Sabtu, 22 November 2014

“Hijabku Pilihanku”

“Hijabku Pilihanku”


“Kring kring kring” bunyi nada alarm  yang berasal dari Hpku. Dengan kondisi setengah sadar dan kaget karena bunyi alarm tersebut tanganku bergerak meraba-raba ke arah hp. Sekejap hp sudah ditangan, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 05.00. Aku pun beranjak dari tempat tidur bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan menunaikan shalat shubuh. Selesai shalat aku bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Setengah jam kemudian aku sudah rapi dengan celana jeans berwarna biru andalanku yang dipadukan dengan kaos putih dibalut dengan jaket jeans, kali ini aku memakai kerudung berwarna pink tua. Sederhana, simpel dan membuat aku nyaman.

“mom, mamah heeee” teriakku dari kamar menuju dapur sambil menjinjing tas kebanggaanku. “iya sayang, ayoo sarapan dulu” pinta mamah dengan lembut. “gak ah mah, Cha berangkat aja ya uda ditungguin Aldi” ucapku manja sambil mengambil dua potong roti kemudian memasukannya ke dalam tempat makan. “yaudah kalau gitu tambahin lagi rotinya” mamah mengambil tempat makan dari tanganku dan memasukan dua potong roti lagi. Aku hanya mengangkat bahuku kemudian kuteguk segelas susu hangat buatan mamah yang sudah dari tadi ada di meja makan. “oke mah, Cha berangkat ya. Assalamualaikum” aku kemudian mencium tangan mamah dan mengambil tempat makan berisi roti dan meleos ke luar rumah.

Setiba di depan rumah Aldi sudah setia menungguku dengan sepeda motor vespa tua warisan dari papahnya. “sorry ya Di lama, biasa mamah rempong” aku menghampiri Aldi dan langsung ambil posisi duduk di jok belakang. Aldi tersenyum manis “oke princess ini pake dulu helmnya” Aldi memberikan helm padaku.

Seperti biasa pagi itu aku dan Aldi akan memulai petualangan kami, dengan malu-malu aku meletakkan tanganku dipinggang Aldi dan kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Aldi hanya tersenyum kecil. Lelaki yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya itu sungguh sangat menawan ketika melontarkan senyuman. Bukan tampan tapi hitam manis biasa ku menyebutnya. 

Pagi itu, dalam perjalanan ke kampus.. vespa unik milik Aldi melaju dengan kecepan sedang karena aku tidak suka ngebut. Aku melepaskan tanganku dari pinggangnya Aldi. Ku rentangkan kedua tanganku seakan pasrah menerima belaikan angin yang menyentuh lembut tubuhku. Sesekali aku menghirup udara yang masih segar di kota Bandung ini.. Aldi hanya mengeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah konyolku. 

Sesaat suasana menjadi sunyi diantara kita, hanya deruan suara motor vespa Aldi yang sudah mulai tua, sesekali ditimpali oleh suara kendaraan lain diseberang jalan sana. Dengan suara yang samar-samar terdengar aku berteriak. “Aldi my prince marry me haaaa” teriakku melawan kencangnya angin ditengah perjalanan. Aldi menoleh kebelakang dengan tatapan penuh kasih sayang. “yes I do” katanya diiringi senyuman manisnya. Kita tertawa bersama. Aneh rasanya, bukankah harusnya seorang laki-laki yang melamar perempuan. Namun mengapa aku begitu “pede” dengan celoteh yang berhasil mengocok perut kami, aku dan Aldi.

Begitulah kedekatan dan keakraban dinatara kita bagaikan tak ada ruang yang memisahkan. Bercanda bersama, tertawa dengan kegilaan-kegilaan yang tak ada hentinya. Bahkan ketika kita beradu argumen atau hanya sekedar ngobrol biasa seakan tak ada habisnya topik yang kita bahas. Dekat, nyaman dan menentramkan jiwa. 

**
Tidak terasa angin sudah berbaik hati, dia tak lagi menahan suaraku dan mengizinkan aku bersahabat dengannya. Kami tiba di kampus. Aldi melaju dengan kecepatan tinggi setelah melakukan tugasnya mengantarkan aku ke kampus.


