun yang bertemakan dakwah islam selalu
dimuat diharian kampus. “Dia juga berbakat” sanjungku pada Ainun.
***
Suatu malam aku tidak bisa tidur mataku
tetap terjaga, sebentar tertutup tapi langsung mengerjap seakan ada yang
memaksaku untuk bangun. Aku masih teringat kata-kata Ainun siang itu di kampus.
Ceritanya masih terngiang ditelingaku. Bahkan yang anehnya setelah mendengarkan
cerita Ainun, saing itu aku tidak pulang bareng Aldi. Aku beralasan ada kumpul
dadakan kumunitas penulis kampus yang tidak bisa ditinggalkan, ketika Aldi
menelponku. Padahal aku hanya merenung sambil mendengarkan musik dari hapeku. Sore
itu aku pulang naik bis. Aku duduk di pinggir sendirian, kusandarkan kepalaku
di jendela bis yang berembun. Walaupun terlihat tidak jelas aku masih dapat
merasakan syahdunya ketika jutaan rintik air turun membasahi bumi yang telah
lama merindukannya. Iya, sore itu Bandung Hujan.
Mungkin jika sore itu aku pulang bersama
Aldi, teriakan aku akan menyapa hujan yang selalu memberikan nuansa romantis.
Terlebih kita akan melewati sore dengan menikmati senja dengan jingganya yang
elok. Suguhan bakso kang Armin pun semakin membuat suasana hujan menjadi
semakin romantis. Seperti hari-hari yang telah lalu selama aku bersama Aldi.
Namun tidak untuk sore itu.
**
Tak terasa subuh telah menyapaku dengan
bulatan jingga yang memerah siap muncul dan meninggi di langit biru-Nya. Entah
mengapa aku begitu khusu dalam doa pagiku. Sampai-sampai ada butiran sejuk
perlahan menetes membasahi pipi lembutku. Bagaikan secercah cahaya telah datang
menghampiriku. Aku tidak begitu tahu perasaan apa yang tengah bergejolak dalam
relung terdalamku. Mungkin Ainun telah menjadi perantara-Nya untuk menuntunku
menuju cahaya-Nya.
**
Pagi itu, kicauan burung milik ayah seakan
menikmati suasana baru, sang mentari terlihat iri karena merasa tersaingi
dengan warna yang lebih cerah darinya. Tak terasa sudah satu bulan aku
memutuskan untuk merubah penampilanku. Aku sudah mengikhlaskan celana jeans kesayanganku, baju-baju modis yang
selama ini menjadi pelindungku sekaligus mempercantik penampilanku. Kini aku
punya style yang datang dari surga.
Semenjak pertemuan ku dengan Ainun, aku semakin tertarik tentang islam dan aku
semakin penasaran dengan ungkapan dan cerita-cerita Ainun tentang muslimah.
Betapa Allah dan islam begitu mengagungkan
wanita muslim yang shaleha. Islam memerintahkan kita dengan penuh kelembutan untuk
menutup aurat yang sempurna. Tidak memperlihatkan lekuk tubuh apalagi
transparan. Karena itu tidak sesuai dengan firman-Nya. Sedangkan gaya berpakaian
aku selama ini alakadarnya bahkan hampir mirip cara berpakaian laki-laki, terlebih
aku dan Aldi pacaran. Ya Allah betapa bertumpuknya dosaku, betapa aku tidak
mematuhi ajaran-Mu. Namun aku yakin Allah maha pengampun bagi hamba-Nya yang
mau berhijrah menuju jalan-Nya. Aku terus merungi dan selalu menangis haru
ketika bersimpuh dihadapan-Nya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menurunkan
jilbabku dan menggunakan pakaian yang lazimnya dipakai wanita yaitu rok dengan
baju yang agak longgar. Tetap simpel, aman dan nyaman.
Entah perasaan apa ini, namun aku seakan
telah menemukan cahaya yang selama ini aku cari. Iya, iman itu semakin mantap
menyertaiku. Namun bukan perubahan jika tanpa rintangan. Dalam proses hijrahku
menuju cahaya-Nya aku dihadapkan dengan berbagai ujian, berupa penolakan dan
protes keras dari orang tua, sahabat dan teman-teman terdekatku. Terlebih jika
Aldi tahu, dia pasti akan heran dan kaget dibuatnya.
Iya, semenjak keputusanku menggunakan
jilbab syar’i dan lebih mendekatkan diri pada-Nya. Aku belum pernah bertemu
dengan Aldi apalagi memberikan penjelasan padanya. Selama satu bulan ini aku
selalu beralasan apapun itu asal tidak bertemu dengannya. Tapi alasannku memang
benar adanya bukan sekedar mengada-ada. Beberapa pekan ini aku, Ainun dan
teman-teman komunitas penulis kampus tengah disibukan dengan proses penerbitan
buku perdana kami yang berjudul “Aku bersama-Nya”.
***
Aku juga cukup mengerti ketika sore itu
pulang dari rumah Ainun. Tepat di depan pintu rumah aku mengucapkan salam
“assalamualaikum” mamah terperanjak dari posisi duduknya dan menghampiriku
dengan wajah dipenuhi rasa kaget. Mamah memegang bahuku kemudian
membolak-balikan badanku melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Cha,
kamukah ini? Anak mamah?” suara mamah memberat. “iya mah, ini Cha anak mamah dan
papah satu-satunya.”
Aku memeluk mamah. Sesaat kemudian mamah
melepaskan pelukanku dan menatapku lekat. “kenapa seperti ini sayang? Siapa
yang memberi kamu baju ini? Mana anak mamah yang cantik? Yang ada dihadapan
mamah kok seperti ibu-ibu beranak dua.” Mamah seakan merasa terpukul dengan
perubahanku yang tanpa memberitahu mamah sebelumnya. Karena waktu itu aku
diberikan baju sama Ainun ketika mengerjakan deadline buku di rumahnya.
Aku tidak menjawab pertanyaan mamah yang
cukup banyak itu. Aku hanya meraih tangan lembut mamah dan mengajaknya duduk di
sofa ruang tamu. Wanita yang sudah tidak muda lagi namun tetap terlihat segar
dengan balutan daster bunga-bunganya tak lepas dari pandanganku. Aku duduk disebelah
mamah, menghadap mamah dan terus menatapnya sambil ku gemgam tangannya. Mamah
membalas tatapanku. Setelah mereda baru ku jelaskan semua yang telah terjadi
padaku sampai aku mau merubah penampilanku 180 derajat.
“Mah ini Cha anak mamah yang cantik, yang
sangat menyanyangi mamah dan papah. Tapi Cha juga sayang sama ALLAH dan
Rasulullah. Cha gak mau menghianati-Nya, Cha gak mau membantah perintah-Nya.
Cha lebih suka seperti ini mah, lebih anggun dan sopan.” Dengan suara lembut
sedikit bergetar aku mencoba menjelaskan pada mamah. Namun mamah hanya terdiam
dengan bibirnya yang terkatup seakan tak ingin mengeluarkan suranya walau
sebentar.
Aku kembali memeluk mamah, karena aku yakin
dengan kelembutan dan nurani mamah pasti mengerti. “Mah, maafin Cha kalau Cha
menyakiti hati mamah, sungguh tidak ada niatan dalam hati ini.” Aku mulai
terisak dalam pelukan mamah. “Izinkan Cha untuk lebih dekat dengan-Nya tanpa
mengurangi bakti Cha sama mamah dan papah.” Aku terus berucap dengan air mata
yang perlahan meleleh. Mamah mengelus-ngelus punggungku yang dibalut dengan
kerudung panjang berwarna hijau tosca. “Mamah hanya khawatir dan ketakutan
sayang, mamah takut kamu terhipnotis atau mengikuti aliran-aliran yang tidak
kita ketahui. Mamah takut kehilangan anak mamah satu-satunya.” Mamah lebih
terisak daripada aku. “Baiklah mamah mengerti jika itu adalah yang terbaik buat
Cha. Mamah setuju sayang.” Mendengar pernyataan setuju mamah aku tak mampu
membendung persaan haru campur bahagia ini. Aku memeluk mamah lebih erat dan
menuangkan dengan tangisan haru.
Aku mengerti jika mamah memiliki pikiran sepeprti
itu, sungguh sesuatu hal yang wajar. Karena keluarga kami tidak memiliki
latarbelakang keluarga ustad atau tokoh agama yang mengerti lebih dalam tentang
agama. Aku bahagia telah mendapatkan lampu hijau dari mamah terlebih papah.
Karena papah selalu menuruti apapun yang baik untuk putrinya.
**
Malam kian menyapa aku dan mamah sudah
berada di kamar tempat peraduan dan melepas penat kita seharian. Terima kasih
ya Allah Engkau telah memudahkan aku menuju cahaya-Mu. Akupun terlelap.
**
Pagi itu hari pertamaku dengan jiwa dan
penampilan baru. Berbagai protes dan pertanyaan yang tak henti-hentinya
menyapaku sepanjang aku berada di kampus. Mulai dari pertanyaan teman-teman
hingga dosen yang dekat denganku.
“Cha ini kamu, yakin?”
“Cha kamu abis minum obat apa semalam?”
“Subhanallah Cha lu ngigo ya?”
“Cha kok tiba-tiba kamu jadi pake rok gitu
sih”
Dan serentetan pertanyaan dan ungkapan
protes lainnya. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan ucapan dari bibir
indah itu “Insya Allah hanya karena Allah”.
Perlahan tapi pasti semua dapat diatasi dan
merekapun kian mengerti setelah tiga pekan aku melawati masa-masa adaptasiku
yang cukup menguras air mata dan ujian kesabaran. Sekarang aku sudah terbiasa
dengan aku yang seperti ini dan merekapun menerimanya.
***
Sore itu, aku menatap pada kejauhan, hanya
riak-riak air di lautan luas yang sesekali terhempaskan oleh ombak yang tiba-tiba
datang menerjang. Aku duduk diantara bebatuan di pinggir dermaga. Angin,
deburan ombak seakan menjadi pengobat penat di hati dan pikiran. Aku menarik
nafas panjang kemudian menghembuskannya. Kembali ku memuji-Nya, “subhanallah,
pantainya indah sekali.” Ucapku dengan nada pelan. Sesekali ku melihat jam
tangan yang kupakai di lengan kiriku. Seakan pertanda bahwa aku tengah menunggu
seseorang. Iya, disini aku akan bertemu dengan Aldi setelah dua bulan tak
bersua apalagi bertatap muka. Mungkin dia sudah sangat merindukanku.
Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan
pikiranku. Spontan aku menoleh ke belakang, terlihat Aldi sudah dekat dari
pandanganku. Aku beranjak dari dudukku, ku hampiri dia dan ku sapa dengan
salam. “Asslamualaikum, Di” sambil menangkupkan kedua tanganku dan
meletakkannya di depan dada. “Waalaikumsalam.” Aldi terheran-heran sambil
mengambil kembali tangannya yang sempat dia sodorkan pertanda mengajak salaman.
“Di, makasih sudah datang kesini,
sebelumnya Cha minta maaf.” Aku mulai membuka pembicaraan, suasana menjadi
kikuk dan sunyi. Walaupun di pinggir dermaga banyak orang dengan kepentingannya
masing-masing, namun suasana diantara kami hening tak ada suara. Aku masih
tertunduk dan Aldi membuang tatapannya ke arah pantai.
“Maafin Cha, selama ini gak ngabarin. Cha
bingung mau memulai dari mana?” dengan suara bergetar aku memberanikan diri
untuk mengungkapkan semuanya. Aldi masih tak bergeming. “Cha memutuskan untuk
berhijab dan mendekatkan diri pada Allah. Jadi Cha mohon hargai keputusan Cha.
Dan sepertinya Cha tidak bisa melanjutkan hubungan kita seperti dulu lagi,
karena itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah.” Aku terus bercerita
seakan tak memperdulikan siapa yang ada dihadapanku. Dia adalah laki-laki yang
selama dua tahun bersamaku, mengisi hari-hariku dengan penuh canda, tawa dan
bahagia. Namun mengapa tiba-tiba aku datang untuk mengakhiri mimpi indahnya.
Aku terus berdoa dalam hati semoga Aldi bisa menerima dan tidak marah padaku. Sungguh
aku sangat egois.
Aldi menatapku dengan tatapan marah. “Cha
denger yah, maksud Cha apa coba dengan mudahnya bilang putus. Cha uda lupa
dengan janji kita bahwa kita akan terus bersama apapun yang terjadi,Cha lupa?”
nada bicara Aldi sedikit membentak sehingga aku tiba-tiba merasa takut dan
memejamkan mataku dalam tundukku. “Inget ya Cha, dakwah itu gak harus langsung
seperti ini, perlahan Cha. Dan gak boleh main putusin orang gitu aja dong”.
Aldi kembali bicara dan sesekali membuang pandangannya ke arah pantai sambil
meletakkan tangannya di pinggang, giginya menggigit bibir bawahnya. Laki-laki
berperawakan tinggi ini mulai terlihat karakter aslinya ketika dia marah.
Aku menarik nafas dan mengumpulkan
kekuatanku. “Ya Allah beginikah rasanya, sakit yang harus hamba terima?”
gumamku dalam hati. “Di sebelumnya Cha mohon maaf, tapi jika kita terus bersama
itu hanya akan membuat kita terjatuh kelubang kenistaan.” Aldi terdiam.
“Banyak pasangan di dunia yang hidup bahagia berdampingan, tapi mereka saling
bermusuhan ketika di akhirat. Karena meraka mengawalinya dengan sesuatu yang
salah yaitu pacaran, perbuatan yang dibenci dan dilarang Allah.” Bagaikan
penceramah aku terus meluncurkan kata-kata yang sekiranya membuat Aldi
mengerti. Namun pikiran Aldi tak sesederhana yang aku bayangkan. Aldi hanya
diam tak menjawab.
“Cha yakin ini adalah yang terbaik untuk
kita Di, Cha mohon kamu mengerti.” Aku memohon dan tak terasa pipi putihku
telah basah oleh air mata. Tiba-tiba Dia kembali menatapku lekat dan berkata
dengan nada agak tinggi. “Terus mau kamu apa? Kita putus? oke, mulai sekrang
kita putus lakukan apa yang menurut kamu benar dan baik buat kamu.” Kalimat
terakhir yang aku dengar dari Aldi yang kemudian dia meleos pergi dengan motor
vespanya yang diparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aldi
meninggalkanku tanpa ucapan selamat tinggal, semakin jauh dan bayangnnya hilang
dari tatapanku yang dihalangi air mata yang turun sangat deras. Iya, aku
menangis dalam sendiri dan sepiku. Aku tidak mengerti mengapa harus seperti
ini. Namun aku yakin ini adalah keputusan yang terbaik untuk aku dan Aldi.
**
Apapun alasannya pacaran itu memang tidak
diperbolehkan oleh Allah. Walau tidak pernah bertemu, hanya pegangan tangan
saja atau apapun sebutannya tetap saja zina itu akan selalu menyertainya.
Walaupun pacaran tidak berakhir zina namun pacaran akan selalu mendekatkannya.
Sedangkan Allah telah berfirman “Jangan kalian mendekati zina”.
**
Senja kembali menyapa dengan jingganya,
angin membelai dengan lembut, deburan ombak sesekali mengagetkanku yang masih
berdiri di depan dermaga. Perlahan ku usap air mata yang meleleh di pipi. Udara
sejuk pantai tak hentinya ku hirup dengan penuh kesyukuran. “Ya Allah, aku
pasti kuat dengan semua ini. Aku pasti dengan cepat dapat melupakan dia.”
Bisikku sambil mengepalkan kedua tanganku.
Kemudian ku ambil HP dari saku rokku.
“Aku hanya ingin lebih dekat dengan-Nya,
karena hanya dengan mengingat-Nya hati ini menjadi tenang. Jika Allah
mentakdirkan kita untuk bersama, insya allah kita akan bertemu lagi di waktu
yang tepat. Pun jika kita tidak untuk bersama maka yakinlah Allah pasti telah
menyiapkan yang terbaik untuk kita, Aamiin.”
“klik” bunyi keypad hpku, barusan aku mengirim
sms pada Aldi sebagai ucapan selamat tinggal. Kemudian kulangkahkan kakiku
menuju motor matic kesayanganku yang terparkir tepat disampingku. Dan aku
melaju dengan tenang dengan ditemani suasana senja yang sebentar lagi
tergantikan indahnya malam penuh dengan bintang.
Aku percaya dengan berprinsip pada islam
maka kita akan selamat. Aku telah memilih hijabku sebagai prinsip dan merelakan
sang pangeran impian.
Setelah mengenal islam dengan baik, buatku
pasangan hidup yang baik adalah bukan dia yang jago memainkan gitar dan bersura
merdu ketika bernyanyi. Namun dialah yang berprinsip pada islam yang senantiasa
menuntun kita menuju surga-Nya. Tidak hanya hidup bahagia di dunia tapi di
surga-Nya karena semuanya dilakukan ikhlas karena-Nya dengan cara yang benar
dan halal dihadapan-Nya. Begitulah, dengan bangga aku berteriak melawan angin
senja “Hijabku pilihanku.” Kemudian gas motorpun ditanjap hingga 60 Km/jam, itu
adalah pertama kalinya aku ngebut.
**
Wahai sahabat, perkara jodoh, takdir dan
maut sudah tergariskan oleh Allah SWT dan itu tidak dapat ditawar. Tetap
percaya bahwa wanita baik untuk laki-laki baik, laki-laki baik untuk wanita
baik. Dan begitu sebaliknya. Tugas kita adalah berusaha menjadi lebih baik,
mendekatkan diri pada-Nya dan memantaskan diri dihadapan-Nya. Karena menikah
itu mungkin tapi mati itu pasti.
Dan bukan Allah yang memberikan kita
sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi karena kita yang tidak mengupayakannya.
“Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya
sendiri.”
Salam cinta dari Dramaga kota Hujan, 18 Nov
2014_TSA_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar