Ketika
Hendak Menyerah
Terdengar sayup-sayup dari luar ruangan
suara percakapan antara dua orang yang pembicaraannya sangat serius. Ya, itu
adalah sauara percakapan aku dengan dosen pembimbingku. Aku yang berstatus
sebagai mahasiswa tingkat akhir memang sedang dituntut untuk disiplin karena
sudah dikejar target. Namun aku yang masih suka menunda terjebak dalam satu
kata yaitu “malas” yang akhirnya mengantarkanku pada penundaan selanjutnya.
Tentu ini adalah salahku, namun haruskah berakhir dengan sebuah peringatan yang
menyakitkan?. Ya, itulah hak dosen kepada mahasiswa yang tidak kompeten
sepertiku.
“Selama itu dapat kamu lakukan
sekarang, mengapa harus ditunda nanti?. Silahkan pulang dan segera kerjakan”.
Percakapan aku dan dosen pembimbing
berakhir disitu. Percakapan yang terjadi di dalam suatu ruangan kecil namun
tertata dengan rapi sehingga memberikan suasana nyaman. Aku keluar dari ruangan
tersebut dengan muka tertunduk seperti anak kecil yang kehilangan uang
jajannya. Kecewa dan tak bersemangat itulah yang aku rasakan pada saat itu.
Aku berjalan dengan tatapan mengarah
pada lantai lesu tak bersemangat, seperti itulah gambaran keadaanku pada saat
itu. Sekejap aku menghentikan langkahku disebuah lorong di fakultasku. Kulihat
susana sepi tak ada seorangpun yang biasa lewat di lorong ini. Aku duduk dengan
tangan menutupi mulutku menahan tangis. Iya, aku ingin menangis bahkan rasanya
aku ingin mengangis dipelukan mamah. Mungkinkah?
Aku merogoh saku dan kuambil HP, aku
menulusuri riwayat panggilan dan mataku tertuju pada tulisan “My Mom” kusentuh
dengan tangan sesaat kemudian terdengar suara lembut di seberang sana tanpa
menunggu lama. “Hallo, assalamualaikum, neng*.” Sapa mamah penuh kelembutan.
Aku hanya mengigit bibirku dan menahan tangisku sekuat yang aku bisa. Karena
sejujurnya aku tidak ingin mamah tahu apa yang sekarang tengah aku hadapi.
Penelitian yang tertunda, peringatan dari dosen yang menyayat hati. Ah, itu hal
biasa yang seharusnya bisa aku atasi sendiri. Setelah berpikir panjang dan rumit
aku kembali teringat mamah yang mengunggu jawabanku.
Dengan suara serak aku memberanikan diri
bicara pada mamah. “Waalaikumsalam mah.” Jawabku pelan. “Kenapa, ada apa, sudah
pulang kuliahnya, sudah makan?” serentetan pertanyaan yang biasa mamah lontarkan
ketika aku menelpon beliau. Aku menimpalinya dengan nada rendah tanpa semangat.
“Sudah mah, cuma kalau makan belum.” “Loh kenapa belum?” bal bla bla ibu nyerocos seperti biasa. Aku hanya mengiyakannya
agar beliau menghentikan omelannya yang sebetulnya untuk kebaikanku juga. Aku
mulai bicara serius “Mah neng capek, lelah mah.” Aku sudah tak tahan lagi
membendung buliran bening itu dan aku membiarkannya jatuh, tumpah serta merta
dengan kesedihan yang dari tadi kutahan.
Di seberang sana mamah kebingungan dan
untuk mencegah mamah menanyakan lebih lanjut aku buru-buru pamit dan menutup
telpon. “Udah dulu ya mah, neng mau makan dulu.” Ucapku dengan suara yang
sedikit ditahan dan mamah menutup percakapan kita ditelpon dengan untaian doa
terbaiknya untuk aku anak tercintanya.
Jujur tidak perlu waktu lama untuk aku
meluapkan rasa kecewa dan sedihku. Cukup dengan menangis ketika aku
menginginkannya. Aku masih terkesan kanak-kanak bukan? Itulah aku pemilik nama
lengkap Firda Ayu Fathiya (bukan nama sebenarnya) 21 tahun. Mungkin beberapa
teman sebayaku diusia segitu sudah ada yang bisa membahagiakan orang tuanya,
menjadi isteri yang baik bagi suaminya, menjadi ibu yang baik untuk
anak-anaknya dan menjadi kebanggaan seluruh pihak kampus dengan segudang
prestasi yang diraihnya. Sedangkan aku, diusia yang harusnya sudah menjadi
orang yang cukup dewasa, berwawasan luas dan mampu mengendalikan diri. Itu
semua tidak ada pada diriku, aku yang masih menengadahkan tangan pada mamah dan
papah, aku yang masih nangis ketika mendapat sedikit tekanan, aku yang manja
dan haus perhatian dan tidak jarang ceplas-ceplos ketika bicara sehingga
membuat beberapa teman merasa tersakiti karenanya. Mengapa?
Aku tidak mengerti mengapa demikian,
mungkin karena lingkungan keluarga, sahabat dan teman-teman yang mendukung
karakterku? Mamah yang sayang sama aku tidak mengizinkan aku untuk sekedar
mengajar les privat yang menurutku tidak begitu capek dan bisa membantu
pemasukanku. Dengan alasan takut aku kecapean dan keteteran mamah tetap tidak
mengizinkanku terlebih waktu mengajarnya malam hari. Akhirnya aku harus
berhadapan dengan kaka kelas dan memasang muka meyakinkan kalau aku disuruh
fokus sama mamah. Huft.
Papah yang ketika memberikan uang saku
tidak pernah menuntut apa-apa hanya satu pintanya, yaitu aku makan sehat dan
tetap sehat. Ketika aku melontarkan kalimat seperti ini apa tanggapan papah.
“Pah, jatah bulan ini neng bagi dua sama mamah yah, mau belajar hemat.” Kataku
manja. Seperti biasa papah menolak. “Jangan itu buat neng aja kan lagi banyak
keperluan.” Yang pada akhirnya membuatku merasa aman.
Begitu pun sahabat-sahabat yang selalu
mensuport, mereka setuju ketika aku menceritakan bahwa aku berhenti dari
organisasi. Karena mereka tahu seperti apa kemampuan fisikku. “Jangan terlalu
memaksakan Fir, percuma kamu berorganisasi tapi sakit-sakitan, kuliah
terbengkalai.” “Kalau kamu belum bisa memanaje
diri kamu sendiri jangan deh coba-coba itu cuma akan menambah dosa karena tidak
amanah.” Dan serentetan komentar lainnya yang silih berganti melintas
ditelingaku.
Mungkin, bisa jadi itu juga salah satu
faktor pembentuk karakterku. Tapi aku tetap bangga jadi diri sendiri
bagaimanapun aku sangat menghargai diriku yang sekarang. Berharap suatu saat
bisa lebih dewasa.
***
Malam itu aku kembali menangis memecah
kesunyian kamar yang berukuran 3 x 2.5 m itu. Aku menangis dengan pikiran penuh
kebingungan. Apa yang harus aku lakukan untuk menunjukan kepada dosen bahwa aku
tidak main-main, namun aku sangat bersungguh-sungguh. Metode penelitian sudah
jelas namun bahan-bahannya aku gak tahu harus mencari kemana dalam waktu yang
singkat. Selain itu aku juga masih punya kewajiban yang harus aku tuntaskan
sebelum demisioner (lengser) dari
sebuah organisasi yang cukup memberikan perubahan positif padaku walaupun tidak
banyak.
Disela-sela tangisanku, aku memutar
otak dan berharap menemukan jalan keluarnya. Akhirnya hujan yang dari tadi
mengiringi tangisanku berhenti seakan pertanda agar aku menghentikan tangisanku.
Aku meraih HP dan kembali menelpon malaikat penolongku. Mamah.
Di dalam sebuah percakapan melalui
telpon, aku menjelaskan pada mamah apa yang harus mamah lakukan untuk anaknya.
Yuph! mencarikan dan mempersiapkan semua bahan penelitian yang sekiranya ada
disekitar rumah atau kampung. Sikap pengecut itu muncul lagi. Namun hanya ini
yang membuat aku lega dan segera bangkit dan mengusap air mataku setelah ibu di
seberang sana mengiyakan permintaanku.
Aku yang tidak bisa pulang karena ada
kegiatan organisasi yang mungkin akan menjadi kegiatan terkhirku di organisasi
yang cukup banyak mengajarkanku apa itu kebersamaan dan ukhuah. Aku terpaksa
meminta mamah yang mengantarkan bahan itu ke tempat yang sudah 3.5 tahun ini
menjadi perantauanku. Hal ini terjadi karena bis yang biasa menjadi media
penghubung kami tidak beroperasi lagi. Padahal seandainya saja bis itu masih
ada, mamah tidak akan repot-repot melewati perjalanan yang cukup melelahkan.
Karena perjalanan dari rumah kesini memerlukan waktu seharian.
Namun aku cepat-cepat menepis kata-kata
“seandainya” tersebut dengan kata antusias. “Semoga Allah membalaskan surga
untuk mamah.” Ucap ku pelan kemudian beranjak dari tempat tidur dan pergi ke
kamar mandi untuk membasuh muka yang sembab dengan air wudhu. Aku kemudian
menunaikan shalat isya dan tidur cepat dengan maksud bisa bangun malam dan
bermunajat padaNya. Aku ingin mencurahkan kegundahan dan ketidakberdayaanku
ini. Iya, hanya padaNya.
***
Sore itu hampir menjelang maghrib,
ditemani rintik air hujan yang makin lama kian lebat mamah menyusuri jalan
kampung di bagian selatan Kota Banten. Dengan tangan kiri memegang payung dan
tangan kanan memegang bahu pertanda mamah kedinginan, mamah terus berjalan.
Ketika sampai di sebuah pemakaman di pinggir jalan yang menghubungkan dengan
kampung sebelah, ekspresi mamah berubah. Tiba-tiba mamah tersenyum lebar seakan
beliau menemukan apa yang beliau cari. Yuph! Mamah menemukan satu pohon buah
berenuk ( buah maja) yang akan menjadi salah satu bahan penelitianku. Pohon ini
sekarang sudah mulai langka padahal untuk ukuran daerah kampung seperti rumahku
seharusnya masih banyak tanaman ini.
Mamah masih belum bisa mengambil buah
tersebut yang merupakan milik umum bukan tanaman berpemilik. Walauppun begitu
mamah tetap meminta izin pada pemilik rumah yang dekat dengan lokasi. Mamah
sedang berpikir bagaimana cara mengambilnya, namun belum lama mamah berpikir
tetangga lewat dengan mengendarai sepeda motor dan berhenti tepat di depan
mamah yang sedang berdiri kebingungan. Pertolongan itu datangnya dari Allah,
tetangga itu membantu mamah untuk mengambil buah berenuk tersebut dan mengantar
mamah pulang. Alhamdulillah.
Sungguh kasih sayang mamah tak
terbatas, tak lekang oleh waktu dan tak terhalang jarak yang memisahkan. Itu
nyata. Perjuangannya tak mungkin sanggup kuhitung dan tak mungkin terbalasakan.
Betul, bagai sang surya menyinari dunia. Itulah mamah.
Mungkin banyak orang yang bertanya
mengapa harus mamah yang melakukan itu. Kemana sosok papah yang seharusnya
menjaga dan melakukan itu untuk anaknya. Yuph! Itu tidak salah, sah-sah saja
jika ingin menanyakan hal tersebut. Namun aku juga tahu disana (dibaca luar
negeri) papah tengah merasakan kerinduan yang tak terkira. Telebih jika
mendengar bahwa isteri dan anak-anaknya melalui berbagai macam ujian dan
hari-hari yang sulit. Namun bukankah papah berada disana juga untuk kebaikan
aku, mamah dan adik-adik. Untuk kelangsungan studi aku dan kesejahteraan hidup
kami. Syukur dan sabar selalu menjadi pengobat hati kami.
Ketika aku teringat akan hal itu, akan
apa yang terjadi pada keluargaku terlebih kepahitan hidup yang harus ditanggung
mamah dan papah. Maka aku tidak pantas menangis karena digertak dosen [itu
kesalahanku] dan tak pantas untuk mengeluh dan mengeluarkan kata-kata capek,
lelah, bosan, sedih, dan kecewa. Bukankah mamah dan papah jauh lebih merasakan
capek, lelah dan bosan hidup selama beberapa tahun berpisah dan memendam rasa
rindu yang menggebu. Mereka rela mengorbankan segalanya hanya untuk aku dan
cita-citaku. Lantas mengapa aku tidak bisa lebih sabar untuk terus berjuang
demi cita-cita itu. Haruskah aku mengeluh? Tidak!
***
Jumat sore, Bogor masih hujan. Aku
sedang sibuk merapihkan kamarku karena mamah akan datang menjengukku dengan
membawa semua yang beberapa hari lalu aku minta lewat telpon. Masih dalam
keadaan memikirkan mamah tiba-tiba...
“Assalamualaikum” suara khas mamah
mengucapkan salam dibalik pintu kamar kostku.
Aku langsung membuka pindu dengan cepat dan menjawab salam mamah
“waalaikumsalam” sosok tegar itu sudah menjelma di hadapanku. Tak memperdulikan
apapun aku langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangisku pun tumpah di sore
itu.
Iya, aku merindukannya. Aku sangat
rindu mamah dan sangat merasa menyesal sudah segede ini tapi masih suka merepotkan mamah.
Sore itu ditutup dengan obrolan hangat
ibu dan anak.
***
Ketika kita merasa capek dan lelah
sehingga ingin rasanya menyerah, maka ingatlah mamah dan papah yang dengan
penuh harap menanti kesuksesan kita. Lawan rasa malas itu dengan
bersungguh-sungguh berniat karena Allah. Dan untuk senyuman mereka. Mamah dan
papah.
Benar apa yang dikatakan dosenku bahwa
jangan pernah menunda sesuatu yang dapat dikerjakan sekarang. Aku merasa
menyesal sudah menyia-nyiakan waktu yang telah berlalu dengan mudahnya.
Sudahlah.
Mungkin betul juga seperti apa yang
diucapkan teman-teman, bahwa menunda satu hari skripsi sama dengan menunda
pernikahan. Semangat.
Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah
melewatkan seharipun tanpa menanyakan kabar mamah dan memohon doa restu
darinya. Karena mungkin kerja keras kita hanya bernilai 1% sedangkan 99% adalah
doa dan ridho mamah. “Sesungguhnya ridho Allah adalah ridho ibu.”
Aku lebih bersemangat menjalankan tugas
akhir dan ingin segera bertemu papah. Karena beliau sudah berjanji akan pulang
ketika aku diwisuda. Semoga ya Rabb. Aku selalu menanti hari itu akan tiba.
Melepas rindu yang kian menggebu. Papah.
***
Sesungguhnya manusia tidak akan merasa
cukup dengan apa yang diperolehnya pada saat ini. Hanya syukur yang mencukupkan
segalanya. Dan Allah yang memberi segalanya. Kunci dari semua kehidupan ini
adalah sabar dan syukur.
***
Bersama sejuknya senja yang tak kunjung
menjingga di Bogor, 10 Desember 2014_TSA_