***
Setiba di kampusnya, seperti biasa setelah memarkir vespa antiknya Aldi bergegas ke kelas. Lelaki berperakawakan tinggi dengan kulit sawo matang itu adalah mahasiswa semester 3 jurusan Arsitektur di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tepat sekali dia memilih jurusan tersebut karena dia memiliki bakat seni yang luar biasa. Dia mahir memainkan senar gitar dengan jari-jemarinya yang lentik dan kian lincah. Dia juga jago nyanyi walau tak sekeren Afgan. Dan dia juga pantas mendapatkan pujian atas kreativitasnya dalam dunia lukis. Maka tak heran aku sering terkagum-kagum ketika tiba-tiba dia membuatkan aku sebuah lagu kemudian menyanyikannya dihadapanku. Hati ini tidak dapat menahan rasa haru dan bahagia, tak terasa butiran halus menitik dipojok mata kiriku ketika suara lembutnya melantunkan syair cinta. 

Itulah dia pemilik nama lengkap Aldi Putra Gumilar yang berhasil mengisi ruang hatiku, lain halnya denganku yang baru mau menjajaki dunia sosial yang dari kecil tak pernah terbayangkan dibenakku. Aku keterima di Universitas Islam Negeri (UIN) jurusan ilmu sosial dan Humaniora. Aku yang dari SMP dan SMA memiliki basic eksak harus berhadapan dengan yang berbau sosial. Sungguh bagaikan masuk ke dalam lubang buaya. Namun itu hanya perasaan diawal saja, ketika aku mulai memasukinya, mengenali dan menikmatinya akupun menemukan passionku. Dimana aku merasa senang dan bahagia ketika berhubungan dengan pelajaran yang pertamanya aku benci. 

Aku menemukan duniaku disini, seakan aku enggan melewatkan bahkan walau hanya satu moment. Yang ingin aku lakukan adalah berbagi dan berbagi. Sekarang aku memulai keterlibatanku di dunia kampus. Aku tergabung di wadahnya orang-orang yang mau menuangkan idenya untuk sesama terlebih bangsa ini, “Komunitas penulis kampus” biasa anak-anak menyebutnya. Iya, aku berbagung didalamnya. Menyenangkan dan penuh kehangatan itulah suasana yang selalu dihadirkan sahabat-sahabat komunitas penulis kampus. 

**
Setelah berpisah di depan kampus dengan Aldi yang mengantarku, aku kembali menelusuri koridor kampus. Jam sudah menunjukan pukul 07.10 namun suasana masih belum terlalu ramai untuk ukuran kampus ini. Aku berjalan dengan suara sepatu yang sedikit diseret, tas yang sedikit berbau cowok pun selalu setia kugendong dipunggungku. Aku berjalan sendirian menyusuri koridor kampus yang masih terlihat lengang hanya ada petugas kebersihan yang tengah menyapu dan beberapa mahasiswa yang lewat, sesekali aku menyapanya. 

Dari kejauhan aku menajamkan pandanganku ke depan, terlihat segerombolan cowok urakan “preman kampus” begitu julukan untuk meraka. Aku mulai resah melihat tatapan mereka yang bagaikan lelaki hidung belang yang siap menerkam. Konon katanya teman-teman perempuan kelasku ada beberapa yang pernah diganggu mereka. Aku pura-pura tidak takut, ku ambil headset dari tas lalu ku hubungkan dengan hp dan kupasang ditelingaku. Dengan sikap cuek aku melenggang dengan aman. 

Siapa yang tidak mengenal aku di kampus ini, “si kritis” begitulah panggilanku ditengah-tengah kumpulan mahasiswa UIN Bandung. Melalui tulisanku aku mengkritik, memberi saran dan gagasan untuk pihak kampus dan pemerintah. Aku ingin ada keterlibatan tangan dan pikiran mahasiswa disetiap lembaga dan pemerintahan yang berkecimpung dalam urusan rakyat. Ada suatu panggilan jiwa disana maka tak heran jika selalu ada yang aku soroti disetiap langkah politik baik di kampus ataupun di pemerintahan Indonesia. 

Gerombolan yang kebanyakan menjadi momok buat anak-anak lain tak menunjukan kenyaliannya. Meraka hanya menyapaku dengan melambaikan tangannya sambil berkata dengan gaya khasnya yang sedikit “alay” “selamat pagi princess kritis” setelah itu mereka pergi berlawanan arah denganku. Aku hanya tertawa kecil, itu adalah ekspresiku ketika tak lagi mampu menahan kelucuan yang menggelitikiku. 

Aku memasuki kelas dengan headset masih terpasang di telingaku, tanganku masih menutupi mulutku dengan bibir tipis yang ketika senyum keindahannya bagaikan mawar yang pertama kali mekar ditangkainya. Tanpa sadar pintu kelas sudah aku buka, dipojok kanan kelas sudah ada Noor dengan kerudung merahnya yang memberikan nuansa terang di dalam kelas, spontan melambai-lambaikan tangannya dan sesekali mengngguk. Isyarat dia menyuruhku duduk di sampingnya. Aku berjalan menuju kursi dimana Noor si lincah sahabatku itu duduk. Kelas sudah mulai ramai aku tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun suasana menjadi sangat gaduh karena sumber suara hampir dari setiap penghuni kelas. Sibuk dengan dunia masing-masing, maklum dosen belum datang.

Aku duduk tepat disamping Noor. Dia langsung meraih tanganku dan menatapku seakan ingin mengintrogasiku. Dengan tatapan penuh penasaran dia mengungkapkan rasa penasarannya. “Cha kamu diapain tadi sama “ayam kampus” eh “preman kampus” maksud aku”. Noor tersenyum “meseum”. Dia memang seperti itu lincah tapi seperti Soimah lumayan buat selingan penat yang sewaktu-waktu mendera. Aku melepaskan genggaman tangannya yang menurutku sedikit “alay”. “gak diapa-apain kok, Cuma disapa aja” tukasku singkat lalu kutumpukan tangan di dagu, tatapanku kosong melihat papan layar di depan kelas. Sedikit ku berpikir darimana Noor tahu kalau tadi aku bertemu dengan preman kampus. Entahlah.. 

Pembicaraan kita terpotong karena dosen sudah datang dan proses belajar pun dimulai. 

**
Waktu belajar di kelas terkadang membuatku merasa bosan. Teknik mengajar dengan cara ceramah hanya bisa aku ikutin 20 menit pertama, selanjutnya aku merasa kesulitan untuk mendapatkan sisi fokusku. 

**
Jam matakuliah selesai.. Noor dan teman-teman yang lain langsung berhamburan. Tujuan meraka berbeda-beda, ada yang pergi ke kantin, mushola, sekret atau sibuk mengurusi rapatnya karena acara sudah di depan mata. Hanya aku yang belum beranjak dari tempat duduk karena aku menolak ajakan Noor untuk pergi ke perpus.

**
Taman depan lab komputer yang berbentuk segitiga karena diapit oleh beberapa bangunan lain menjadi pilihanku. Terdapat tempat duduk yang nyaman dan sejuk karena tepat dibawah pohon ketapang yang rindang. Aku duduk dengan posisi kaki disilangkan dan tanganku tidak lepas dari Novel karangan favoritku Tere Liye. Beberapa kali aku hempaskan nafasku yang panjang seakan aku telah melakukan balap lari maraton. Tenang dan damai tanpa gangguan Soimah yang biasanya mengocok perutku.

Dalam proses aku menarik nafas panjang terlintas dalam benakku sosok Aldi membayangi suasana santaiku pagi itu. Aku mengingatnya dan memikirkannya. Iya betul, aku dan Aldi sudah dua tahun pacaran, kita memulai hubungan itu sewaktu masih duduk di bangku SMA. Entah mengapa aku dan Aldi seakan memiliki ideologi yang sama dan kesukaan yang sama. Dan itulah yang membuat aku merasa nyaman bersamanya. 

Aku yang masih minim pengetahuan agama tak begitu mengkhawatirkan hubungan kita. Karena selama kami hubungan kami masih berada dalam batas kewajaran. Karena aku hanya mengijinkan Aldi dan aku berpegangan tangan saja. Tidak kontak fisik yang lainnya yang bersifat berlebihan. Karena itu sudah menjadi prinsip aku.

Aku masih fokus memikirkan kekasih hati, tiba-tiba terkagetkan dengan datangnya seorang wanita cantik dengan dibalut pakaian muslimah berwarna biru yang menutup rapat tubuhnya, kerudung panjangya yang sengaja dia julurkan menutupi dada dan bahunya menambah kecantikannya. Wanita itu sebaya dengan aku mungkin dia satu angkatan denganku atau kaka tingkatku. Akau hanya menebak-nebak dengan wajah penuh rasa penasaran. Bagaimana tidak aku yang berpenampilan celana jeans ”beulel” dengan baju yang masih belum rapi dihampiri wanita dari surga. Aku tercengang dan masih bergeming. 

Tiba-tiba suara lembut itu membuyarkan rasa penasaranku. “Assalamualaikum, punten ka” suaranya sangat menyejukan. Dia duduk di sampingku dengan anggun. Aku tersenyum kemudian memperbaiki posisi dudukku menjadi lebih anggun. “waalaikumsalam, iya silahkan” jawabku sambil menatap lekat wajahnya. “hemm apakah betul kaka dengan ka Rasya Indica Sumardi?” dia mulai membuka percakapan diantara kita. “iya betul saya Rasya biasa dipanggil Cha, ngomong-ngomong ada apa ya?” Jawabku sambil balik nanya. “saya Ainun ka anak bahasa inggris semester 3” dia memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Aku mengangguk kemudian meraih dan menjabat tangannya dengan penuh semangat seperti gaya aku berjabat tangan. “oh, kalau begitu jangan panggil saya kaka, panggil saja saya Cha soalnya saya juga baru semester 3” jelasku mengajak dia agar sesantai mungkin.

Iya aku Rasya Indica Sumardi pemilik nama lengkap dari Cha biasa dipanggil. Karakter yang supel, pemilik hidung yang mancung dan mata yang agak sipit, kulit yang putih, tinggi yang semampai dan pemilik senyum yang indah namun aku sendiri tak menyadarinya. Itu hanya kata-kata orang yang biasa komentar di blog pribadi aku ketika aku ngepost tulisanku.

**
Angin berhembus menembus sela-sela bangunan dan pohon-pohon kecil di depan gedung kuliah akhirnya sampai ditelingaku dan berbisik pelan. Suasana sejuk seakan mengiringi pembicaraan aku dengan Ainun. Dia adalah mahasiswa dari jurusan bahasa inggris yang mewakili LDFnya untuk menjadi anggota di komunitas penulis kampus. Tapi dia fokus dibidang dakwah dan keislaman lainnya. Aku menerima idenya dan mengiyakan akan mengurus kenggotaannya segera. Walaupun aku baru semester 3 tapi di dalam komunitas ini aku berperan penting, jadi tidak masalah. 

**
Seakan bertemu dengan sumber air ditengah padang pasir. Aku yang haus akan ilmu agama namun masih kurang pendorong kini seakan menemukan oase kehidupan yang nyata. Entah mengapa aku semakin tertarik dengan dunia mereka LDF (Lembaga Dakwah Fakultas). 

***
Sepekan, sebulan sudah Ainun berada diantara kami. Terlebih Ainun sudah menjadi bagian dalam keseharianku sekarang. Aku yang mudah akrab kian dekat dengannya. Begitu banyak ilmu tentang keislaman yang aku dapatkan darinya. Tulisan Ainun yang bertemakan dakwah islam selalu dimuat diharian kampus. “Dia juga berbakat” sanjungku pada Ainun.

***
Suatu malam aku tidak bisa tidur mataku tetap terjaga, sebentar tertutup tapi langsung mengerjap seakan ada yang memaksaku untuk bangun. Aku masih teringat kata-kata Ainun siang itu di kampus. Ceritanya masih terngiang ditelingaku. Bahkan yang anehnya setelah mendengarkan cerita Ainun, saing itu aku tidak pulang bareng Aldi. Aku beralasan ada kumpul dadakan kumunitas penulis kampus yang tidak bisa ditinggalkan, ketika Aldi menelponku. Padahal aku hanya merenung sambil mendengarkan musik dari hapeku. Sore itu aku pulang naik bis. Aku duduk di pinggir sendirian, kusandarkan kepalaku di jendela bis yang berembun. Walaupun terlihat tidak jelas aku masih dapat merasakan syahdunya ketika jutaan rintik air turun membasahi bumi yang telah lama merindukannya. Iya, sore itu Bandung Hujan.

Mungkin jika sore itu aku pulang bersama Aldi, teriakan aku akan menyapa hujan yang selalu memberikan nuansa romantis. Terlebih kita akan melewati sore dengan menikmati senja dengan jingganya yang elok. Suguhan bakso kang Armin pun semakin membuat suasana hujan menjadi semakin romantis. Seperti hari-hari yang telah lalu selama aku bersama Aldi. Namun tidak untuk sore itu.

**
Tak terasa subuh telah menyapaku dengan bulatan jingga yang memerah siap muncul dan meninggi di langit biru-Nya. Entah mengapa aku begitu khusu dalam doa pagiku. Sampai-sampai ada butiran sejuk perlahan menetes membasahi pipi lembutku. Bagaikan secercah cahaya telah datang menghampiriku. Aku tidak begitu tahu perasaan apa yang tengah bergejolak dalam relung terdalamku. Mungkin Ainun telah menjadi perantara-Nya untuk menuntunku menuju cahaya-Nya.

**
Pagi itu, kicauan burung milik ayah seakan menikmati suasana baru, sang mentari terlihat iri karena merasa tersaingi dengan warna yang lebih cerah darinya. Tak terasa sudah satu bulan aku memutuskan untuk merubah penampilanku. Aku sudah mengikhlaskan celana jeans kesayanganku, baju-baju modis yang selama ini menjadi pelindungku sekaligus mempercantik penampilanku. Kini aku punya style yang datang dari surga. Semenjak pertemuan ku dengan Ainun, aku semakin tertarik tentang islam dan aku semakin penasaran dengan ungkapan dan cerita-cerita Ainun tentang muslimah. 

Betapa Allah dan islam begitu mengagungkan wanita muslim yang shaleha. Islam memerintahkan kita dengan penuh kelembutan untuk menutup aurat yang sempurna. Tidak memperlihatkan lekuk tubuh apalagi transparan. Karena itu tidak sesuai dengan firman-Nya. Sedangkan gaya berpakaian aku selama ini alakadarnya bahkan hampir mirip cara berpakaian laki-laki, terlebih aku dan Aldi pacaran. Ya Allah betapa bertumpuknya dosaku, betapa aku tidak mematuhi ajaran-Mu. Namun aku yakin Allah maha pengampun bagi hamba-Nya yang mau berhijrah menuju jalan-Nya. Aku terus merungi dan selalu menangis haru ketika bersimpuh dihadapan-Nya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menurunkan jilbabku dan menggunakan pakaian yang lazimnya dipakai wanita yaitu rok dengan baju yang agak longgar. Tetap simpel, aman dan nyaman. 

Entah perasaan apa ini, namun aku seakan telah menemukan cahaya yang selama ini aku cari. Iya, iman itu semakin mantap menyertaiku. Namun bukan perubahan jika tanpa rintangan. Dalam proses hijrahku menuju cahaya-Nya aku dihadapkan dengan berbagai ujian, berupa penolakan dan protes keras dari orang tua, sahabat dan teman-teman terdekatku. Terlebih jika Aldi tahu, dia pasti akan heran dan kaget dibuatnya. 

Iya, semenjak keputusanku menggunakan jilbab syar’i dan lebih mendekatkan diri pada-Nya. Aku belum pernah bertemu dengan Aldi apalagi memberikan penjelasan padanya. Selama satu bulan ini aku selalu beralasan apapun itu asal tidak bertemu dengannya. Tapi alasannku memang benar adanya bukan sekedar mengada-ada. Beberapa pekan ini aku, Ainun dan teman-teman komunitas penulis kampus tengah disibukan dengan proses penerbitan buku perdana kami yang berjudul “Aku bersama-Nya”. 

***
Aku juga cukup mengerti ketika sore itu pulang dari rumah Ainun. Tepat di depan pintu rumah aku mengucapkan salam “assalamualaikum” mamah terperanjak dari posisi duduknya dan menghampiriku dengan wajah dipenuhi rasa kaget. Mamah memegang bahuku kemudian membolak-balikan badanku melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Cha, kamukah ini? Anak mamah?” suara mamah memberat. “iya mah, ini Cha anak mamah dan papah satu-satunya.” 

Aku memeluk mamah. Sesaat kemudian mamah melepaskan pelukanku dan menatapku lekat. “kenapa seperti ini sayang? Siapa yang memberi kamu baju ini? Mana anak mamah yang cantik? Yang ada dihadapan mamah kok seperti ibu-ibu beranak dua.” Mamah seakan merasa terpukul dengan perubahanku yang tanpa memberitahu mamah sebelumnya. Karena waktu itu aku diberikan baju sama Ainun ketika mengerjakan deadline buku di rumahnya.
Aku tidak menjawab pertanyaan mamah yang cukup banyak itu. Aku hanya meraih tangan lembut mamah dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Wanita yang sudah tidak muda lagi namun tetap terlihat segar dengan balutan daster bunga-bunganya tak lepas dari pandanganku. Aku duduk disebelah mamah, menghadap mamah dan terus menatapnya sambil ku gemgam tangannya. Mamah membalas tatapanku. Setelah mereda baru ku jelaskan semua yang telah terjadi padaku sampai aku mau merubah penampilanku 180 derajat. 

“Mah ini Cha anak mamah yang cantik, yang sangat menyanyangi mamah dan papah. Tapi Cha juga sayang sama ALLAH dan Rasulullah. Cha gak mau menghianati-Nya, Cha gak mau membantah perintah-Nya. Cha lebih suka seperti ini mah, lebih anggun dan sopan.” Dengan suara lembut sedikit bergetar aku mencoba menjelaskan pada mamah. Namun mamah hanya terdiam dengan bibirnya yang terkatup seakan tak ingin mengeluarkan suranya walau sebentar. 

Aku kembali memeluk mamah, karena aku yakin dengan kelembutan dan nurani mamah pasti mengerti. “Mah, maafin Cha kalau Cha menyakiti hati mamah, sungguh tidak ada niatan dalam hati ini.” Aku mulai terisak dalam pelukan mamah. “Izinkan Cha untuk lebih dekat dengan-Nya tanpa mengurangi bakti Cha sama mamah dan papah.” Aku terus berucap dengan air mata yang perlahan meleleh. Mamah mengelus-ngelus punggungku yang dibalut dengan kerudung panjang berwarna hijau tosca. “Mamah hanya khawatir dan ketakutan sayang, mamah takut kamu terhipnotis atau mengikuti aliran-aliran yang tidak kita ketahui. Mamah takut kehilangan anak mamah satu-satunya.” Mamah lebih terisak daripada aku. “Baiklah mamah mengerti jika itu adalah yang terbaik buat Cha. Mamah setuju sayang.” Mendengar pernyataan setuju mamah aku tak mampu membendung persaan haru campur bahagia ini. Aku memeluk mamah lebih erat dan menuangkan dengan tangisan haru.

Aku mengerti jika mamah memiliki pikiran sepeprti itu, sungguh sesuatu hal yang wajar. Karena keluarga kami tidak memiliki latarbelakang keluarga ustad atau tokoh agama yang mengerti lebih dalam tentang agama. Aku bahagia telah mendapatkan lampu hijau dari mamah terlebih papah. Karena papah selalu menuruti apapun yang baik untuk putrinya.

**
Malam kian menyapa aku dan mamah sudah berada di kamar tempat peraduan dan melepas penat kita seharian. Terima kasih ya Allah Engkau telah memudahkan aku menuju cahaya-Mu. Akupun terlelap.

**
Pagi itu hari pertamaku dengan jiwa dan penampilan baru. Berbagai protes dan pertanyaan yang tak henti-hentinya menyapaku sepanjang aku berada di kampus. Mulai dari pertanyaan teman-teman hingga dosen yang dekat denganku.
“Cha ini kamu, yakin?”
“Cha kamu abis minum obat apa semalam?”
“Subhanallah Cha lu ngigo ya?”
“Cha kok tiba-tiba kamu jadi pake rok gitu sih”
Dan serentetan pertanyaan dan ungkapan protes lainnya. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan ucapan dari bibir indah itu “Insya Allah hanya karena Allah”.
Perlahan tapi pasti semua dapat diatasi dan merekapun kian mengerti setelah tiga pekan aku melawati masa-masa adaptasiku yang cukup menguras air mata dan ujian kesabaran. Sekarang aku sudah terbiasa dengan aku yang seperti ini dan merekapun menerimanya.

***
Sore itu, aku menatap pada kejauhan, hanya riak-riak air di lautan luas yang sesekali terhempaskan oleh ombak yang tiba-tiba datang menerjang. Aku duduk diantara bebatuan di pinggir dermaga. Angin, deburan ombak seakan menjadi pengobat penat di hati dan pikiran. Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Kembali ku memuji-Nya, “subhanallah, pantainya indah sekali.” Ucapku dengan nada pelan. Sesekali ku melihat jam tangan yang kupakai di lengan kiriku. Seakan pertanda bahwa aku tengah menunggu seseorang. Iya, disini aku akan bertemu dengan Aldi setelah dua bulan tak bersua apalagi bertatap muka. Mungkin dia sudah sangat merindukanku. 

Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan pikiranku. Spontan aku menoleh ke belakang, terlihat Aldi sudah dekat dari pandanganku. Aku beranjak dari dudukku, ku hampiri dia dan ku sapa dengan salam. “Asslamualaikum, Di” sambil menangkupkan kedua tanganku dan meletakkannya di depan dada. “Waalaikumsalam.” Aldi terheran-heran sambil mengambil kembali tangannya yang sempat dia sodorkan pertanda mengajak salaman. 
“Di, makasih sudah datang kesini, sebelumnya Cha minta maaf.” Aku mulai membuka pembicaraan, suasana menjadi kikuk dan sunyi. Walaupun di pinggir dermaga banyak orang dengan kepentingannya masing-masing, namun suasana diantara kami hening tak ada suara. Aku masih tertunduk dan Aldi membuang tatapannya ke arah pantai. 

“Maafin Cha, selama ini gak ngabarin. Cha bingung mau memulai dari mana?” dengan suara bergetar aku memberanikan diri untuk mengungkapkan semuanya. Aldi masih tak bergeming. “Cha memutuskan untuk berhijab dan mendekatkan diri pada Allah. Jadi Cha mohon hargai keputusan Cha. Dan sepertinya Cha tidak bisa melanjutkan hubungan kita seperti dulu lagi, karena itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah.” Aku terus bercerita seakan tak memperdulikan siapa yang ada dihadapanku. Dia adalah laki-laki yang selama dua tahun bersamaku, mengisi hari-hariku dengan penuh canda, tawa dan bahagia. Namun mengapa tiba-tiba aku datang untuk mengakhiri mimpi indahnya. Aku terus berdoa dalam hati semoga Aldi bisa menerima dan tidak marah padaku. Sungguh aku sangat egois.

Aldi menatapku dengan tatapan marah. “Cha denger yah, maksud Cha apa coba dengan mudahnya bilang putus. Cha uda lupa dengan janji kita bahwa kita akan terus bersama apapun yang terjadi,Cha lupa?” nada bicara Aldi sedikit membentak sehingga aku tiba-tiba merasa takut dan memejamkan mataku dalam tundukku. “Inget ya Cha, dakwah itu gak harus langsung seperti ini, perlahan Cha. Dan gak boleh main putusin orang gitu aja dong”. Aldi kembali bicara dan sesekali membuang pandangannya ke arah pantai sambil meletakkan tangannya di pinggang, giginya menggigit bibir bawahnya. Laki-laki berperawakan tinggi ini mulai terlihat karakter aslinya ketika dia marah. 

Aku menarik nafas dan mengumpulkan kekuatanku. “Ya Allah beginikah rasanya, sakit yang harus hamba terima?” gumamku dalam hati. “Di sebelumnya Cha mohon maaf, tapi jika kita terus bersama itu hanya akan membuat kita terjatuh kelubang kenistaan.” Aldi terdiam. “Banyak pasangan di dunia yang hidup bahagia berdampingan, tapi mereka saling bermusuhan ketika di akhirat. Karena meraka mengawalinya dengan sesuatu yang salah yaitu pacaran, perbuatan yang dibenci dan dilarang Allah.” Bagaikan penceramah aku terus meluncurkan kata-kata yang sekiranya membuat Aldi mengerti. Namun pikiran Aldi tak sesederhana yang aku bayangkan. Aldi hanya diam tak menjawab. 

“Cha yakin ini adalah yang terbaik untuk kita Di, Cha mohon kamu mengerti.” Aku memohon dan tak terasa pipi putihku telah basah oleh air mata. Tiba-tiba Dia kembali menatapku lekat dan berkata dengan nada agak tinggi. “Terus mau kamu apa? Kita putus? oke, mulai sekrang kita putus lakukan apa yang menurut kamu benar dan baik buat kamu.” Kalimat terakhir yang aku dengar dari Aldi yang kemudian dia meleos pergi dengan motor vespanya yang diparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aldi meninggalkanku tanpa ucapan selamat tinggal, semakin jauh dan bayangnnya hilang dari tatapanku yang dihalangi air mata yang turun sangat deras. Iya, aku menangis dalam sendiri dan sepiku. Aku tidak mengerti mengapa harus seperti ini. Namun aku yakin ini adalah keputusan yang terbaik untuk aku dan Aldi.

**
Apapun alasannya pacaran itu memang tidak diperbolehkan oleh Allah. Walau tidak pernah bertemu, hanya pegangan tangan saja atau apapun sebutannya tetap saja zina itu akan selalu menyertainya. Walaupun pacaran tidak berakhir zina namun pacaran akan selalu mendekatkannya. Sedangkan Allah telah berfirman “Jangan kalian mendekati zina”.

**
Senja kembali menyapa dengan jingganya, angin membelai dengan lembut, deburan ombak sesekali mengagetkanku yang masih berdiri di depan dermaga. Perlahan ku usap air mata yang meleleh di pipi. Udara sejuk pantai tak hentinya ku hirup dengan penuh kesyukuran. “Ya Allah, aku pasti kuat dengan semua ini. Aku pasti dengan cepat dapat melupakan dia.” Bisikku sambil mengepalkan kedua tanganku.

Kemudian ku ambil HP dari saku rokku.

 Aku hanya ingin lebih dekat dengan-Nya, karena hanya dengan mengingat-Nya hati ini menjadi tenang. Jika Allah mentakdirkan kita untuk bersama, insya allah kita akan bertemu lagi di waktu yang tepat. Pun jika kita tidak untuk bersama maka yakinlah Allah pasti telah menyiapkan yang terbaik untuk kita, Aamiin.”

 
“klik” bunyi keypad hpku, barusan aku mengirim sms pada Aldi sebagai ucapan selamat tinggal. Kemudian kulangkahkan kakiku menuju motor matic kesayanganku yang terparkir tepat disampingku. Dan aku melaju dengan tenang dengan ditemani suasana senja yang sebentar lagi tergantikan indahnya malam penuh dengan bintang.

Aku percaya dengan berprinsip pada islam maka kita akan selamat. Aku telah memilih hijabku sebagai prinsip dan merelakan sang pangeran impian. 

Setelah mengenal islam dengan baik, buatku pasangan hidup yang baik adalah bukan dia yang jago memainkan gitar dan bersura merdu ketika bernyanyi. Namun dialah yang berprinsip pada islam yang senantiasa menuntun kita menuju surga-Nya. Tidak hanya hidup bahagia di dunia tapi di surga-Nya karena semuanya dilakukan ikhlas karena-Nya dengan cara yang benar dan halal dihadapan-Nya. Begitulah, dengan bangga aku berteriak melawan angin senja “Hijabku pilihanku.” Kemudian gas motorpun ditanjap hingga 60 Km/jam, itu adalah pertama kalinya aku ngebut.

**
Wahai sahabat, perkara jodoh, takdir dan maut sudah tergariskan oleh Allah SWT dan itu tidak dapat ditawar. Tetap percaya bahwa wanita baik untuk laki-laki baik, laki-laki baik untuk wanita baik. Dan begitu sebaliknya. Tugas kita adalah berusaha menjadi lebih baik, mendekatkan diri pada-Nya dan memantaskan diri dihadapan-Nya. Karena menikah itu mungkin tapi mati itu pasti. 

Dan bukan Allah yang memberikan kita sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi karena kita yang tidak mengupayakannya. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri.”


Salam cinta dari Dramaga kota Hujan, 18 Nov 2014_TSA_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar